Merekam Kali Pepe : Transit di Pringgondani

Melintasi Kali Pepe dikawasan ini akan bersinggungan dengan dua kampung, yakni kampung Pringgading di sebelah utara dan kampung Kusumodiningratan di sebelah selatan. Berbagai jenis sampah terlihat area yang panjangnya kurang lebih 250 meter dengan lebar 9 meter, mulai dari sampah-sampah plastik rumah tangga seperti bungkus detergen, shampo, dan masih banyak lagi. Selain sampah plastik, terdapat juga sampah botol-botol seperti botol kecap dan softdrink hingga yang paling parah terdapat pula kasur yang dibuang ke Kali Pepe. Kantong-kantong sampah banyak menumpuk di bawah jembatan belakang Mangkunegaran dan jembatan sebelah Taman Keprabon yang menurut warga merupakan ulah dari warga jauh (bukan warga Pringgading dan Kusumodiningratan). Karena untuk warga Pringgading dan Kusumodiningratan sendiri sudah memiliki petugas kebersihan dari Kecamatan yang setiap pagi mengambil sampah-sampah rumah tangga warga, meskipun demikian, masih saja ada beberapa warga yang masih membuang sampahnya ke Kali. Masalah Kali Pepe tidak cukup sampai disitu, selain limbah padat, limbah cair rumah tangga juga dialirkan ke Kali. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa rumah di kampung Pringgading RT 04/RW 09 yang drainasenya langsung menuju Kali sehingga Kali Pepe yang hanya sedalam kurang lebih 30 cm (jika kemarau) memiliki warna hijau kehitaman ditambah bau yang tidak sedap.
Berbagai perubahan dan perbaikan terus dilakukan di sepanjang Kali Pepe oleh Pemkot. Perubahan aspek fisik Kali setidaknya dimulai 30 tahun yang lalu, yakni pelebaran dan pembuatan talud non permanen. Kemudian dilanjutkan di 20 tahun terakhir pembuatan talud permanen berupa cor-coran setinggi 2,5 sampai 3 meter dibahu Kali. Selain itu, upaya lain dari Pemkot guna mengurangi resiko banjir, seperti sosialisasi dan pengerukan, oleh karenanya setiap setahun sekali rutin diadakan pengerukan. Pengerukan ini dimaksudkan untuk memperdalam kedalaman Kali agar mampu menampung air di musim hujan dan meminimalisir resiko banjir. Tidak hanya talud cor permanen saja, juga merapikan area sekitar Kali Pepe dengan merelokasi hunian bantaran Kali Pepe yakni 3 meter dari bibir Kali. Seperti yang terdapat di Rumah Deret Pringgondani di kampung Pringgading dan juga rumah susun di kampung Kusumodiningratan. Perbaikan juga dilakukan di sepadan bantaran hingga pemberian pagar-pagar besi. Informasi dari warga, upaya untuk terus mengadakan perubahan dan perbaikan Kali Pepe tidak lain adalah untuk mendukung terealisasinya wisata air di Kali Pepe. Hal ini bisa dilihat dari bibir Kali yang telah di beri tangga turun di setiap sepuluh meter, sedianya tangga-tangga ini kelak akan difungsikan sebagai dermaga untuk perahu-perahu wisata merapat.
Sepadan sejatinya merupakan batas antara bibir Kali dengan hunian warga. Kebijakan Pemkot bahwa hunian warga harus berjarak 3 meter dari pinggir Kali sudah mulai terlaksana. Namun, minimnya lokasi yang warga punya untuk melakukan berbagai aktivitas mereka sehari-hari membuat sepadan menjadi memiliki fungsi yang beragam. Terdapat dua jenis sepadan, sepadan tanah dan juga sepadan paving. Sepadan tanah ini rata-rata memiliki lebar 1 meter dan difungsikan warga sebagai tempat menanam berbagai jenis tanaman. Mulai dari kelapa, bunga, hingga yang paling dominan buah-buahan. Pohon-pohon tersebut dibeli dan ditanam sendiri oleh warga secara pribadi namun ada pula yang merupakan bantuan dari Pemkot yakni beberapa pohon palm yang berderet di pinggiran Kali di kampung Kusumodiningratan maupun Pringgading. Inisiatif warga untuk menanam pohon buah-buahan baru dilakukan di Pringgading, hal ini di karenakan warga baru saja mengalami relokasi dan penataannya belum sempurna. Sedangkan, yang kedua yakni sepadan paving. Sepadan paving dan sepadan tanah dibatasi dengan tiang besi yang sering dimanfaatkan warga untuk menjemur pakaian. Sepadan paving memiliki lebar sekitar 2,5 sampai 2,7 meter untuk di kampung Pringgading dan 2 sampai 3,5 meter untuk kampung Kusumodiningratan. Kondisi sepadan telah mengalami perubahan, dulunya sepadan rata dengan tanah dan sangat kumuh karena banyak hunian warga non permanen serta tumpukan sampah dimana-mana. Setelah direnovasi sepadan-sepadan ini menjadi lebih tertata. Fungsi utama dari sepadan paving adalah sebagai jalan atau akses warga dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari, seperti yang ada di rumah susun kampung Kusumodiningratan.
Walaupun masih ada beberapa rumah warga di sebelah pabrik sepatu Sadinoe yang menggunakan lahannya sebagai dapur. Hal ini dikarenakan posisi rumah-rumah tersebut masih menghadap ke arah jalan RM Said dan membelakangi Kali Pepe sehingga mereka memanfaatkan sepadan yang ada sebagai dapur dan bahkan warung. Hal tersebut tentunya sangat mengganggu bagi warga yang ingin menggunakan sepadan-sepadan tersebut sebagai akses jalan mereka melakukan kegiatan sehari-hari. Namun ada yang lebih kompleks, sepadan di RT 04/09 kampung Pringgading. Sepadan disana memiliki fungsi yang sangat beragam mulai dari sebagai tempat parkir, tempat bermain, bahkan tempat mencuci dan memasak. Kondisi ini membuat sepadan yang kurang lebih lebarnya hanya 2,5 meter terlihat sangat padat. Jemuran pakaian bergantungan di jemuran-jemuran warga maupun di pagar-pagar besi, bersama barang-barang lainnya kompor, ember-ember tempat mencuci piring, gerobak warga, hingga mesin cuci ada di sepadan ini. Bahkan terdapat beberapa warung milik warga yang berjejer di sepadan ini. Warga RT 04/09 sering melakukan interaksi antar warga di sepadan, dimana warga sering berkumpul dan berbincang-bincang di kala sore hari.
Area sepadan Kali Pepe juga merupakan arena bermain bagi anak-anak. Tidak adanya lahan bermain membuat anak-anak tersebut bermain hanya disepanjang sepadan tentunya dengan kondisi yang ada. Hal tersebut tentunya membuat anak-anak tidak leluasa bermain. Di kala pagi sekitar pukul 08.00 Wib hingga siang sepadan di RT 04/RW 09 ini terlihat sepi, namun ketika sudah menjelang sore sekitar pukul 16.00 Wib banyak warganya yang duduk-duduk diluar untuk sekedar bercengkrama dan melihat anak-anak bermain. Tentunya hal ini membuat pengguna jalan yang harusnya bisa mengakses sepadan tersebut untuk pejalan kaki menjadi sungkan dan tidak leluasa. Ibu Ema, salah satu warga RT 04/RW 09 juga mengaku bahwa ketika ada kunjungan Walikota pada saat itu, warganya sering ditegur untuk lebih memperhatikan kondisi dan kerapihan sepadan mereka. Sedikit berbeda RT 03/RW 07 kampung Pringgading sepadannya terlihat lebih tertata. Hanya saja terlihat tempat jemuran pakaian di sepadan, dikarenakan tidak adanya tempat untuk menjemur pakaian mereka. Sepadan disini difungsikan sebagai tempat parkir kendaraan milik warga rumah deret karena kendaraan yang mereka miliki seperti motor dan juga sepeda tidak dapat dimasukan ke dalam rumah mengingat luas rumahnya yang relatif sempit.
Menurut penuturan bapak Widodo selaku ketua RT 03/RW 07, nama-nama kampung di sekitar keraton berasal dari pihak Mangkunegaraan, termasuk Kampung Pringgading. Istilah kampung Pringgading sendiri berasal dari kata “pring” dan “gading”. Pring berarti bambu, dan gading berarti jenis bambu yang berwarna kuning dengan garis tengah berwarna hijau. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, dulunya di kampung Pringgading ini banyak ditumbuhi tumbuhan bambu atau dalam bahasa jawa disebut pring. Jenis bambu yang tumbuh disana adalah jenis bambu gading. Berdasarkan alasan tersebut, kampung kemudian dinamakan kampung Pringgading. Kampung Pringgading terletak di belakang Mangkunegaran, tepatnya di Kelurahan Setabelan, Kecamatan Banjarsari. Kampung Pringgading sendiri terbagi menjadi 3 RW, dimana dalam 1 RW-nya terdiri dari 3 sampai 4 RT, sedangkan dalam 1 RT-nya terdapat kurang lebih 56 KK (Kepala Keluarga). Untuk merepon jumlah hunian yang semakin banyak maka skema Prona diluncurkan oleh Pemkot sebagai upaya untuk legalisasi asset umum dikenal dengan Prona.
Skema dan tujuan Prona memberikan pelayanan pendaftaran pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia dengan mengutamakan kawasan miskin/tertinggal, daerah pertanian subur atau berkembang, daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota, daerah pengembangan ekonomi rakyat. Termasuk di kampung Pringgading dan beberapa kampung lain di Surakarta. Setelah memiliki sertifikat tanah yang jelas, Pemkot merasa perlu adanya pembangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka agar menjadi rumah yang layak huni sekaligus melakukan penataan bantaran Kali Pepe. Pemkot menurunkan bantuan sebesar dua juta rupiah untuk setiap rumah. Pembangunan demi pembangunan di kampung Pringgading terus dilakukan. Seperti tahun 2014 lalu, rombongan Walikota Surakarta dan rombongan Mider Projo meresmikan rumah deret Pringgondani yang terletak di kampung Pringgading RT 03/07. Pembangunan rumah deret itu sendiri mendapatkan bantuan pinjaman dari Bank BTN Syariah, selain itu dana untuk membangun rumah deret tersebut berasal dari swasembada warga Pringgading.
Rumah deret tersebut dihuni oleh 36 Kepala Keluarga. Setelah pembangunan rumah deret selesai, Pemkot memberikan sertifikat hak milik kepada warga yang akan menempati rumah deret tersebut dengan syarat harus menyicil uang pinjaman mereka kepada pihak Bank setiap bulannya selama 8-10 tahun. Setiap bulannya mereka (penghuni rumah deret) harus mengangsur uang pinjaman untuk pembangunan rumah deret tersebut kepada Bank BTN Syariah sebesar Rp 420.000,00 untuk setiap keluarga atau setiap kepala keluarga. Dimana rincian itu Rp 400.000,00 merupakan cicilan pembangunan rumah dan Rp 20.000,00 merupakan tabungan untuk mereka kedepannya. Desain rumah deret memiliki 2 lantai dengan ukuran 3 x 4 meter yang dibuat berwarna-warni. Di dalamnya terdapat fasilitas kamar mandi, dapur dan juga satu kamar tidur di lantai 2. Rumah deret ini sengaja dibangun menghadap ke Kali Pepe, dengan harapan agar warga lebih peduli terhadap kondisi lingkugan, khususnya Kali. Listrik rumah deret ini menggunakan sistem pulsa dan rata-rata warga harus membayar 100 ribu per bulan atau sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan sumber air di rumah deret berasal dari sumur cor yang dimiliki oleh setiap rumah, dengan tambahan sanitasi yang bangun untuk kepentingan sanitasi komunal.
Berbeda dengan rumah deret Pringgondani, terdapat sisi lain dari kampung Pringgading yakni di RT 04/RW 09. Informasi warga menyebutkan, disini tidak dibangun rumah-rumah deret seperti layaknya di RT 03/RW 07. Walaupun sebenarnya proyek awal dari pembangunan rumah deret akan dilakukan di RT 04/RW 09, namun dikarenakan mayoritas warga tidak setuju akhirnya proyek di pindah ke RT 03/RW 07. Rumah-rumah disini memiliki ukuran yang bervariasi. Rata-rata sebesar 4 x 5 meter. Lebih besar memang jika dibandingkan dengan rumah deret Pringgondani yang berada di sebelah timur, namun rumah-rumah ini tidak dibuat tingkat seperti rumah deret. Disini juga belum memiliki sapiteng komunal seperti RT 03/RW 07 dan sanitasi dialirkan langsung ke Kali Pepe. Sehingga limbah-limbah cair sisa MCK juga langsung mengotori Kali sekaligus merubah warna dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Jika dilihat dari sepadan dan kondisi rumah RT 03/RW 07 yang bisa dibilang jauh lebih baik. Walaupun dengan kondisi yang demikian, warga kampung Pringgading tidak memiliki riwayat penyakit yang serius. Hanya sebatas gatal-gatal akibat serangan tomcat, penyakit pernafasan karena keturunan dan kasus demam berdarah satu kali.
Bersua dengan warga kampung Pringgading menyisakan beberapa cerita dan mitos yang hingga kini masih berkembang di masyarakat. Salahsatunya mengenai makam Gus Kentir yang terletak di Kampung Pringgading RT 04/RW 09. Menurut warga Pringgading nama Gus Kintir berasal dari kata “kintir” yang berarti hanyut (dalam Bahasa Jawa). Konon, Gus Kintir ini merupakan janin dari salah satu putri di Mangkunegaran yang mengalami keguguran ketika berada di pemandian raja. Kemudian janin tersebut hanyut menuju Kali Pepe dan ditemukan oleh salah seorang warga Pringgading. Setelah itu warga sepakat menguburkan janin tersebut dan memberinya nama Gus Kintir. Setelah beberapa lama, Gus Kintir ini mendatangi mimpi salah seorang warga untuk meminta makamnya di pindah. Akhirnya tidak berselang lama makam Gus Kentir ini dipindahkan ke RT 04/RW 09 kampung Pringgading hingga kini. Menurut penuturan pak Sapardi, dulunya makam Gus Kintir ini sering didatangi oleh banyak orang yang meminta berkah. Karena berdasarkan cerita yang berkembang, Gus Kintir ini sering mendatangi mimpi orang-orang yang sedang mengalami kesusahan ekonomi. Orang-orang yang mengaku didatangi Gus Kentir di mimpinya, menggambarkan sosok Gus Kintir memiliki perawakan yang tinggi, gagah, dan tampan. Ketika mendatangi mimpi seseorang, ini selalu meminta untuk didatangi ke makamnya dan menaruh sesaji dimakamnya maka Gus Kentir ini akan membantu keadaan ekonominya menjadi lebih baik.
Berikutnya, kampung Kusumodiningratan terletak di jalan Raden Mas Said belakang Mangkunegaran, tepatnya di Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Sangat sulit menggali informasi mengenai sejarah dari kampung Kusumodiningratan, karena sebagian besar warga yang tinggal di RW 5 kampung Kusumodiningratan ini merupakan pendatang yang datang dari berbagai daerah. Informasi yang didapat hanya sebatas kampung Kusumodiningratan yang dulunya merupakan tempat kandang kuda-kuda milik Mangkunegaran. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan para pedagang bunga-bunga hias, karena memang di sepanjang Jalan Raden Mas Said ini berjejer pedagang-pedagang bunga hias. Dulunya rumah-rumah di kampung Kusumodiningratan sangat padat dan tidak tertata. Pada akhirnya Pemkot merencanakan penataan wilayah kumuh dan padat penduduk di Surakarta termasuk di kampung Kusumodingratan. Hingga pada tahun 2014 yang lalu proyek pembangunan pun dimulai. Sekitar 40 hunian warga dibongkar dan dihancurkan, dan menyisakan beberapa rumah disebelah barat pabrik sepatu sadinoe. Warga kemudian di pindahkan ke rumah susun yang siap huni pada pertengahan tahun 2015 yang lalu. Rumah susun di Kampung Kusumodiningratan ini memiliki 3 lantai, dimana lantai satu paling bawah digunakan untuk usaha dan lantai 2 dan 3 untuk hunian warga.
Saat ini di kampung Kusumodiningratan sendiri sudah terdapat 2 rumah susun yang berjejeran. Rumah susun ini menggunakan sistem sewa, yaitu Rp. 100.000,- untuk lantai dua dan Rp. 90.000,- untuk lantai tiga. Lantai satu didesain sebagai tempat usaha. Usaha warga yang dulunya sebagai penjual tanaman hias pun kembali dapat berjalan kembali. Selain usaha tanaman hias di beberapa tempat ada juga yang menjadikannya toko dan juga bengkel. Seorang warga, Nila yang tinggal di rumah susun menuturkan bahwa tidak banyak hal yang berubah, hanya saja sekarang lebih nyaman. Rumah-rumah warga yang dulunya dibangun membelakangi Kali saat ini dirubah. Rumah susun dibangun dengan dua arah hadap yakni menghadap ke arah jalan dan juga Kali Pepe. Dengan luas 4 x 6 meter, rumah susun ini memiliki fasilitas satu kamar mandi, dan dapur setiap kamarnya. Listrik disini menggunakan sistem pulsa, dan air yang bersumber dari pam komunal. Sanitasi di rumah susun ini juga sudah komunal, sehingga tidak mencemari Kali.
Bagi warga Kusumodiningratan, pembangunan rusun bukan hanya sekedar merubah wajah kota khususnya dibantaran Kali menjadi lebih baik, tapi pembangunan rusun juga telah membentuk kehidupan yang baru bagi para warganya. Mulai dari interaksi dengan tetangga hingga mata pencaharian mereka. Ibu Surip dulunya tinggal di bantaran Kali Pepe bersama beberapa warga lainnya yang sekarang berpindah di rumah susun yang sudah di bangun oleh Pemkot. Rumah susun ini terletak di belakang Mangkunegaran. Terdapat sejumlah 24 KK yang bertempat tinggal di rumah susun tersebut. Letaknya di Keprabon RT 6/RW 5. Ibu Surip dan warga lain yang tinggal di rumah susun awalnya merasa nyaman, namun setelah berjalan 6 bulan mulai merasakan ketidaknyamanan. Mulai dari kondisi rumah susun yang bocor ketika hujan, air hujan yang mrembes masuk ke dalam, listrik yang lumayan mahal. Warga mulai pindah pada bulan Maret 2015. Meskipun di rumah susun yang sekarang warga bisa mengembangkan ekonomi keluarga yang dulunya pengagguran dan jualan sederhana sekarang bisa sewa kios di rumah susun dengan harga yang terjangkau.
Warga ada yang berjualan tanaman hias, bensin dan warung makan. Disini kondisi ekonomi warga mulai berkembang dan membaik. Hanya saja untuk biaya hidup juga meningkat termasuk listrik dulu kalau di bantaran Kali Pepe masih sekitar Rp. 50.000 rupiah untuk bayar listrik. Sekarang bisa naik tajam sekitar Rp 250.000/bulan. itupun dengan kondisi listrik yang masih belum stabil, kadang sering mati listrik di rusun. Kondisi rusun yang masih perlu perbaikan ini pernah masuk berkali-kali di media cetak akan tetapi respon dari Pemkot dirasa masih lambat. Meski kata warga dari Pemkot sudah menyanggupi untuk segera memperbaikinya, namun sama sekali belum berjalan. Di kawasan rumah susun ini juga terdapat aula di lantai satu yang difungsikan sebagai tempat pertemuan warga seperti untuk acara rapat PKK, pengajian, dan perkumpulan warga yang lainnya. Selain itu ada juga kamar mandi umum di sebelah rumah susun. Anak-anak di rumah susun ini biasa bermain di sepadan rusun atau di Taman Keprabon. Akses pendidikan terhitung mudah dan dekat, seperti SMP N 13 Surakarta, Marsudirini, dan Pangudi Luhur. Akses Kesehatan terdekat bagi warga rumah susun adalah PKU Muhammadiyah dan juga Puskesmas di Kestalan.
Kondisi Kali Pepe dengan segala perubahannya, beralih fungsi menjadi tempat sampah, selain baunya yang tidak sedap juga menjadi sarang berkembangnya bibit penyakit menuntut perubahan dan harapan yang lebih baik. Warga merasa perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk terus menjaga Kali Pepe bebas dari sampah. Kesadaran warga perlu dimunculkan, pasalnya apa yang dilakukan hari ini akan berdampak pada kehidupan anak dan cucu di masa mendatang. Kegiatan penyadaran warga akan kebersihan Kali perlu terus digalakan. Upaya sosialisasi yang dilakukan pemerintah dirasa kurang efektif, maka perlu adanya kegiatan nyata seperti kerja bakti membersihkan Kali Pepe rutin dari hulu hingga hilir. Adanya wacana mengenai wisata air juga membuat warga antusias dan berharap agar Kali Pepe segera menjadi wisata air. Karena dengan adanya wisata air Kali Pepe warga bisa memperoleh manfaat dari sana seperti penghasilan yang meningkat seperti yang telah dijanjikan Pemkot. Padahal hingga kini belum ada kejelasan mengenai wacana wisata air di Kali. Setiap program pasti menimbulkan pro kontra. Beberapa warga ada yang tidak menyetujui adanya wisata air di Kali Pepe. Karena selain intensitas air yang tidak stabil, pengelolaan yang kurang maksimal hanya akan memperburuk kondisi Kali Pepe seperti penumpukan sampah di Kali. Namun hal yang lebih penting adalah terus bekerja sama menjaga kebersihan Kali Pepe agar harapan warga akan Kali yang indah, rapi, bersih dan sehat tercapai.
“Mugo-mogo pemerintah iso ngatasi Kali Pepe kanthi apik
lan warga iso guyub gotong royong bareng-bareng njogo Kali Pepe”
(Mbah Giyarno, Pringgondani)
Harapan mengenai Kali Pepe tidak hanya muncul dari kalangan dewasa saja, tetapi juga anak-anak yang turut menjadi bagian dari warga bantaran Kali pepe yang melakukan aktivitas keseharian mereka dibantaran Kali. Mereka berharap kali yang mereka miliki adalah Kali Pepe tidak banyak sampah dan bahkan ada salah satu anak yang menginginkan Kali-nya bisa untuk berenang. Selain itu adanya arena bermain juga menjadi harapan dari anak-anak di bantaran. Pasalnya saat mereka hanya bermain di sepadan-sepadan kali yang luasnya tidak mencapai 3 meter dan harus tetap berhati-hati dari kendaraan bermotor dan lalu lalang warga yang melintas. Sehingga dalam hal ini, arena bermain menjadi hak yang seharusnya dapat mereka dapatkan sebagai salah satu haknya sebagai anak-anak.
Diambil dari Merekam Kali Pepe
KampungnesiaPress, 2017