Membaca Peta Musik di Solo

Dinas Pariwisata Kota Solo menggelar acara diskusi musik bertajuk Bincang-Bincang Kreatif pada 20 Februari 2018 di gedung Lokananta. Diskusi itu dihadiri oleh jurnalis, akademisi dan pelbagai pelaku seni musik, baik karawitan, pop, rock, jazz, blues, keroncong, punk, dangdut serta kontemporer. Pematik materi adalah Joko Gombloh, seorang etnomusikolog dan pelaku seni musik kontemporer. Solo yang selama ini senantiasa mengkultuskan diri sebagai pusat (musik) tradisi ternyata menyimpan berbagai episentrum jenis musik lain yang sayup-sayup belum terbaca dengan jelas. Wajar kemudian jika musik-musik di luar gamelan dirasa kurang mendapat perhatian. Keluh kesah disampikan para pelaku musik kepada pemerintah kota, utamanya Dinas Pariwisata agar nasib mereka lebih diperhatikan. Namun sebagaimana fokus dinas terkait, perkembangan musik akan senantiasa dihubungkan dengan persoalan keparwisataan yang mengukur keberhasilan sebuah acara dengan kalkulasi jumlah penonton yang datang. Semakin banyak pelancong diangggap semakin sukses, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, Solo kemudian menyulap dirinya sebagai kota festival dan pawai, hampir saban bulan kita dapat menyaksikan berbagai acara yang mengusung konsep kepariwisataan walau seringkali tanpa konsep yang matang.
 
Persoalannya kemudian, di kala kota-kota sejenis lain (sebutlah misalnya Jogja, Banyuwangi dan Bandung) mampu membuat kanal-kanal alternatif pilihan bermusik yang khas (kendang kempul, hip-hop, rock, dangdut), Solo masih belum membuka diri secara lebih komprehensif. Kita pun jarang melihat kelompok musik dari Solo yang mampu menembus belantika musik nasional, selain grup karawitan yang berulangkali berpentas di luar negeri kendati tak membawa pengaruh apapun untuk kota Solo. Oleh karena itu, Solo menjadi kota yang tidak ramah bagi perkembangan musik secara umum. Terlebih visi kota yang memusatkan perhatian di wilayah konservasi atau pelestarian tradisi (the spirit of Java), menjadikan detak kehidupan musik terasa stagnan, basi dan mandeg (jika tak boleh disebut mati). Pandangan yang digulirkan Gombloh tentang “pasca tradisi” (post tradition) menarik untuk dicermati, bahwa sudah saatnya Solo membuka diri dengan berbagai kemungkinan diaspora musik, tanpa harus mengusung satu varian musik sementara menganaktirikan yang lain.

Kanal Virtual
Diskusi yang juga dihadiri oleh beberapa anggota Dewan Perwakilian Rakyat (DPRD) Kota Solo itu kemudian menjadi acara yang cenderung seremonial. Sebagaimana lazimnya pejabat, memberikan nasihat-nasihat dan petuah-petuah normatif, namun tidak diimbangi dengan laku dan upaya nyata, sebutlah misalnya dengan merumuskan kanal-kanal bermusik yang ideal. Kita tahu, arus utama perkembangan musik tanah air telah berubah. Jika awalnya mengandalkan batas-batas kewilayahan, sekarang menjadi lebih fleksibel dan cair. Dengan kata lain, kita tidak harus mengandalkan Jakarta sebagai pusat distribusi musik. Setiap wilayah, dengan perkembangan teknologi, utamanya media sosial, dapat menjadi poros baru bagi terciptanya varian musik yang menumental. Oleh sebab itu, hari ini kita tidak lagi dapat melihat perjuangan-perjuangan musisi-musisi muda yang menyerahkan demo rekaman musiknya pada label-label besar di Ibukota, sebagaimana derita kelompok musik dahulu kala (baca kisah Shaila on 7).
 
Berbekal alat rekam video sederhana, seseorang yang tinggal di pelosok kampung dengan seketika dapat menjadi artis dadakan dan digandrungi oleh masyarakat luas. Pemanfaatan media digital dalam hal ini menjadi penting. Sayangnya, di Solo kanal-kanal virtual tersebut selama ini masih berserakan dan tidak ditata dengan rapi. Satu kelompok musik menyebarkan karyanya yang cenderung serampangan di youtube tanpa diimbangi dengan strategi pengelolaan manajemen digital yang baik. Akibatnya, walaupun bagus, karya-karya mereka tak menarik untuk dilihat dan didengar. Pada titik inilah, pemerintah kota lewat dinas terkait sudah seharusnya mengubah cara berfikir, dari manajemen fisik yang verbal menjadi virtual yang intangible. Kita tidak lagi dapat mengandalkan gelaran-gelaran festival atau konser musik yang selama ini mengharap kehadiran tubuh manusia untuk melihat. Atau pawai-pawai yang menutup jalan kota, menimbulkan kemacetan dan sampah berserakan. Gelaran-gelaran yang demikian cenderung membuang anggaran, dinikmati oleh warga Solo semata yang akhir-akhir ini justru mulai jenuh dan bosan.
 
Terlebih dengan hanya menjadikan Solo sebagai tuan rumah penyelenggaraan musik, seperti Solo City Jazz, Solo Keroncong Festival yang seringkali menjadi panggung artis-artis Ibukota. Bahkan tahun ini Solo akan mengundang David Foster dan musisi dunia lain untuk menggelar konser bertajuk Hitman David Foster& Friends (Solopos, 22/2/18). Nasib musisi-musisi lokal Solo semakin terpinggirkan di kotanya sendiri, dan tidak terbaca oleh publik. Menghidupkan gairah musik di Kota Solo tak cukup dengan hanya memberi ruang pentas, kemudian mati sesudahnya. Namun juga dengan membuat kanal-kanal digital yang langsung terkoneksi dengan stakeholders, masyarakat luas dan jaringan lintas batas. Dalam konteks musik, pemerintah dapat membuat bank data kelompok musik beserta karyanya, kemudian dipadatkan dalam satu wadah digital disertai dengan tampilan yang istimewa. Mengkliknya di media sosial akan terkoneksi dengan pilihan-pilihan musik yang ada di Solo, disertai dengan data dan kontak kelompok terkait. Setiap saat data dapat diupdate, dan dilakukan pembenahan. Lewat hal ini, peta musik di Solo dapat dibaca lebih baik, dengan mengacu seberapa banyak mata yang melihat dan mendengarkannya lewat jaringan internet. Pendapatan juga tidak harus didapat dari panggung pementasan, namun kalkulasi jumlah iklan dan  kehadiran “jari” yang mengkliknya.

Gerakan   
Hal yang lebih penting adalah gerakan mencintai musik-musik yang ada di Solo. Strategi pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjadi menarik untuk dibaca. Hingga detik ini mereka masih memproduksi cakram compact disk (VCD-DVD) lagu-lagu Kendang Kempulan yang dijual secara murah meriah, bahkan tak jarang dibagikan pada supir-supir angkutan umum. Saat kita menaiki bus jurusan Surabaya atau Banyuwangi, dalam perjalanan, lagu-lagu dangdut daerah khas Jawatimuran utamanya Banyuwangi akan diputar bertalu-talu. Masyarakat menjadi hafal dan panasaran. Hal yang demikian juga terjadi pada varian dangdut koplo Jawatimuran (baca Via Vallen dan Nella Kharisma).
 
Di Solo kita jarang melihat pemerintah kota mengampayekan musik rock, punk, blues, dangdut, dan sejenisnya -selain lembaga nirbala semacam bentara budaya (Balai Soedjatmoko)-. Padahal pelakunya relatif banyak, dan utamanya adalah generasi muda. Cukup disayangkan kemudian jika potensi itu tidak dirawat dan dibiarkan mati begitu saja, sementara kota-kota lain mulai memiliki kesadaran menjadikan musik-musik demikian sebagai ruang kreatif yang menjanjikan. Diskusi bertajuk Bincang-Bincang Kreatif tentang musik itu diusulkan untuk digelar secara periodik, tapi tentu saja akan menjadi percuma jika tanpa dilandasi dengan laku kerja yang kongkrit, alias sebatas wacana belaka. Endingnya, kita pun mengenal Solo dengan nang-ning-nong gamelan, melupakan bahwa di sudut kita itu tersebar berbagai jenis musik yang suaranya menunggu untuk didengar. Aduh!!
 
 
Oleh Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta
Sumber : Harian Solopos, 22 Februari 2018 
Foto : Blues Soedjatmoko via FB Balai Soedjatmoko
 
 

Berita Terkait