Orang-orang Bantaran Kali Ciliwung

Pada tahun 1988, Wiji Thukul menulis satu sajak kritik-deskriptif berjudul Nyanyian Akar Rumput: mendirikan kampung/ digusur/ kami pindah-pindah/ menempel di tembok-tembok/ dicabut/ terbuang/ kami rumput/butuh tanah. Orang kampung dalam puisi Thukul, seperti orang-orang kampung Bantaran Kali Ciliwung yang ditulis antropolog Roanne van Voorst dengan sangat menarik, menggugah, sekaligus menggugat, adalah bagian dari satu perkembangan kota (urban slum) di Indonesia. Dalam kompleksitas perkembangan ekonomi-politik di Indonesia sejak merdeka, mereka menjadi makhluk rumput bahkan tikus yang terbuang, menempel di pinggiran ekomomi kota, dan akhirnya divonis sebagai masalah yang pantas dicabut dan digusur.

Dari buku Roanne, kita mendapati dan menyaksikan tokoh-tokoh yang hidup di pinggiran kumuh kota (slum) Jakarta. Mereka, secara ekonomi dan ruang berhidup, sangat kontras tingkat ketimpangan ekonominya. Indonesia punya dua puluh dua manusia (22!) kaya raya dengan jumlah kekayaan mencapai miliaran dolar Amerika. Sementara ada sekitar 28 juta orang Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar per hari, seperti orang-orang di Bantaran Kali. Pada 2017 Biro Pusat Statistik mencatat: terdapat 306 hotel di Jakarta, sedikitnya 1.955 pabrik besar dan sedang, 125 hipermarket, dan berbagai taman hiburan dan pusat perbelanjaan. Tentu banyak sekali rumah-rumah mewah dengan ruang-ruang besar. Namun, pada saat yang sama dan yang tak (bisa) dicatat BPS, ratusan orang hidup di ruang-ruang sangat sempit di rumah-rumah ilegal di/dalam pinggir sungai yang sejak 2005 sampai 2030 dilarang ditempati manusia—kecuali serangga dan tumbuhan. 

Dalam pengamatan Roanne, orang-orang Bantaran Kali adalah pakar banjir. Mereka sudah terlatih dan menyiapkan berbagai hal untuk menghadapi banjir atau rob. Untuk menghadapi banjir, beberapa orang membeli portofon  (walkie talkie) sebagai alat pemantau, penjaga, bahkan penyelamat. Portofon adalah alat dan nasib absurd. Demi portofon, Yusuf harus merelakan gaji cilik tiga bulan, biaya makan keluarga, uang pendidikan anaknya, bahkan akhirnya dipecat dari kerjanya gara-gara sibuk dengan portofon tiap hari dan malam. Di Bantaran Kali yang tanpa sistem peringatan dini resmi dari pemerintah, berkat portofon, warga Bantaran Kali terselamatkan dalam banjir terbesar yang pernah melanda Jakarta pada 2007.

Yang paling absurd dan logis, ketakutan utama orang-orang Bantaran Kali bukanlah banjir, tapi kebakaran. Pada 2001, para peneliti mencatat ada 437 kebakaran di Jakarta. 80 persennya terjadi di perkampungan kumuh. Di perkampungan sangat padat, seperti di Bantaran Kali Ciliwung, dengan material bangunan yang mudah terbakar, sambungan listrik yang buruk, dan tanpa jalan memadai untuk mobil pemadam kebakaran, kebakaran mampu menghempaskan penduduknya pada titik nol terendah sosial-ekonomi. 

Seperti yang pernah disaksikan Roanne, pada satu malam, hanya dalam beberapa jam, 15 rumah hangus. Memang hanya satu orang bapak meninggal gara-gara hendak menyelamatkan ijazah anaknya. Namun, yang mengejutkan pikiran rasional Roanne, bakal ada sekitar 90 orang tak punya tempat tinggal. Ternyata otaknya salah akbar: ada 489 orang kehilangan tempat tinggal! Satu rumah bisa berpenghuni hingga 50 orang yang kebanyakan laki-laki muda. Mereka menyewa ruang tidur, hanya sekian jam semalam, sisanya untuk bekerja: jadi penjual rokok, penyemir sepatu, pemulung, pengamen, dan seterusnya. Selain itu, bagi sebagian yang lain terutama perempuan, rumah menjadi tempat kerja utama.

“Terus bagaimana sekarang?” tanya Roanne. Achmed (37 tahun), salah satu penghuni yang ruang hidupnya terbakar, hanya mengangkat bahu. “Biasalah. Mulai lagi dari awal, aku sudah pernah kehilangan tempat tinggalku sembilan kali. Atau, sepuluh kali, ya? Sekarang kebakaran, sebelumnya dibuldoser sama pemerintah.” Orang-orang Bantaran Kali itu tidak akan pindah ke tempat yang lebih aman atau lebih baik. Pemerintah DKI Jakarta memang membuat kebijakan (perumahan) rumah susun. Namun, bagi orang-orang Bantaran Kali, tetap saja kebijakan itu tidak sesuai dengan pemasukan-pengeluaran ekonomi mereka. Masih sangat terlalu tinggi uang sewanya, apalagi jika (sering!) sudah dikuasai preman. Kuasa ekonomi (lokal, nasional, global) telah (terus) memojokkan mereka hidup di pinggir sungai, sama seperti serangga atau rumput yang tetap tumbuh meski diusir. 

Kita sudah lama mendengarkan polemik kemiskinan di kampung kumuh (slum) perkotaan. Ada dua kubu teori untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah itu: teori marjinalitas kaum miskin dan teori ketergantungan. Yang pertama diajukan Oscar Lewis (1966): orang miskin kumuh itu melakoni hidup dalam budaya kemiskinan (the culture of poverty). Tentu saja, seperti yang juga dikritik Roanne, teori Oscar Lewis keterlaluan simplisistik. Tak ada budaya (kelompok) miskin yang terwariskan bergenerasi di Bantaran Kali. 

Juga tidak seluruhnya benar teori modernisasi yang mengatakan bahwa “pengusaha kelas sandal jepit” atau “etos kerja kampung kumuh” yang sudah sejak kecil hidup dalam (lingkungan) kerja keras akan menjadi jutawan. Buldoser pemerintah bisa sewaktu-waktu menghancurkan modal ekonomi yang sudah berkembang. Struktur makro ekonomi kapitalistik, selain alur pendidikan, sering tidak memberikan mereka kuasa modal kesejahteraan. Di Bantaran Kali, ada berbagai usaha usaha sukses dengan cepat, tapi juga banyak yang tanpa perencaan yang matang dan akhirnya bangkrut. Roanne menyimpulkan dengan hati-hati: “Jika ada yang hendak ditampakkan jelas dalam buku ini: “kaum miskin” itu tidak ada. Yang ada hanyalah individu-individu yang miskin.” 

Dari buku kisah orang-orang Bantaran Kali yang sudah dibuldoser, di Jakarta yang jadi kota pusat uang dan politik, kita bukan hanya bertemu “orang-orang biasa, yang sehari-harinya dihadapkan pada kesulitan-kesulitan hidup yang luar biasa dan berbagai dilema”. Kita menyaksikan kritik keras terhadap ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, dan absurditas berhidup di abad ke-21. 
 
Tempat Terbaik di Dunia, Roanne van Voorst (Marjin Kiri) : Koran Tempo, 18 Agustus 2018
 
Oleh
M. Fauzi Sukri
Penulis Buku Pembaca Serakah (2015)
dan Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018)
 
Foto : http://news.metrotvnews.com/metro

 

Berita Terkait