Solo Diwaktu Malam : Silam #2

Novel lawas, jarang jadi pembicaraan dalam kritik sastra atau sumber kutipan di  penulisan (sejarah) kota. Novel pernah terbit dan mendapatkan pembaca di masa lalu, belum tentu bersambung ke pembaca-pembaca baru berselera bahasa dan imajinasi berlatar Solo masa 1940-an. Konon, cerita itu sempat tampil di panggung sandiwara. Dulu, orang pun mengingat film dibuat oleh perusahaan bernama Borobudur. Pilihan mengingat novel agak memihak ke bahasa di kertas-kertas tanpa kewajiban mencari pembenaran dalam daftar pustaka lagak periset.
 
Novel itu berjudul Solo Diwaktu Malam gubahan Kamadjaja. Novel diterbitkan Gapura, Jakarta, 1950. Kehadiran novel itu bersaing dengan kegandrungan pembaca menekuni halaman-halaman buku gubahan Usmar Ismail, Mochtar Lubis, Matu Mona, dan Pramoedya Ananta Toer. Dulu, penerbit Gapura rajin memanjakan pembaca melalui terbitan seri “Roman Gapura”, “Roman Detektif”,  dan “Roman Lajar Putih”. Peran penerbit teranggap penting dalam pemunculan gairah pembaca sanggup khatam novel. Pada tahun-tahun berdatangan, novel gubahan Kamadjaja perlahan “menghilang” dan luput dari daftar ingatan pembaca sastra atau peminat isu-isu Solo masa lalu.
 
Pada 2018, ikhtiar kecil membaca (lagi) Solo Diwaktu Malam dilakukan oleh Na’imatur Rofiqoh, Setyaningsih, Udji Kayang Aditya Supriyanto, dan Hanputro Widyono. Mereka enteng saja membaca-menafsir novel tanpa ribet mengumpulkan puluhan buku dan majalah untuk meneropong kandungan novel. Pembaca enteng justru tak memiliki tuntutan-tuntutan muluk kebablasan menjadi kritik sastra bermutu banget. Kemauan membaca terpaut jauh dari masa lalu tanpa kepemilikan peta atau petunjuk “resmi”. Mereka memilih menuliskan penerimaan pada tema-tema ingin saling berbeda ketimbang terjadi pengulangan atau penumpukan makna. 
 
Empat tulisan pendek jadi dokumentasi terlambat datang, mengawetkan Solo Diwaktu Malam setelah tak pernah mengalami cetak ulang di abad XXI. Novel itu melulu lawas dan langka. Orang bakal sulit mencari atau berpamrih mau membeli dengan harga mahal. Kita berhak menduga jumlah eksemplar novel itu semakin berkurang. Apes lekas menimpa jika tiada orang mau membaca (lagi) atau berbagi tafsir, sebelum novel cuma masuk lemari milik kolektor. Novel tentu mendekam dalam lemari terkunci di rumah sulit mendapatkan tamu bernama pembaca. Begitu. Editor  Bandung Mawardi

 
 
MEMBACA SUARA KOTA
Udji Kayang Aditya Supriyanto

Suara itu mengisahkan kota. Kita mulai membaca Solo Diwaktu Malam (1950) garapan Kamadjaja: “Suara njanjian perintang waktu oleh orang-orang pekerdja agak berkurang. Disana-sininja tampak pekerdja-pekerdja berdiri dari tempat duduknja jang beralaskan kasur sederhana. Berdiri, lalu menggeliat sebentar karena badannja kaku oleh sebab bekerdja duduk terus-menerus.” Suara kota, suara kerja. Kota menyimak para pekerja menunaikan tugas-tugasnya. Suara berasal gerak tangan, alat-alat, percakapan sambil lalu, dan nyanyian yang sengaja didendangkan demi membunuh waktu. Suara itu baru reda pada jam istirahat, ketika tubuh mesti dikendurkan dan mulut butuh mengisap rokok, mengembus lelah. 
 
Solo Diwaktu Malam mengisahkan kota dari suara, tak melulu rupa. Suara mengajak kita mengimajinasikan keramaian peristiwa bekerja di usaha pabrik Tjap Kembang dan sekian keramaian lain di kota. Suara kerja membentuk irama kota: Solo di waktu siang. Dari jalan, suara lain menyambar demi turut terlibat orkestrasi kota. Kamadjaja bilang: “Biarpun terdesak oleh keperluan, andong Solo tetap berdjalan perlahan seperti irama suara tapel-kuda jang terdengar dalam antara jang menentu.” Suara andong tidak ingin absen merayakan kota. Suara andong menegaskan keberadaannya, yang kian terdesak kegandrungan warga menggunakan kendaraan pribadi, semisal sepeda.
 
Andong menjelaskan sifat warga kota. “Demikian pulalah sifat wong Solo, tenang tiada gentar tergesa didalam segala keadaan. Pelahan-lahan berdjalan sampai pula pada tudjuan,” tulis Kamadjaja. Kita jadi mengerti, pepatah alon-alon waton kelakon bermula suara. Kita kadung gemar berperumpamaan lewat rupa untuk menjelaskan sifat warga kota. Misalnya, blangkon untuk menandakan ramah di depan, padahal gerundelan di belakang. Kita juga menjumpai perumpaan hampir sama di iklan koran Suara Merdeka tahun 1990-an. Iklan tampil di bagian belakang buku Tokoh & Potensi Kunci Jawa Tengah: Apa dan Siapa 1991-1992 (1991).
 
Iklan disertai potret keris yang diselipkan di belakang. Iklan bertanya: “Mengapa keris biasanya dikenakan di belakang?” Kita tidak perlu memikirkan jawabannya. Iklan bertanya sendiri, menjawab sendiri. Kita cukup menonton saja. “Orang Jawa lebih suka berlaku ramah bersahabat. Mereka mencoba untuk tidak unjuk senjata secara terbuka,” kata iklan. Perumpamaan bersenjata rupa sayangnya mubazir. Blangkon dan keris sama-sama ditafsirkan ramah di depan. Pendakwah perumpamaan rupa lupa bahwa mereka menghadapi mata, yang hanya melihat depan, bukan belakang. Suara lebih menjangkau segala arah. Suara menjelaskan dimensi kota lebih utuh.
 
Suara kota, dalam dugaan kita, beratraksi di siang hari. Malam adalah kesunyian. Kita diajak Kamadjaja bersunyi bareng Hermien, tokoh perempuan yang lekas berlalu: “Sunji-senjap pada malam itu. Didjalan-djalan raja tidak ada lagi orang dan kendaraan berdjalan, karena telah beberapa hari diadakan djam malam di Solo. Dari dalam rumah Hermien sama sekali tidak terdengar suara apa-apa. Sungguh sunji mati.” Solo di waktu malam pernah sunyi. Kesunyian kota salah waktu. Kesunyian kota semakin menyiksa Hermien. Malam di kota sunyi, benak Hermien malah membadai: “Didalam kamar jang gelap tidak pula Hermien lekas dapat tidur. Pikirannja melajang kepada pembitjaraan ajahnja sore tadi.”
 
Malam sunyi di kota jarang-jarang. Sunyi dipaksakan jam malam. Kota memilih ramai meski langit gelap. Ruang kehadiran keramaian kota gampang ditebak: Sriwedari. Kita menengok narasi Kamadjaja, “Terang bulan memantjarkan sinar tjuatja menambah keindahan Solo diwaktu malam... Bulan makin naik, seluruh kota makin ramai. Sriwedari kelihatan penuh sesak. Penonton-penonton bioskoop pertundjukan pertama tidak lekas-lekas pulang, tetapi memenuhi taman penghibur itu. Berkeliaran kesana kemari, ketepi kolam, kesamping gedong wajang-wong, kerumah makan ‘Pak Amat’ atau nongkrong ditempat sate gule soto Madura.”
 
Sriwedari penting dalam perayaan Solo di waktu malam. Tapi, Kamadjaja justru tidak mengisahkan Sriwedari melalui suara, sebagaimana ia mengisahkan pekerjaan, jalan, dan kesunyian Hermien. Kita pantas bandingkan dengan narasi Sriwedari di Student Hidjo garapan Mas Marco Kartodikromo: “Lebih-lebih pada malam harinya di Sriwedari akan ada keramaian... Sudah barang tentu, pada saat itu, di jalan-jalan banyak orang yang berpakaian bagus-bagus akan datang ke Sriwedari. Bom pertama di Sriwedari sudah berbunyi. Tandanya bahwa di Sriwedari malam itu, ada keramaian. Orang-orang di dalam kota yang mendengar suara bom itu bersorak kegirangan.”

Keramaian bukan melulu dari rupa tapi juga suara. Narasi suara untuk mengisahkan Sriwedari dari awal lebih mengena di Mas Marco Kartodikromo ketimbang Kamadjaja. Namun, bukan berarti Kamadjaja tidak bersuara. Ia agak terlambat, baru bersuara ketika Marno, tokoh utamanya, menonton pagelaran wayang orang: “Suara gamelan digedong wajang orang sangat merdu terdengar... Dengan tak sengadja, langkah Sumarno menudju kegedong itu. Kiranja djiwa jang merintih itu telah tertarik oleh irama gamelan jang merdu.” Marno yang sedih karena Hermien dijodohkan dengan lelaki lain tergugah menonton lakon Ramayana di gedung wayang orang Sriwedari. Barangkali, Marno pikir ia Rama yang kehilangan Sinta gara-gara Rahwana: mantan calon mertuanya.
 
Suara dari gedung wayang orang melagukan kata-kata. Kita ikut menikmati Midjil Sulastri tersaji. Tembang macapat bermakna lahir. Kita menyimak lirik tembang itu: Dhuh, Gustiku Ramawidjaja-di/ anandang wirangrong/ sapisahe kalawan garwane/ kusumengrat putri ing Mantili/ babaja geng kingkin/ keneng lara gandrung. Marno tak sadar menonton wayang orang Sriwedari, terlebih lakon Ramayana, bukan hiburan yang cocok bagi situasinya. “Tjerita ‘Rama Duta’ dari rangkaian penderitaan ksatria Rama karena terpisah dari Dewi Sinta telah menambah-nambah ia ingat pada sekalian jang telah lampau. Tjintanja kepada Hermien rasanja tidak terkalahkan oleh pertjintaan Rama kepada Sinta.”
 
Marno keluar dari gedung wayang orang, kita meninggalkan Sriwedari. Di Solo Diwaktu Malam, Sriwedari bukan satu-satunya keramaian. Justru, yang lebih ramai dan memanjakan hasrat keroyalan adalah Tirtonadi. Tiada satu tontonan pun di Tirtonadi, tapi keramaiannya tak kalah dengan Sriwedari. Keramaian Tirtonadi dirayakan dalam nyanyian bersama: Tirtonadi jang permai/ ditepi sungai/ suatu kebun jang permai/ riuh dan ramai// itu suaranja air/ mendesir-desir/ dari pintu air/ terdjun mengalir// pun disana tempatnja/ beristirahat/ melepaskan lelahnja/ hibur hatinja// sepandjang lembah sungai/ teratur rapi/ sungguh elok dan permai/ di Tirtonadi.
 
Di Tirtonadi, Marno menjalani hidup royal, menjadi lelaki sejati yang mblayang tiap malam. Di Tirtonadi jugalah Marno pertama kali bertemu miss Neng, perempuan yang menyanyikan suara di tengah kesunyian diri Marno. Miss Neng adalah segalanya Marno. Bejibun uang Marno keluarkan demi pujaannya itu. Marno terlambat menyadari bahwa hanya uang dan hartanya yang berarti bagi Miss Neng. Marno marah tapi keder menghadapi ancaman Miss Neng. Marno akhirnya menyembunyikan kedernya dengan bermanja-manja pada Miss Neng. Marno bersedia membelikan Miss Neng kalung mata berlian asal pujaannya itu menyanyikan lagu Solo Diwaktu Malam.
 
Pengisahan kota Kamadjaja bersuara bahkan sejak sebelum kata pertama. Judul telah melagukan kota. Solo Diwaktu Malam itu lagu terpenting di novel Kamadjaja, dan novel Solo Diwaktu Malam adalah lagu yang dijelmakan kata-kata: Solo diwaktu malam hari/ merempuh menarik hati sunyi/ banyak tempat penghiburan asli/ pemandangan mata berganti// Djurug dan Tirtonadi jang permai/ daun berbisik ditepi sungai/ kelap-kelip sinarnja pelita/ remang-remang bertjahaja. Kota itu bersuara-berlagu. Masa silam kota dibawa melintasi waktu bersama lagu. Kamadjaja menyanyikan lagu sebagai kata-kata. Kita membaca novel dengan telinga.

 
 
MEMBACA SOLO, MENGINGAT TEMPAT
Hanputro Widyono
 
 
Lagi-lagi ini terjadi. Membaca novel berlatar Solo sering menggoda saya mengimajinasikan daerah-daerah atau jalan-jalan yang disuratkan pengarang. Tentu saja, ini bukan suatu kecenderungan yang istimewa. Pembaca lain pun barangkali juga melakukan hal serupa. Tapi tak apa, ini malah menguji pengetahuan kita tentang jalan-jalan dan tempat-tempat di Solo.
 
Novel Solo Diwaktu Malam (1950) garapan Kamadjaja diawali dengan narasi peristiwa yang terjadi di sebuah perusahaan batik di daerah Widuran. Perusahaan sekaligus rumah itu milik Sumarno, tokoh utama novel ini. Rasanya sulit membayangkan perusahaan batik dengan jumlah buruh sekitar seratus orang terletak di Widuran. Kita telanjur memiliki referensi, kampung batik di Solo itu kalau bukan Laweyan, sudah tentu Kauman. Keduanya kebacut termasyhur ke seantero negeri. Tapi barangkali Kamadjaja ingin memberi gambaran lain, bahwa rumah-rumah pembatikan di Solo bersebaran di pelbagai daerah, tak hanya terpusat pada dua kampung tersebut.
 
Waktu itu, akhir Maret 1943, Sumarno sangat sibuk. Ia yang aktif dalam organisasi pergerakan pemuda di Solo, ditunjuk pemerintah Jepang untuk memimpin organisasi gerakan Pemuda Asia Raya yang akan dibentuk dan dideklarasikan di Habiprojo. Saya mengalami keterasingan. Selama 23 tahun tinggal di sekitar Solo, saya belum pernah mendengar nama Habiprojo. Di mana letak gedung itu? Kita bisa menyimak narasi Kamadjaja ketika menggambarkan Sumarno mengendarai sepeda dari rumahnya menuju gedung itu. Namun ternyata Sumarno mlipir dulu ke daerah Punggawan untuk melewati rumah Harmien, kekasihnya.
 
Dari rumahnya di Widuran, Sumarno “djalan ke Barat sebelum mentjapai simpang tiga Pasarlegi, mendadak lalu lintas mendjadi ramai dan ribut, karena hudjan rintik-rintik mulai turun…. Terlihatlah bahwa ia mengambil djalan kearah selatan, kemudian membelok ke barat.” Dalam bayangan saya, usai keluar dari rumah, Sumarno melintasi Jalan Sutan Syahrir. Ia melaju ke barat sampai bersimpangan dengan Jalan Letjen S. Parman. Namun tidak ada pertigaan di titik itu. Adanya perempatan. Barangkali saya tersesat. Namun, hati membenarkannya. Di simpang itulah Sumarno membelok ke selatan agar sampai di Jalan Raden Mas Said, yang berbatasan langsung dengan tembok Mangkunegaran. Sumarno pun membelok ke barat lagi, menuju Punggawan.
 
Saya menduga, Punggawan di masa Jepang lebih luas ketimbang sekarang. Keterangan Kamadjaja yang menyebut daerah itu berdekatan dengan Mangkunegaran, membawa imajinasi saya menempatkan rumah Harmien berada di Jalan Raden Mas Said, mungkin hanya di sebelah barat SMA Muhammadiyah 1 Surakarta. Perkiraan saya itu seakan menafikan kenyataan saat ini bahwa bagian timur Punggawan berbatasan langsung dengan Jalan Gajah Mada. Tapi tetap saja, saya menganggapnya demikian. Masalahnya, setelah melewati rumah kekasihnya yang gelap, Sumarno semakin “bertambah kentjang ia bersepeda terus ke barat, berbelok kekiri melalui soos Mangkunegaran.” Dari rumah Harmien, Sumarno menuju ke perempatan Masjid Solihin. Lalu membelok ke selatan menuju Monumen Pers.
 
Monument Pers itu dulunya bernama Societiet Mangkunegaran atau Sasanasuka, yang biasa disebut mahajana sebagai Soos Mangkunegaran. Saya berulangkali mampir ke Monumen Pers, tapi tak juga mengerti asal muasal bangunan itu. Saya hanya melihat di abad digital ini masih saja ada orang-orang yang menengok dan membaca koran dinding di depan Monumen Pers. Keterangan pendek tentang Soos Mangkunegaran bisa kita dapat dari sejarawan Solo, Heri Priyatmoko yang menulis di koran Kedaulatan Rakyat edisi 13 Februari 2018. Heri menungkapkan, Soos Mangkunegaran diarsiteki oleh Aboekasan Atmodirono, seorang teknisi bumi putera pertama yang memperdalam ilmunya di Koningin Wilhelminaschool, Batavia. Usai menelan puluhan ribu rupiah untuk pembangunannya, Soos Mangkunegaran diresmikan pada 31 Juni 1918 dengan pelbagai kemeriahan. Ini sesuai dengan tujuan pembangunan societeit untuk menyediakan ruang berekspresi, hiburan, dan interaksi sosial para elite Eropa maupun pribumi.
 
Tempat itu tak memiliki ikatan batin dengan tokoh utama novel Kamadjaja. Tatkala Sumarno telah menjadi seorang pemuda pun, ia tak pernah disebutkan pergi mengunjungi Soos Mangkunegaran. Sumarno hanya melewatinya saja. “Djalan ke Habiprojo bertambah pandjang…, lalu lintas jang ramai dari Timuran sampai Pasarpon dan Singosaren ia lalui kentjang-kentjang. Segala kendaraan jang kian kemari, penonton ketoprak berkerumun dimuka Sonoharsono Pasarpon, kaum plesir berkeliaran, tukang-tukang djual rokok berteriak-teriak, bunga-raja mundar-mandir, semua itu tidak dilihat oleh Sumarno. Ia seperti lari sekentjang-kentjangnja dan tak berapa lama sampailah ia dimuka Habiprojo.”
 
Sumarno sudah sampai, tapi imajinasi saya seakan ingin bertanya pada orang-orang perkara letak gedung Habiprojo. Saya yang mengikuti perjalanan Sumarno tersesat di selatan Pasar Kembang. Setelah melewati Monumen Pers, saya lurus saja ke selatan untuk sampai di kantor kelurahan Timuran. Setelah itu, saya kehilangan arah. Saya menganggap Pasar Pon sama dengan Pasar Kembang. Tapi ternyata bukan. Menurut bapak saya, Pasar Pon itu terletak di Jalan Gatot Subroto, yang sekarang menjadi Ngarsapura. Wah, berarti mestinya setelah sampai di perempatan kantor kelurahan Timuran, saya belok ke kiri menuju gapura Mangkunegaran dan belok lagi ke kanan. Jalan-jalan yang dilalui Sumarno saat itu bisa bebas dua arah. Sekarang, saya tak bisa melalui jalur Sumarno itu. Jalan Ronggowarsito searah ke barat dan tak boleh ke timur. Bisa kena tilang kalau nekat.
 
Di buku Kota di Djawa Tempo Doeloe garapan Olivier Johaness Raap, kita bisa melihat potret gedung Habiprojo yang diambil sekitar tahun 1901. “Digambarkan Sositet Habiprojo yang telah dibongkar pada 1980-an dan sekarang menjadi Singosaren Plaza di Jalan Gatot Subroto,” tulis Oliever. Alamak! Saya sering pergi ke sana untuk membeli kaos, celana panjang, atau sepatu. Sewaktu di Singosaren Plaza, saya tak dapat merasakan bayangan pelbagai peristiwa penting yang pernah terjadi di sana. Pembangunan kota menyembunyikan banyak hal dari kita. Kamadjaja memberi penjelasan perihal Habiprojo dalam novelnya: “Habiprojo, tempatnja dipusat kota. Senantiasa pula mendjadi pusat perhatian pelbagai manusia. Semangat nasional ditempa disana, kongres-kongres pergerakan dilangsungkan disana, sehingga seluruh Indonesia mengenal gedung itu.” Saya tidak mengenal dan mengetahui keberadaan gedung Habiprojo. Tapi tampaknya saya juga tidak masuk dalam hitungan Kamadjaja. Uh!
 
Societeit Habiprojo dibangun tahun 1826 pada kalender Jawa seperti yang tertera pada dinding depan gedung. Itu sama dengan tahun 1896 Masehi (Olivier, 2017). Rencananya gedung itu bakal diresmikan oleh Paku Buwana X. Namun pada saat upacara peresmiannya, PB X urung hadir. PB X diwakilkan abdi dalem Kepatihan, K.R.M.T. Poerwodiningrat. Sebelum terkenal sebagai ruang penyelenggaraan kongres-kongres besar, Habiprojo digunakan untuk tempat pertemuan, berjudi, mabuk-mabukan. Bahkan digedung itu pernah digelar lomba pei yang pertama (Heri Priyatmoko, 2018). Memasuki tahun-tahun kebangkitan nasional, gedung Habiprojo mulai digunakan sebagai tempat pertemuan para pemuda Indonesia. Kongres-kongres besar digelar di sana. 
 
Pada 28 Desember 1930 sampai 2 Januari 1931, para pemuda Indonesia yang terdiri dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, dan lain sebagainya berkumpul di gedung Habiprojo. Mereka berniat meleburkan diri menjadi sebuah perkumpulan baru yang sejalan dengan cita-cita persatuan Indonesia. Mereka bersepakat untuk bersatu dalam organisasi bernama Indonesia Muda. Hanya dalam waktu singkat, tepat sebelum pergantian tahun, Indonesia Muda telah beranggotakan 2.400 orang dan 25 cabang yang tersebar di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah, 1977). Selain itu, gedung Habiprojo juga pernah digunakan untuk pembentukan Persatuan Jurnalis Indonesia (PERDI) pada 23 Desember 1933 dan penyelenggaraan rapat Persatuan Perjuangan (sebelumnya Volksfront) yang dipimpin Tan Malaka pada 15-16 Januari 1946.
 
Dengan latar belakang semacam itu, tak heran jika pendeklarasian Pemuda Asia Raya yang dibentuk Jepang dilangsungkan di gedung Habiprojo. Suka maupun tidak suka, Sumarno mesti berangkat juga di sana. Ia mesti berpidato, menerangkan asas dan tujuan pembentukan organisasi pemuda Asia Raya sesuai perintah Jepang. Namun Sumarno tak mau pasrah begitu saja. Dengan kelihaiannya berpidato, Sumarno membakar semangat para pemuda Solo untuk berjuang meraih kemerdekaan Indonesia yang tanpa syarat. Peristiwa di Habiprojo berakhir dengan pidato dari Sumarno. Sialnya, beberapa hari kemudian, Sumarno ditangkap tentara Jepang terkait pidatonya di Habiprojo itu. Sumarno digeladak ke Hotel Sam Gie. Saya kembali kebingungan dan kesulitan mengimajinasikan letak Hotel Sam Gie. Ancer-ancer dari Kamadjaja, Hotel Sam Gie yang dimasa Jepang dijadikan kantor Kenpeitei, polisi militer, dan tentara itu terletak “didjalan Timuran sepandjang djalan purwosari itu terletak gedong besar dan indah…. Disanalah, didalam gedong itu banjak orang-orang mengalami nasib djelek, mendapat hadiah pukulan, tempelengan dan siksaan Djepang jang kedjam”. Nah lo!
 
Usai kisah penangkapan itu, novel Solo Diwaktu Malam masih sempat memberi gambaran dan menyebut tempat-tempat lain di Solo, seperti Sriwedari, Tambak Segaran, Tirtonadi, Sambeng, Setabelan, dan Djurug. Sekarang, tempat-tempat itu masih ada dan bernama serupa. Pembaca tak usah sesumbar akan mudah menemukan tempat-tempat yang pernah disinggahi Sumarno. Situasi Solo di tahun 1943 telah jauh berbeda dengan sekarang. Saya perlu lebih teliti dan hati-hati agar tak tersesat sewaktu membaca novel. Malu dong!
 
 

Berita Terkait