City (Kampong) : Rights, Body and Rhythm

Kota lahir melalui pemusatan surplus produksi secara spasial dan sosial, maka ia bekerja sebagai unit spasial yang melayani modal sekaligus sebagai arena (perjuangan) kelas-sosial. Pada titik temu inilah usaha untuk menerjemahkan realitas perkotaan menjadi penting. Menafsirkan ulang cara-cara di mana ruang (kota) telah menjelajahi peta mental orang-orang dan perasaan terdalam mereka tentang tempat-tempat dengan cara menguraikan kartografi baru tentang subjek (perkotaan) melalui proses memetakan koordinat kunci dari makna, identitas dan kekuatan di seluruh situs-ritus tubuh dan kota.Kota menyuguhkan kondisi dari relasi tertentu yang ter/dibentuk di tengah masyarakat, melalui pengembangan (jenis) relasi dalam tegangan tarik-ulur yang berlaku didalamnya untuk berperilaku secara sama atau berbeda satu sama lain, sehingga harus terus menjadi bagian dari kota itu sendiri sampai dapat menciptakan entitas-entitas yang membentuk komunitas yang sesungguhnya dari masyarakat itu sendiri.

Relasi yang terbentuk inilah yang menimbulkan kompleksitas persoalan yang ditimbulkan. Hubungan relasional dalam hal timbal balik yang (tidak) sejajar dan adil menjadi pengalaman yang dimunculkan dalam memahami realita kota sebagai ruang dan waktu yang dikompresi ketika memberikan narasi (budaya) komposit melalui artefak dari orientasi spatial yang disuguhkan kota. Kota terdiri dari lebih banyak faktor, ornamen, fitur, ritus dan performance daripada hanya sekedar lingkungan dan ruang fisik yang mereka tempati semata, hal ini dialami langsung melalui kerja tubuh. Sebagai manusia, kita mendiami, melintasi, membangun ruang kota dan membentuk kota, karena itu pada gilirannya yang sebenarnya membentuk kita. Pengalaman lingkungan perkotaan masa kini mencakup praktek-praktek bersiasat melalui komunikasi antar jejaring relasi yang beraneka ragam.

Melalui gagasan ruang publik kota sebagai situasi sosial yang terlokalisir dan historis digunakan oleh jaringan praktisi seni, sastra, musik dan aktifis. Merujuk Rossi (1966) bahwa kota terdiri dari kumpulan arsitekturnya, yang berarti bahwa kota adalah karya seni. Artefak-artefak kota, seperti bangunan, jalan dan benda- benda lain adalah karya seni yang merupakan perwujudan dari praktik hidup sehari-hari (Kent 2016) melalui praktik kerja konfigurasi dan apropriasi kota sebagai ruang hidup. Kita, berusaha untuk mengeksplorasi banyak cara di mana kota dirasakan oleh tubuh dan bagaimana ruang perkotaan mempengaruhi jasmani-rohani yang melewati atau tinggal di dalamnya dan memberikan ruang serta sudur pandang berbeda terlibat dengan tubuh dan masalah perkotaan (kontemporer).

Praktik apropriasi ruang memberikan celah untuk menarasikan kota dalam bearagam formasi struktur, kelas hingga gender dan tubuh yang bekerja secara inherent. Kerja apropriasi menjadi cara yang dilakukan oleh warga untuk menuntut haknya atas kehidupan di kota serta menata ulang ruang sosial dan fisik sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka (Lefebvre 1996). Bayangkan bagaimana tubuh Anda dengan santai bergerak melalui tempat-tempat dengan tebal informasi yang tersedia, bagaimana Anda merenungkan hal-hal yang tiba-tiba muncul atau sengaja dimunculkan untuk mendapatkan pemahaman tertentu dalam realitas yang akrab.

Ruang dan waktu tertanam dalam interaksi sosial, struktur, praktik dan pengetahuan dalam artefak di dalam tubuh dan di lingkungan yang secara implisit, tertanam dan berwujud bentuk-bentuk pengetahuan sosial dalam pengaturan kehidupan sosial dan ruang melalui dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman realitas dalam praktik sosial. Haraway (1988) dalam analisis terkait produksi realitas objektif, bertanya-tanya bagaimana rasanya mengalami dunia bukan karena penglihatan, tetapi oleh aroma yang ditangkapnya. Indera dan tubuh kita adalah sistem perseptual yang menghasilkan dan memediasi cara-cara spesifik untuk mengalami dunia (Haraway 1988).

Tubuh di sini merupakan objek yang mendominasi atas kota sebagai struktur yang dihasilkan, terutama yang berasal dari kekuatan fisik untuk benar-benar membangun. Dalam pengertian ini, tubuh diproyeksikan ke kota. Namun pandangan terbalik tentang hubungan ini telah muncul. Lingkungan perkotaan diberi label yang mengasingkan dan kota tidak memungkinkan tubuh menjadi konteks "alamiah". Semuanya cocok untuk pandangan khusus tentang humanisme. Subjek manusia dicirikan sebagai agen independen secara individual dan kolektif yang bertanggung jawab atas penciptaan budaya, sosial dan historis.

Cara berbeda yang memungkinkan untuk melahirkan pemahaman dan kemungkinan berbeda dalam persepsi tubuh dalam kompresi ruang waktu. Hal yang dapat diterapkan pada cara orang mendiami tempat, cara bekerja disuatu tempat dan melakukan praktik artistik dengan apropriasi yang beragam dalam melahirkan pemahaman dan tindakan baru yang mungkin tidak tersedia sebelumnya, sehingga hal ini mungkin merupakan dasar untuk kreativitas.

Rhythm, Tubuh dan Kota

Pergantian ke ruang (kota) paling baik dipahami sebagai bagian dari perjuangan yang lebih umum untuk menghasilkan pemikiran material (kota) yang telah menyibukkan teori sosial selama 20 tahun terakhir. Maka dalam konteks ini, dimulai dari premis Lefebvre (2004), bahwa di mana-mana, di mana ada interaksi antara tempat, waktu dan pengeluaran energi, ada ritme. Rhytm memberikan sesuatu yang lebih kaya dari praktik-praktik sinkronik di ruang-waktu sementara juga memperhitungkan kualitas spasial, sensasi dan kebiasaan intersubjektif. Lantas, bagaimana ruang-waktu ditafsirkan atau dialami yang secara geografi waktu menunjukkan bahwa (tubuh) individu berulang kali intim dan juga saling menghalangi melalui kerja lembaga, teknologi, dan lingkungan fisik orang lain dengan cara mengeksplorasi struktur temporal dan proses sehari-hari yang (kembali) menghasilkan hubungan antara individu dan sosial. Ini sajian dialektika antara (tubuh) individu dan dunia luar untuk menyajikan psikoanalisis ruangnya.

Tubuh adalah bagian dari kata Yunani yang berarti 'Polis' adalah sebuah kota, sebuah negara kota dan juga kewarganegaraan dan tubuh warga negara. Ketika digunakan untuk menggambarkan Athena Klasik dan orang-orang sezamannya, polis sering diterjemahkan sebagai "kota-negara" Seperti yang bisa kita lihat, tubuh manusia memainkan peran penting dalam pembentukan awal kota melalui 'tubuh warga' sebagai metafora. Maka, tubuh ditorehkan ke dalam sejumlah siklus yang pada akhirnya pola-pola ini memiliki dampak langsung pada setiap kegiatan dan hubungan sosial yang berasal dari tubuh, sekaligus inherent dalam pembentukan lingkungan. Sehingga pentingnya melihat pola berulang sebagai elemen masyarakat dalam arti keseluruhan.

Hubungan dan interaksi tubuh dan kota adalah subjek penyelidikan langsung. Misalnya melalui pertunjukan tubuh seniman pantomim atau seniman performance art hingga melalui pelacakan GPS bagi individu di kota, gerakan tubuh dicatat pada skala kota dan memvisualisasikan perluasan interaksi tubuh dengan morfologi perkotaan. Secara harfiah, rekaman dapat divisualisasikan sebagai prasasti fisik tubuh ke bentuk perkotaan yang saling terkait dalam beragam macam perspektif dan isu. Dengan konstitusi ritmis tubuh dalam pikiran, ruang 'penciptaan' dari tubuh fisik ini dilihat,diselidiki dan dinilai oleh (publik) kota.

Dalam konseptualisasi yang lebih teoritis dari tubuh, ada penekanan besar pada isu-isu gender. Meskipun ini adalah aspek yang sangat penting, akan terlalu banyak untuk mengintegrasikannya secara detail. Jika tubuh dibaca sehubungan dengan kota, pentingnya isu-isu eksternal ditekankan. Tubuh membentuk kota dalam arti harfiah jika kota dipahami sebagai artefak manusia. Mereka benar-benar berdiri dalam hubungan dua arah, yang berarti bahwa mereka secara langsung mempengaruhi satu sama lain mengakibatkan kota membentuk tubuh dan tubuh membentuk kota dalam pemahaman yang luas, dimanis serta fleksibel.

Mobilitas tubuh dikota dalam ritme tertentu memberikan narasi (politik) tubuh dalam pertunjukan kota. Mobilitas dan performance akan mereproduksi efek destruktif abstraksi pada ruang dan ritme kota. Rhythmanalysis Lefebvre (2004) menjadi sumber daya yang menstimulasi pemikiran terkini tentang ruang, tempat, dan kehidupan sehari-hari. Rhythmanalysis ditempatkan dalam konteks geografi waktu yang lebih luas, dapat berkontribusi pada pengembangan pemahaman temporal tempat dan ruang. Rhythmanalyst harus mengambil tubuh mereka sendiri – ‘respirasinya, denyutan, sirkulasi, asimilasi, durasi dan fase durasi"-sebagai ukuran ritme lainnya. Di sini, pengalaman budaya dan pemahaman sosial tentang waktu harus dipahami sebagai dinamis, ganda, dan heterogen.

Melalui penerapan "ketukan ritmik" pada sejumlah besar kegiatan utama termasuk pekerjaan, konsumsi dan sosialisasi dalam mempromosikan struktur dan ritme tertentu dalam kehidupan manusia, karena kehidupan sehari-hari terbentuk dari banyak kebiasaan, jadwal, dan rutinitas yang memberikan prediksi dan ontologis. Penataan ritmik hari itu bukan hanya individu tetapi kolektif, dan bergantung pada sinkronisasi praktik yang menjadi bagian dari bagaimana 'kita' menyelesaikan dan melihat berbagai hal.

Ritme semacam itu membentuk pengalaman tempat dalam durasi tertentu, jam, harian,mingguan, tahunan dan mempengaruhi formasi materialitas yang sedang berlangsung. Perspektif ini menghindari konsepsi ruang sebagai hal statis, karena ritme pada dasarnya bersifat dinamis. Selain itu, ritme-ritme yang muncul dari praktik-praktik manusia adalah bagian dari proses berkelanjutan dari 'keterlibatan lemah dengan konteks material, sensorik, sosial dan budaya di mana kita tinggal' (Pink 2007). Rhythm memberikan pengalaman sensorik lingkungan perkotaan dalam narasi kerja yang berbeda dan menunjukan cara kerja musik serta memberikan keterlibatan sensual bagi warga kota dalam meningkatkan hubungan sensorik dan politik (perkotaan) (Prasetyo 2016).

Alih-alih waktu sosial tunggal atau seragam yang membentang di ruang sosial, May dan Thrift (2001) dalam pendapatnya, bahwa kita perlu 'sadar akan berbagai (dan tidak merata) jaringan waktu yang membentang dalam perbedaan arah dan perbedaan di bidang sosial yang tidak merata' . Lalu, Barbara Adam (1998) menegaskan bahwa kita perlu mengeksplorasi formasi yang berbeda dari 'tempo, waktu, durasi, urutan dan ritme sebagai struktur waktu yang saling terlibat . Maka dalam konteks ini, rhythmanalysis menyelidiki pola dari berbagai temporalitas multiscalar, siklus hidup, somatik dan mekanik dengan irama menyediakan konstituen penting dari pengalaman dan organisasi waktu-sosial.Dengan fokus pada beberapa ritme, bagaimana pula kekuasaan diwujudkan dalam praktik normatif yang tidak reflektif, tetapi juga melangkah ke samping, dilawan dan dilengkapi dengan dimensi lain dari pengalaman sehari-hari. Barbara Adam (1995) juga menarik perhatian pada bagaimana 'kapan, seberapa sering, berapa lama, dalam urutan apa dan pada kecepatan apa’ diatur oleh norma, kebiasaan dan konvensi tentang temporalitas.

Penekanan pada ritme yang melibatkan ini yang bersirkulasi di dalam dan di luar tubuh juga menarik perhatian pada kapasitas jasmani untuk merasakan ritme, sensasi yang mengatur pengalaman subjektif dan budaya suatu tempat. Pengalaman sensual dan ritmik yang biasanya tidak teratur untuk menempatkan keintiman ruang mungkin membingungkan ketika tubuh tidak sesuai pada tempatnya, meskipun pola spatio-temporal dapat dengan cepat direkayasa untuk mengkonfigurasi ulang kehadiran dalam ruang yang diubah atau tidak dikenal untuk mendapatkan ontologisnya kembali.

Meskipun ini fluiditas dan dinamisme, namun memiliki potensi selalu immanen untuk memberikan gangguan sehingga terkadang rhythm menawarkan juga konsistensi terhadap ruang dan lanskap dari waktu ke waktu. Untuk terlepas dari berlangsungnya kehidupan dan tempat yang sedang berlangsung, rutinitas yang teratur dan proses perubahan mesh yang lebih lambat dengan relatif singkat umur manusia untuk memberikan beberapa rasa stabilitas. Appadurai (1990) memahami globalisasi sebagaimana didasari oleh aliran orang, komoditas, informasi, gagasan, teknologi, dan keuangan yang sering kali disatukan. Akibatnya, kita dapat membayangkan tempat-tempat sebagai bagian dari jaringan spasial yang sangat kompleks (Massey 1994) dan bukan yang berdiri sendiri. Kota-kota, misalnya, tidak henti-hentinya terbentuk dari koneksi mereka, 'tikungan dan fluktuasi interelasi.

Misalnya melalui pengumuman PBB pada tahun 2008 bahwa sekarang untuk pertama kalinya dalam sejarah bumi, lebih banyak orang tinggal di kota daripada di daerah pedesaan. Pendekatan yang berpusat pada humanistik diterapkan untuk menghadapi prediksi yang meningkat pada populasi kota. Dalam hubungan satu arah di mana tubuh adalah penyebab ini semua, maka konsep kota perlu diperbarui dimana terkait dengan pemutusan tubuh dan kota. Pemahaman yang bergerak lebih jauh dari sekedar arti 'polis'. Hubungan antara dua istilah yang bergeser dari ketergantungan ke persaingan, sehingga diperlukan sebuah siasat untuk menunjukkan perubahan dramatis dalam memahami kota.

Praktik (siasat) Kota (Bandung)

Berfokus pada penciptaan ruang sebagai suatu kegiatan. Argumen tersebut tidak hanya menarik pada aspek-aspek pergerakan dalam waktu, tetapi juga pada konteks budaya dan sosial tertentu yang mempengaruhi penciptaan habitus spasial. Munculnya definisi temporalitas sebagai status alih-alih transisi yang muncul melalui. melalui praktek-praktek berulang sebagai habitus, waktu memiliki kehadiran dan agen dalam kehidupan kita sehari-hari.

Siasat perkotaan mencoba membuat keselarasan dengan gagasan tentang estetika relasional dan praktek seni partisipatif yang akhir-akhir ini sedang gencar dipelajari dan dibicarakan dalam konteks partisipasi. Derajat partisipasi ini berbeda jika dibandingkan dengan seni tradisional. Praktek seni yang demikian menciptakan ruang baru bagi berbagai interaksi baik di wilayah publik dan privat, mengkritisi paradigma dominant tentang hubungan antara individu, kelompok, korporasi dan Negara serta mengimajinasikan cara hidup baru (Kent 2016). Aktivasi komunitas melalui musik dalam praktik ruang (kota) mendorong kontrol publik dan populer, untuk demokrasi partisipatif dan mendapatkan sedikit narasi politik partisan kontemporer (Prasetyo 2016).

Masih ada banyak perdebatan tentang aspek estetika dan sosial dari cara berkesenian semacam ini, termasuk di antaranya bahwa proyek-proyek seni semacam ini sejalan dengan hasrat pemerintah neo-konservatif yang mengalihkan tanggung jawab negara atas persoalan sosial dan lingkungan kepada masyarakat. Kita akan melihat bagaimana tindakan “resistensi” dua kelompok seniman, baik yang dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, memperumit paradigma neo-konservatif dalam konteks Indonesia masa kini. Situasi ini juga menunjukkan adanya ketegangan produktif antara bekerja di dalam masyarakat dengan dan tanpa negara (Kent 2016)

Titik keberangkatannya adalah salah satu kota modern yang kaya sejarah, berlapis-lapis, dan kontradiktif di Indonesia: Bandung. Karena kronologi dan penggambaran sejarah konvensional secara tak terelakkan menyederhanakan atau bahkan mengabaikan kompleksitas berlapis-lapisnya, Cara kerja ini mencoba membuka perspektif baru untuk mengalami ruang kota dan memikirkan kembali sejarahnya. Ini sebagai proses berkelanjutan dalam menciptakan alat, metode, taktik dan strategi baru untuk mengartikan wajah penghuninya dan fasad bangunannya untuk mempersepsikan waktu, ritme dan lansekap.

Kenapa Bandung? Sejak penguasa kolonial dan feodal, kota ini telah menjadi fokus dari kepentingan politik, ekonomi, dan budaya yang intens. Memang, Bandung menonjol dalam perubahan yang menentukan dalam perjalanan sejarah Indonesia, terutama kaum pemikir dan kelas kreatifnya yang menandai transformasi kota menjadi tempat agresi intelektual. Hal ini didukung oleh infrastruktur dan ekosistem pendidikan, signifikansi historis, lokasi geopolitik dan atraktifnya kota melalui kultur anak muda nya. Bandung telah menjadi metafora baru untuk proses integrasi (youth) culture dan menjadi kota dengan titik fokus untuk gerakan budaya urban yang signifikan.

Bandung telah mengalami transformasi urban yang substansial dalam 5 tahun terakhir dengan fokus besar pada peningkatan ranah publik di seluruh wilayahnya. Investasi infrastruktur dan pasar yang ekstensif mendorong kebutuhan akan berbagai ruang publik yang berkualitas. Perubahan termasuk penciptaan ruang publik baru dan perumahan berkualitas baik, revitalisasi, penguatan komunitas, dan peningkatan taman yang ada, meskipun dalam praktik mengalami glorifikasi estetis (politis) yang harus dibayar mahal karena memunculkan gentrifikasi, segregasi dalam politik keseharian warga. Konsekuensi sosial dan budaya dari langkah ini dilacak untuk menyebarkan perspektif berbeda secara struktural dan fenomenologis terhadap (ruang-tubuh) kota.

Bentuk yang samar-samar namun fotogenic dan intagramable, yang paling tepat digambarkan sebagai bidak catu?, Lantas, apakah ini peran kekuasaan dalam formasi kerja historis atau estetis? Namun, tetap saja ini eksentrik dengan ukuran dekoratif politik nya yang besar melalui tangan-tangan kekuasaan yang merepresi (tubuh) kota. Akibatnya menjadi mengganggu ritme (tubuh-kota) dan bagian-bagiannya lainnya yang telah kadung ada, meskipun disajikan sebagai dijernihkan persaingan estetika infrastuktur (tubuh) kota. Selain itu, daya tarik yang didorong oleh estetika desain yang (dianggap) kuat mempengaruhi mental map publik namun di banyak karya bermuara pada pengalaman ruang-publik yang membuat putus asa - meskipun ini datang, diakui, dari publik yang lebih suka terprovokasi daripada senang atau terdaftar dalam formasi absurditas indeks kebahagiaan. Proliferasi publik dalam tubuh dan kotanya ini berarti bahwa kedekatan telah digantikan oleh distribusi sebagai metafora dan ambisi penuntun kekuasaan.

Tematis, pengulangan, irama dan pola merupakan wilayah yang luas dan terinjak-injak dalam sejarah kota, namun rhytm ini membawa sesuatu yang segar dan penting akan menjadi yang paling ambisius dalam praktik siasat apropriasi kota tanpa merusak kepastian waktu dan ruang lama dengan menyatakan bahwa dimensi-dimensi ini tidak ada secara tunggal, tetapi hanya sebagai istilah proses hibrida. Masalah ruang mungkin telah terlalu ditekankan dan penting bahwa proses kehidupan sehari-hari, seperti globalisasi dan isu-isu lingkungan serta gagasan-gagasan seperti gender, ras dan etnisitas, dilihat dengan analisis ruang-waktu yang seimbang.

Mempertimbangkan kembali teori waktu dan ruang yang ada di bidang perencanaan kota dan mengembangkan suatu laporan terkini dari aktivitas spasial, pengalaman dan pembuatan ruang. Perkembangan terkini dalam praktik spasial, khususnya yang terkait dengan teknologi baru, menjadikan ini tugas yang penting dan tepat waktu. Mengintegrasikan dinamika spasial-temporal ke dalam cara kita berpikir tentang kota membantu penerapan bentuk perencanaan kota yang berkelanjutan. Namun, pemeriksaan, eksperimen dan eksekusi imperatif dan semua kemungkinan membutuhkan ambang batas fisik dan mental (politik) yang tinggi dalam rhytm yang kadang tidak beraturan.

Tubuh Kota adalah Kampung Kota

Warisan kota yang paling otentik dari segi material, arsitetural hingga kultural adalah kampung (kota). Wajah kampung kota ini berada dalam cermin rapuh dalam laju akselerasi modernitas, tapi juga rentan rentan terhadap praktik-praktik agresi developmtalism dalam skala global hingga lokal. Kampung-kampung kota ini seperti jalur pinggir dijalanraya dalam peta lansekap kota, kadang dianggap tidak ada tapi nyatanya ada, kadang disalip oleh sesuatu dan kadang diserobot juga. Di Bandung, ruang interaksi yang tersisa di kampung-kampung kota dipaksa lenyap. Diganti objek dan lanskap yang fotogenik, instagramable, swafoto layak unggah, sebagai barometer kebahagiaan warga Kota Bandung yang anomali terhadap realitas3.

Kota Bandung hendak berubah dengan bersolek, hanya saja terlalu menor. Kota ini ingin disulap menjadi episentrum bisnis, jasa, dan leisure di bawah berbagai macam bendera, seperti MP3EI, RPJMN hingga NAWACITA sekaligus taklid menjalankan amanat agenda gloibal, city without slums, yang terimplementasi pada program Kota Tanpa Kumuh. Lantas, jika melihat ini dimana kampung kota berada ?. Mereka tentu saja menjadi lansekap tradisional kota yang kemudian diberikan beragam macam stigma oleh kekuasaan dan struktur kelas.

Kampung kota diidentikan sebagai proto kota, kearifakn lokal hingga warisan heritage arsitektural dan kultural yang seolah sangat layak dipertahankan sebagai bagian dari identitas (tubuh) kota. Tapi disisi lain kampung kota juga diidentikan dengan area slum, squater, penghuni ilegal dalam hal menempati lahan hingga ilegal secara administrasi kependudukan yang layak dihilangkan. Nyatanya jika ditelaah dengan seksama, warga yang tinggal dikampung-kamoung kota ini telah mendiami area tersebut tutun temurun, lintas generasi dan ajuh sebelum negara ini berdiri.

Kampung kota kemudian menjadi sasaran strategis developmentalism untuk diapropriasi melalui taklid pembangunan dengan beragam metode dengan tujuan utamnya berupa akselerasi kapital dalam hal penguasaan lahan perkotaan yang semakin sempit dalam accumulation by disposition dalam praktik kapitalisme. Skema ini berlaku global, dimana kampung-kampung kota dihampir semua negara menjadi target-target baru pemusnahan untuk diakuisisi lahan strategisnya untuk kepentingan yang lebih komersial. Dalam konteks keberadaan kampung kota, relasi ekonomi-politiknya adalah penguasaan dan distribusi lahan perkotaan. Upaya perubahan status lahan dan hunian akan dengan cepat terjadi atas permintaan pasar kelas tertentu.

Warga miskin kota yang mayoritas berada di kampung-kampoung kota akan sangat mudah tersingkir karena lemah daya tawar politik, ekonomi, dan geografis. Skema penggantian ini salah satunya melalui penggusuran. Maka tidak heran jika penggusuran kampung kota akan selalu terjadi, baik oleh pemerintah maupun oleh developer dengan atau tanpa kekerasan, tapi umumnya dengan kekerasan aparatus.

Gentrifikasi, ghetonisasi, dan segregasi tidak bisa dihindarkan, bahkan semakin besar dan tajam memengaruhi semua sendi kehidupan warga kota. Tubuh kota digantikan oleh tubuh kota lainnya yang lebih memiliki daya tawar modalitas dan kapital dalam penguasaan ruang kota.

Kita perlu fokus pada produksi kota, bukan hanya konsumsi di dalam diri mereka, untuk memahami dinamika kapitalisme kontemporer dan melihat perlawanan oleh proses ini. Perlu membangun jembatan antara kelas pekerja tradisional dan gerakan perkotaan; keduanya saling terkait dan selalu terjalin untuk menunjukkan potensi revolusioner gerakan perkotaan yang memiliki tuntutan reformis , seperti hak atas perumahan dan layanan publik. Kampung-kampung kota dapat direorganisasi dengan cara lebih adil secara sosial dan ekologis. Mereka dapat menjadi fokus pada perlawanan terhadap kerja kapitalis dan memperjuangkan hak atas kota.

Upaya kerja simbolik dan struktural untuk menguatkan basis partisipatori warga Kampung untuk memberikan narasi kewargaan dan memori kolektif yang terus dirawat secara spasial dan kultural, sebagai upaya nilai tawar bahwa ada siklus tubuh kota di kampung kota yang tidak mudah dihilangkan begitu saja lalu diganti dengan yang katakanlah lebih modern itu. Mengutip Harvey (2008) , The right to the city is far more than the individual liberty to access urban resourses : it is a right to change ourselves by changing the city, maka itu kampung-kampung kota (harus) dapat melakukannya untuk mendapatkan hak atas kota. We Organize !!!

Referensi
Adam, Barbara. 1998. Timescapes of Modernity: The Environment and Invisible Hazards: Routledge.
Adam, Barbara 1995. Timewatch: The Social Analysis of Time. Cambridge: Polity Press.
Appadurai, Arjun. 1990. "Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy." Thory, Culture & Society 7:295-310.
Haraway, Donna. 1988. "Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspectives." Feminist Studies 14 (3):575-599.
Harvey, David. 2008. "The Rights to The City." New Left Review 53:33-34.
Kent, Ellen and Frans Ari Prasetyo. 2016. ""siasat" - Artistic Tactic for Transgresion on State Authority." In Paririmbon Jatiwangi, edited by Grace Samboh. Jatiwangi: Yayasan Daun Salambar and Jatiwangi Art Factory.
Lefebvre, H. 2004. Rhythmanalysis: Space, Time and Everyday Life. Translated by S. Elden and G. Moore.
London: Continuum.
Lefebvre, H. 1996. "“Perspective or Prospective?” Writings on Cities." In. Oxford: Blackwell.
Massey, Doreen. 1994. "A Global Sense of Place " In From Space, Place and Gender Minneapolis: University of Minnesota Press.
May, Jon and N. J. Thrift. 2001. TimeSpace : Geographies of Temporality: Psychology Press.
Pink, Sarah. 2007. Doing Visual Ethnography: SAGE Publications.
Prasetyo, Frans Ari. 2016. Rhythm dan Politik (kewargaan) Kota. Bandung: Grimlock Records. CD Booklet.
Rossi, Aldo. 1966. The Architecture of The City. Cambridge: MIT Press.
 
 
Oleh
Frans Ari Prasetyo 
Urbanist – Independent Researcher 
Artikel Diskusi “Mementaskan Kampung Kota“
yang diselenggarakan oleh Bandung Performing Arts Forum (BPAF) (20/05/2018) 
 
 

Berita Terkait