Karakter Kampung di Goresan Mural

Penyampaian pesan melalui media mural tengah mengejala di berbagai sudut kota. Berikut liputan wartawan Solopos, Nadia Lutoana Mawarni. Laki-laki gondrong yang saban hari menjalankan perahu untuk menyebrangkan orangorang melintasi Bengawan Solo di Kelurahan Sewu, Jebres, Solo itu akrab dipanggil Pakde Bagong oleh masyarakat sekitar. Selama bertahun-tahun, Pakde Bagong menjadi ”jalan pintas” masyarakat yang ingin pulang-pergi MojolabanSolo tanpa memutar lewat Jembatan Mojo, Semanggi, Pasar Kliwon.
Melintasi tanggul pembatas kampung dan Kali Bengawan yang juga tempat Pakde Bagong beraktivitas sehari-hari, di wilayah RW 002 dan RW 005, mahasiswa Program Studi Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) UNS, memanfaatkan tembok kusam yang menghadap ke jalanan untuk menggambar mural. Laki-laki gundul berkulit gelap tergambar sedang mengenakan kaus singlet putih dan celana pendek di atas lutut. Dalam gambar itu, dia berdiri di sebuah perahu warna biru mirip jukung tanpa cadik, otot-otot tangan terlihat menonjol, tanda kekekaran hasil menarik perahu bertahun lamanya.
Sinar matahari kekuningan, membelakangi tubuh laki-laki itu. Air sungai kecoklatan Bengawan dilukiskan dengan gradasi penuh warna, hijau, biru, merah, dan kuning. Gelombanggelombangnya menyuratkan sungai yang berarus deras. Sementara mempermanis, rekah cahaya oranye menyibak awan yang dimodel bak motif batik mega mendung. Tulisan “Mbah Bagong” pada gambar mempertegas dia adalah laki-laki juru penyebrangan itu meski tak tampak mirip.Di samping gambar Mbah Bagong, denah Sewu juga digambar. Denah didesain dalam gulungan kertas seperti yang kerap dibawa bajak laut saat mencari harta karun di Atlantis dalam film-fi lm fantasi. Sewu dalam gambar itu memiliki sembilan RW, diapit tanggul, Kali Bengawan, dan Kali Pepe. Pembagian wilayah dalam indeks dipetakan mulai kantor kelurahan, gedung serbaguna, pos kamling, jalan, dan daerah rawan banjir.
Di sisi yang lain, rupa muka Wali Kota pertama Solo, Sindoeredjo, tampak berkopiah. Senyumnya menyungging disertai kontur raut muka uzur usia. Terakhir, gambar itu dilengkapi dengan deskripsi singkat sejarah kampung. Tulisannya sengaja dibuat tegak bersambung miring. Kalimat, ”Dulunya Kampung Sewu adalah kampung yang dihuni oleh abdi dalem Keraton Kasunanan yang disebut Nayako Sewu. Nayako Sewu merupakan prajurit yang berjumlah banyak,” mengakhiri deskripsi Kampung Sewu dalam bingkai mural. Prima Adi Saputra bersama sembilan kawan lain dari prodi yang sama, sejak awal semester II sekitar Maret lalu telah menjelajah kampung untuk menemukan tema mural yang bisa digambar. Mereka bertemu dengan warga, sesepuh, dan pimpinan masyarakat untuk bertukar ide, gagasan, serta mendengarkan cerita sejarah. ”Dari sana jadilah gambar itu, apa-apa saja yang bisa menjadi ciri khas dari kampung,” ucap Prima saat berbincang dengan Espos di Kantor Prodi Seni Rupa Murni, FSRD UNS, Jumat (29/6) siang. Interaksi mahasiswa dan masyarakat terjalin erat selama proses pengerjaan mural ini.
Setelah diskusi selesai di awal Ramadan lalu, Prima dan kawankawannya mulai membuat sketsa. Mereka memanfaatkan sore hari selepas Asar sebagai waktu menggambar. ”Sekaligus juga mengisi waktu ngabuburit,” katanya. Jari-jari Prima kala itu lincah menggoreskan kuas yang sudah dicelup dalam cat tembok warna-warni. Hasilnya, lukisan serupa gambaran kampung kini menarik mata tiap melintasi pinggir tanggul Kali Bengawan.
Dosen Seni Rupa Murni, FSRD UNS, Novita Wahyuningsih, mengatakan proyek mural ini menjadi bagian dari Mata Kuliah Ornamentik Indonesia. Mata kuliah yang memberi deskripsi seni rupa pada peninggalan bersejarah. ”Makanya gambar-gambar itu menggunakan karakter tentang apa saja yang ada di kampung itu, termasuk peninggalan dan sejarahnya. Ini juga bagian dari merespons kampung,” ujar Novita.Novita tak memungkiri, pembangunan karakter secara luas harus dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga dan kampung. Dari sana, dia mengajak mahasiswa merespons permasalahan kampung lewat media seni visual.
Gambar yang sekaligus memberi deskripsi, juga bisa memberi kritik. Seni dan media masyarakat ini sekaligus menjadi tanda berakhirnya seni sebagai media yang monoton.”Dulu, kuliah seni rupa itu hanya berakhir dengan tugas-tugas. Kini kita bisa menunjukkan bahwa berbicara dengan gambar juga dapat merespons masalah,” ujar Novita. Selain mural, Prima dan kawan-kawannya juga memberdayakan masyarakat dengan workshop keramik.
Mata kuliah ini menggandeng program Kampungnesia yang bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS). Lewat program besutan Akhmad Ramdhon itu, kolaborasi kelas diadakan Prodi Seni Rupa Murni, bersama Prodi Sosiologi, ISI Solo, dan UMS Solo. Keempatnya merespons kampung sesuai dengan mata kuliah masing-masing. Lewat program ini, Novita menandaskan berkarya bisa lewat media apa pun. “Termasuk meningkatkan kepedulian,” ujarnya. Hal ini pulalah yang dirasakan Prima lewat proyek yang dikerjakannya selama satu semester. ”Interaksi dan tukar pikirannya terasa banget, kita jadi tanggap terhadap permasalahanpermasalahan sosial,” katanya.
Sumber Foto dan Berita : Harian Solopos 30 Juni 2018