Kali Ilang Kedhunge
/1/
Tiap kali musim hujan, aku teringat seorang tokoh bernama Ki Wiron Lumut. Dia adalah seorang pertapa-pemikir ekologis di tanah Sala. Dia meninggalkan Kidul Tanggul, desanya yang sering terkena banjir tiap musim hujan. Ki Wiron Lumut memutuskan pergi ke Brang Wetan, untuk bersemedi ekologis, setelah berkali-kali menghadap raja atas banjir yang menimpa desanya tapi tidak pernah ditanggapi. Ki Wiron Lumut memohon agar segera membuat kebijakan ekologis terhadap sungai yang ada di tanah Sala.
Tiap kali musim hujan, aku teringat seorang tokoh bernama Ki Wiron Lumut. Dia adalah seorang pertapa-pemikir ekologis di tanah Sala. Dia meninggalkan Kidul Tanggul, desanya yang sering terkena banjir tiap musim hujan. Ki Wiron Lumut memutuskan pergi ke Brang Wetan, untuk bersemedi ekologis, setelah berkali-kali menghadap raja atas banjir yang menimpa desanya tapi tidak pernah ditanggapi. Ki Wiron Lumut memohon agar segera membuat kebijakan ekologis terhadap sungai yang ada di tanah Sala.
Menurut pengatamannya, masa depan permukiman masyarakat, harta benda, dan anak-anak mereka sangat terkait dengan kelestarian ekologi sungai. Namun, pernyataan dan permohonannya tidak pernah ditanggapi. Barangkali karena dia hanya dianggap sebagai penduduk biasa saja. Bukan sebagai pertapa ekologis yang sudah melakukan semedi-penelitian terhadap sungai yang terus membanjiri desanya. Maka, akhirnya dia memutuskan meninggalkan desanya untuk sekali lagi bersemedia.
Selama meninggalkan desa untuk semedi ekologis itu, terjadilah peristiwa aneh di desanya: seorang wanita hamil, yang suaminya meninggal terkena pohon roboh, tidak mau menerima bantuan dan pertolongan para tetangganya. Kepada para tetangganya, si wanita selalu mengatakan bahwa dia masih mampu. Namun, sebenarnya, si bayi dalam kandungannyalah yang selalu menolak, menggeliat dan menendangkan kaki pada perutnya tiap kali ada orang yang hendak menolongnya.
Pada satu hari, desa si pertapa ekologis dan perempuan hamil itu terkena banjir besar. Para tetangga mau menolong si wanita, tapi tetap ditolaknya. Calon ibu itu naik ke atas atap rumahnya. Dan di atas atap rumah itulah, si bayi lahir. Bayi ini diberi nama Empyakwati. Dan, tiba-tiba alam memberikan reaksi dahsyat: saat bayi itu pertama kali menangis, air banjir surut, dan semakin surut bersama pecahnya tangis si bayi yang membahana sampai akhirnya air mengering di tanah-tanah yang terkena banjir. Masyarakat takjub.
Namun, seperti sudah diperkirakan Ki Wiron Lumut, bayi itu hanya akan berumur 40 hari dan akan meninggal. Sang bayi hanya mengingatkan dan sekaligus memberikan peringatan keras. Sang bayi itu adalah simbol kehidupan di masa depan, yang bisa menjadi tumbal ekologis tiap kali kebijakan ekologis diabaikan apalagi jika dengan sengaja dicederai dan dikhianati. Ki Wiron Lumut barangkali benar. Namun, seperti tiap kealpaan, manusia sering berlupa. Lagi pula, arus perjalanan ekologi dan sejarah manusia sering hanya bertaut dalam suatu arus air di waktu musim panas yang tenang: tak terdengar oleh masyarakat. Dan akan ingat lagi jika sudah mulai memasuki musim hujan dan banjir mengancam.
/2/
Begitu juga kita ingat lupa dengan tokoh Ki Wiron Lumut. Tiap kali air turun dari langit, air hujan selalu tahu dan tak pernah lupa ke mana harus bergerak mengalir melalui jalur-jalur yang sudah diarahkan alam: menurun sampai menemukan aliran sungai. Namun, kita sering tak begitu siap, terutama saat sungai sudah mulai kita tinggalkan.
Sejak abad ke-19, sungai sudah mulai perlahan bukan lagi menjadi perhatian kita. Terutama orang Jawa sebagai masyarakat agraris sudah mulai berubah atau diubah secara paksa. Kita tahu bahwa sejak kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), dan pada 1830 pecah perang di Eropa selama 9 tahun yang dipicu pemberontakan Belgia terhadap pemerintahan Raja Willem I, praktis kas pemerintah kolonial Hindia Belanda kosong melompong untuk membiayai perang.
Maka, sebagai salah satu solusi, terjadilah revolusi kapitalisme agrobisnis berorientasi tanaman ekspor di Jawa. Inilah proyek raksasa dari Van den Bosch yang kemudian terkenal sebagai Tanam Paksa. Selama antara 1831 sampai 1877, perbendaharaan Belanda menerima 823 juta gulden dari hasil agribisnis di Hindia Belanda (Vlekke, 2016).
Akibat sampingannya, seperti yang kemudian ditulis Clifford Geertz antropolog dari Amerika Serikat, terjadilah involusi pertanian di Jawa. Sawah yang, oleh Van den Bosch, awalnya konon tidak boleh digunakan untuk agribisnis mulai digantikan oleh tanaman agrobisnis seperti tebu (dan tanaman ekspor lainnya) di berbagai daerah. Sawah semakin menyusut secara drastis. Dalam penyusutan ini, terjadilah penyusutan kepemilikan tanah-sawah yang awalnya menjadi lahan utama ekonomi rakyat.
Akibatnya, seperti yang dilaporkan pejabat pemerintah kolonial: “Beribu orang, berjalan sempoyongan, terjatuh-jatuh di tegalan membanjiri sawah yang hampir menguning.” Para korban ini punya istilah aneh: wong manukan! Inilah manusia lapar yang tak lagi punya sawah, tak punya tempat keluarga bernaung di desa, dan tak punya kesempatan bekerja di pabrik atau di kota. Perkebunan Belanda memiskinkan petani dan yang miskin semakin miskin dan akhirnya berbagi kemiskinan di antara sesama miskin.
Di luar akibat sosial-ekonomi itu, terjadilah yang biasa terjadi: jika sungai sebelumnya dipelihara bersama, sebagai aset pertanian bersama, seiring dengan memudar atau bahkan berbahayanya pertanian, sungai sudah tidak lagi diurus bersama dan akhirnya dibelakangi. Dan yang lebih memperparah, terjadilah perkembangan budaya baru di Jawa-agraris: urbanisme, sebagai pusat berhidup. Sejak awal abad ke-20, para pemuda penting mulai tidak lagi perlu menginjak tanah apalagi menjadi petani pergi ke sawah berkat pendidikan modern dan pekerjaan urban. Yang di desa mulai tersadarkan juga: ternyata kalau tidak pergi ke sawah bisa lebih kaya, tidak seperti kakek dan nenek mereka yang tetap saja miskin bahkan banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya.
/3/
Itulah awal mula sungai mulai semakin jelas hilang kedungnya, terutama di mata-ekonomis para pemuda. Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Jawa, dari mata air (tuk) di Pegunungan Seribu di perbatasan Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah sampai bermuara di Ujung Pangkah, Kabupaten Gersik di Jawa Timur. Sungai ini adalah warisan alam yang megah nan melimpah yang bahkan membentuk warisan budaya masyarakat, tapi sudah mulai dibelakangi, terutama jika kita melihat rumah-rumah yang dibangun membelakangi sungai-sungai di sekitar Solo dan daerah lainnya.
Perubahan pola peradaban ekonomi dari dasaran agraris ke industri (perkebunan lalu tekstil-teknologi dan jasa) sudah mengubah nasib dan adab bersungai. Sejak pertengahana abad ke-20, terlihat betapa masyarakat Solo seperti tidak begitu tahu bagaimana harus mewarisi sungai terpanjang ini: sebagai saluran air saja (got) klosal nan panjang dari sampah di rumah-rumah (terutama yang di pinggir sungai), sebagai saluran limbah industri tekstil, sebagai sekadar saluran air di musim hujan, sebagai sungai wisata atau tempat pemancingan segelintir para bapak, sebagai sungai-tiada yang dibiarkan tak usah dilihat apalagi dipermasalahkan, atau sebagai entah apa. Gamang kolektif? Yang jelas, di kota Solo yang sudah memproklamirkan tidak punya sawah, sungai bukan lagi sebagai bagian integral pertanian.
Pada tahun 1950-an, perubahan persepsi dan perilaku terhadap sungai itu tampak dalam karya sastra. Dalam novel Solo Diwaktu Malam, Kamadjaja (1950: 84-5) pernah menulis tentang perubahan besar persepsi masyarakat Solo: sungai yang jadi tempat pariwisata. Simaklah puisi Kamadjaja ini: Tirtonadi jang permai/ Ditepi sungai/ Suatu kebun jang permai/ Riuh dan ramai/ltu suaranja air/ Mendesir-desir/ Dari pintu air/ Terdjun mengalir/ Pun disana tempatnja/ Beristirahat/ Melepaskan lelahnja/ Hibur hatinja/ Sepandjang lembah sungai/ Teratur rapi. Sungguh elok dan permai/ Di Tirto nadi.
Sumarno dan Darmi (atau Miss Neng) istri simpanannya, juga puluhan pemuda urban Solo yang sedang kasmaran pada masanya, “naik perahu ketjil beputar-putar dalam kolam menikmati hawa terang bulan. Kemudian ia naik dari djembatan ketjil. Diudjung djembatan itu terdapat tempat duduk dibawah langit biru jang indah menjegarkan pemandangan” (Kamadjaja, 1950: 98). Sungai adalah tempat pariwisata bahkan di malam hari. Kamadjaja juga menjelaskan tipologi pengunjung wisata sungai itu: “Fihak laki-laki merdeka! Segala matjam laki-laki datang disana. Dari pengikut agama sampai orang-orang jang seperti tidak ber-Tuhan. Kadang-kadang ada jang dengan sembunji-sembunji dan kebanjakan berterang-terang. Berterang-terang pula bersama dengan perempuan plesiran.” Sungai, terutama di sekitar pintu air Tirtonadi, adalah tempat parisiwata, bukan lagi sebagai bagian dari sistem perairan pertanian atau agribisnis.
Namun, sebagaimana diberitakan Panjebar Semangat (20 Oktober 1956), sungai yang menjadi bagian integral Taman Partini itu sebagian dijadikan “Taman Lalu Lintas”. Sejak itu, riuh dan ramai suara air sungai mulai tergantikan suara (otomotif) kendaraan. Barangkali, sungai sebagai bagian dari wisata urban hanya terjadi di Tirtonadi, namun setelah kehadiran kendaraan tidak pernah lagi berhasil dibangkitkan. Kita bukan makhluk Venesia di Italia yang mengagungkan wisata air sungai.
Dalam majalah Panyebar Semangat, (No. 48 th. 42, 29 Nopember 1975), kita membaca puisi Tony Ismoyo berjudul Grindulu: Ilimu sumlempit tengahing gegeuungan/ Ngampili tegal garing lan sawah aking/ Ngoncori palemahan wadhahing penguripan/ Cuwilaning dataran kutha Pacitan// Kedhung Mote kebak galeng gedhe-gedhe/ Kedhung Theng ana blendeng sakrembeng/ Kedhung Grombyang ana kutuke sakendhang. Cuma, semua itu adalah kisah-kisah masa lalu, kata sang pujangga Jawa modern. Sungai sudah bukan lagi bagian dari sawah dan masyarakat agraris.
Sekarang, atau sejak tahun 1975 bahkan tahun-tahun sebelumnya, seakan hendak mengulang keluhan akbar Ranggawarsita dari abad ke-19, Tony Ismoyo sang pujangga Jawa modern berujar bernas: Necep sabdane pujangga waskitha/ Pasar-pasar ilang kumandhange/ Kali-kali ilang kedhunge. Urbanisme yang menjadi penggerak tanah Jawa menjadi kota-kota memaksa “kali-kali ilang kedhunge”. Dalam arus perubahan itu, ekologi (kedhunge) sungai sebagai bagian integral sosial-ekonomi masyarakat berubah bahkan tampak semakin ditinggalkan.
Kedhung, ekologi budaya bersungai atau “Papan kang dadi asal oeatawa pakloempoekan” dalam Baosastra Djawa Poerwadarminta (1939: 202) memang tidak ambruk, sungai masih ada, tapi dibelakangi. Pemerintah memang masih tampak peduli terhadap sungai dengan mengeruk, membangun tebingnya, bahkan di beberapa sungai dibangun taman. Tapi, ekologi dan fungsi sungai sudah hampir tidak bisa diselamatkan lagi. Kita sudah begitu lama tidak melihat bahkan melarang bocah mandi dan bergembira di sungai; kita sudah lama sekali tidak melihat wanita dan lelaki mencuci di sungai; terutama, kita sudah jarang sekali melihat sungai digunakan sebagai bagian dari budaya bertani; kita jarang melihat kisah pemuda-pemudi berbahagia di sekitar sungai.
Apa yang diresahkan Ki Wiron Lumut tampaknya akan terus terjadi. Pada bulan-bulan penuh hujan, atau pada tahun-tahun mendatang, kita sangat membutuhkan sungai. Namun, mungkin, hanya hujan yang begitu dekat dan memahami sungai. #KotaSolo #Kampungnesia
M. Fauzi Sukri
Penulis buku Guru dan Berguru (2015) & Pembaca Serakah (2017)
Esai dimuat di Gagasan Solopos, 15 Maret 2018