Merekam Kali Pepe : Bersua Warga Ngebrusan

Kali Pepe di seberang jembatan setelah monumen Ponten, yang melalui sepanjang jalan Kalimantan, dimana batas akhir segmen ditandai pula dengan keberadaan sebuah jembatan yang melintang di ujung jalan Kalimantan. Kondisi Kali Pepe di area ini pada musim kemarau terlihat menyedihkan. Sampah-sampah menumpuk menyumbat aliran Kali, ditambah sedimentasi yang menggunung dan lebar semakin menghalangi air mengalir. Hasilnya sampah dan endapan air menimbulkan sarang nyamuk dan bau menyengat. Kali pada area ini melintasi empat kampung, dari sisi sejajar dengan letak monumen Ponten di seberang jembatan bisa menjumpai dua kampung yaitu kampung Ngebrusan dan Kauman. Kemudian di seberangnya ada dua kampung lagi kampung Grogolan dan Jageran. Dengan kondisi yang tentunya beragam kondisinya. Kampung Ngebrusan, pada bagian ini terlihat lebih rapi dan tertata dibanding tiga kampung lainnya. Semua rumah warga berjajar rapi tanpa mengubah fungsi sepadan Kali namun tetap saja ada warga yang menjemur pakaian di area sepadan Kali Pepe.
Kebersihan pemukiman warga juga terjaga, disetiap rumah punya tempat sampah yang memadai. Selain itu pada bagian ini juga terdapat fasilitas umum yang kondisinya terbilang terawat dengan baik. Tepat di depan gang dibangun pos keamanan RT 01/RW 02, pos keamanan ini berfungsi sebagai ruang publik warga untuk mengadakan rapat kecil maupun ronda pada malam hari. Kemudian bisa dijumpai adanya kamar mandi dan WC umum sebanyak tiga petak. Berdasarkan keterangan warga kamar mandi dan WC ini bantuan dari Pemkot sekitar 5 tahun yang lalu. Warga sekitar biasa menggunakannya terlebih beberapa yang belum memiliki WC pribadi. Selain itu disini juga terdapat sumur pompa yang kualitas airnya bagus. Warga biasa mengakses air sumur ini untuk memasak juga direbus untuk dikonsumsi airnya. Untuk keberadaan fasilitas umum ini warga dikenakan iuran RT untuk biaya perawatan yang dibayarkan setiap sebulan sekali waktu arisan. Berikutnya selang dua rumah kita menjumapai adanya mesjid Samsul Hadhy sebagai sarana ibadah sholat warga sekitar selain itu pertemuan warga yang sering digelar di masjid ini antara lain seperti pengajian bersama.
Pada kampung Ngebrusan ini karakter sosial ekonomi rata-rata masyarakatnya kalangan menengah kebawah yang bekerja sebagai pegawai seperti guru, kemudian beberapa juga ibu rumah tangga, buruh cuci dan membuka warung minuman kecil-kecilan di depan rumah. Berderet dengan kampung Ngebrusan, ada kampung Kauman yang dengan mudah di jumpai banyak bangunan rumah warga tumpang tindih memakan lahan sepadan Kali. Bahkan rumah salah satu informan kami bapak Sri Waluyo ini dibangun tingkat di sepadan, dimana yang lantai atas dihuni oleh keluarga dari anaknya yang sudah menikah. Beberapa fasilitas umum yang tersedia pada bagian ini antara lain empat petak kamar mandi dan WC umum yang diperoleh dari bantuan Pemkot pula, anehnya keberadaannya justru dibangun pada area sepadan, ikut berdesakan di antara rumah warga yang tidak dilengkapi sertifikat kepemilikan lahan. Untuk mengakses fasilitas ini warga membayar seribu limaratus tiap penggunaannya yang kemudian uang dimasukkan di kotak yang telah disediakan guna sebagai biaya perawatan fasilitas umum.
Diseberangnya ada juga pos ronda yang dilengkapi dengan televisi. Namun berdasar keterangan warga keberlangsungan ronda malam sudah tidak terlihat lagi aktivitasnya, selebihnya pos ini akan ramai ketika ada pertandingan bola. Banyak warga akan berkumpul untuk nonton bareng acara tersebut. Melanjutkan perjalanan dan kita menjumpai masjid Al Ikhlas di kiri jalan, cukup besar dan sangat ramai ketika sore hari karena banyak sekali anak dari kampung sekitar yang belajar ngaji di masjid ini, selain itu menutut penuturan warga masjid ini juga sebagai ruang publik untuk mengadakan pertemuan-pertemuan RT. Hubungan sosial warga terjalin baik dilihat dari keseharian mereka yang saling bertegur sapa dan berkumpul di sore hari pada waktu senggang. Karakter ekonomi mereka juga menengah ke bawah dilihat dari kondisi rumah mereka yang seadanya, namun ada pula rumah yang terbilang cukup memadai dan bagus. Dua rumah di sepadan juga membuka warung es, toko alat tulis dan ada pula yang menerima penitipan parkir grobak hik untuk dititipkan di kampung ini, alhasil gerobak-gerobak ini sangat mengganggu akses pengguna jalan karena memakan separuh lebih jalan.
Beberapa warga juga berprofesi sebagai tukang parkir Mall Luwes Kestalan. Mengingat kedekatan kampung ini dengan keberadaan Luwes sebagai pasar modern ternyata tidak mengurangi minat belanja mereka terhadap pasar tradisional. Setiap pagi di kampung ini ada pasar tumpah dimana beberapa pedagang yang juga warga sekitar menjajakan dagangannya sejenis sayur mayur dan ada pula yang berjualan nasi liwet yaitu Ibu Sami, menurut beliau antusiasme warga juga besar untuk membeli sayur mayur di pasar ini. Untuk kemudian menjelang siang semuanya sudah menutup lapak masing-masing dan pulang. Warga menilai berbelanja di pasar tradisional lebih terjangkau, mereka bisa melakukan interaksi yang lebih akrab dengan penjualnya. Ibu Sami sendiri adalah pendatang yang mengontrak di kampung ini, beliau mengaku keberadaannnya sangat diterima baik oleh masyarakat sekitar.
Beralih ke seberang ada kampung Grogolan tapatnya di jalan Bintan RT 03/RW 03. Berbeda lagi dengan sebelumnya, di kampung ini jarang terlihat adanya aktivitas warganya, kami menilai warga kampung Grogolan ini mulai meninggalkan Kali sebagai halaman depan rumah. Pada titik ini hanya ada warung, tempat laundry, toko kelontong, enam rumah berpagar tinggi dan satu gudang besar. Kondisi rumah ini menggambarkan kondisi ekonomi yang lebih baik daripada warga lainnya di bantaran Kali Pepe. Tidak terlihat fasilitas umum di sekitar Kali. Berbeda kondisinya dengan kampung Jageran RW 05 Ketelan, wilayah ini lebih kumuh dibanding kampung Kauman karena sepanjang sepadan Kali penuh dengan pemukiman permanen warga yang dibangun tanpa ijin kepemilikan lahan. Selain pemukiman kegiatan memasak, mencuci, sumur, warung dan menjemur pakaian juga dijajakan di pinggir sepadan tepatnya di depan umah mereka. Beberapa fasilitas umum juga ada di sebrang jalan seperti sumur dan kamar mandi umum. Mengingat kepemilikan warga akan kamar mandi minim, fasilitas ini banyak digunakan oleh mereka terlebih yang tinggal di pemukiman sepadan. Mayoritas perempuannya khususnya di bantaran Kali ini hanya sebagai ibu rumah tangga, berjualan di warung, buruh cuci, dan para laki-lakinya sebagai tukang parkir, sopir, pengumpul rongsokan.
Kondisi fisik Kali Pepe, bila dicatat mempunyai lebar 9 m ditambah dengan lebar bantaran Kali 10 m. Pada musim kemarau seperti saat kami lakukan pendataan aspek fisik, Kali ini banyak didapati sedimentasi yang cukup lebar dan membuat aliran air mengalami penyempitan. Beberapa titik menunjukkan sedimentasi yang beragam mulai dari 50-1 : kiri, 8m x 2 m ; 50-2 : kiri, 4 m x 4 m dan kanan, 1.2 m x 2 m ; 50-3 : kiri, 4 m x 4 m dan kanan, 1.2 m x 2 m ; kanan 50-4 m : kiri, 2 m x 1,5 m dan kanan, 1,7 m x 1 m. Sedimentasi terbesar ada pada 50 m kedua dan ketiga, menggunungnya sedimentasi ini membuat tanah diatasnya ditumbuhi beragam tumbuhan diantaranya, rumput liar, bayam, krokot, jagung, kangkung, maupun talas. Beberapa tanaman tumbuh karena sampah rumah tangga yang terbawa aliran air berupa tomat atau cabe busuk yang kemudian tumbuh di atas sedimentasi, hasil tanaman ini tak jarang dipanen oleh warga seperti cabe, tomat, kangkung dan bayam. Bahkan ada yang sengaja menanam jagung di area sedimentasi ini. Padahal area ini juga tercemar oleh beragam sampah yang terbawa arus Kali. Selain tumbuhan juga bisa dijumpai beberapa biota yang hidup di aliran Kali Pepe ini yaitu ikan sapu-sapu, cetol, nyamuk, hingga katak. Dengan kondisi besarnya sedimen membuat aliran air tidak stabil dan cenderung menggenang. Ini menjadi tempat ideal untuk nyamuk berkembang biak. Menurut keterangan ibu Tunjung salah satu warga Kauman, dua tahun yang lalu pernah ada dua warga bersamaan terjangkit demam berdarah. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya nyamuk. Setelah kami cek ternyata dasar Kali di sepanjang area ini terdiri dari batu krikil dan pasir. Keberadaan saluran air yang masuk ke Kali juga bisa dokumentasikan, pada sisi kanan di wilayah kampung Grogolan dan Jegeran terdapat 16 saluran air yang diarahkan ke Kali, namun 5 diantaranya tidak berfungsi dapat dilihat dari kondisi pipa saluran yang tidak ada bekas air melaluinya. Sedangkan bagian Kali yang berada di seberangnya ada 18 saluran air dengan 4 saluran yang tidak berfungsi.
Selanjutnya tentang gambaran fisik Kali Pepe, bisa dicatat lebar sepadan 2,5 m dengan lebar jalan 3 m. Beberapa fasilitas yang ada pada area sepadan diantaranya lampu penerangan, pagar di sepanjang aliran yang terbuat dari besi, tempat sampah, bok tempat duduk permanen yang dicor. Kemudian di 50 m ketiga sisi kiri tepatnya kampung Ngebrusan ada akses jalan menurun ke Kali selebar 4 m. Jalan ini dibangun 5 tahun yang lalu untuk memudahkan alat berat turun ke Kali untuk upaya pengerukan sedimentasi Disamping itu pemanfaatan sepadan di sepanjang sisi kiri yang melintasi kampung Ngebrusan dan Kauman dinilai lebih produktif karena kami menjumpai beragam tanaman yang diantaranya juga menghasilkan buah. Pada 100 m bisa dijumpai tanaman, diantaranya ada mengkudu, cemara, kelapa, melinjo, jeruk, srikaya, mangga, palm, cabe, belimbing, pepaya, terong, nangka, jambu air, petai cina, pisang, ketela. Selanjutnya 100 m kedua hanya ada pisang dan melinjo, jarang ditemukan tanaman karena sepadan pada titik ini mengalami alih fungsi. Dan 150 m terakhir ada pandan, pepaya, kelapa, mangga, belimbing, pisang, alpukat, nangka, matoa dan srikaya. Tanaman-tanaman tersebut beberapa utamanya yang menghasilkan buah adalah pemberian dari Pemkot, dimana buahnya bisa dikonsumsi oleh warga sekitar.
Kondisi kali ini dulunya sangat jernih, masyarakat sekitar biasa mandi di Kali, aliran airnya juga tidak begitu deras sehingga tidak membahayakan, selain itu dulu anak-anak sering bermain air dan mencari ikan di Kali, tidak ada sampah yang menyumbat dan mencemari air. Kontur aliran Kali ini dinilai warga tidak mengalami perubahan masih sama dengan kelokan yang membentuk huruf L. Pada periode tahun 1960an Kali Pepe mengalami penyempitan hal ini disebabkan musim kemarau yang panjang, sehingga sedimentasi yang menumpuk membuat aliran air mengecil hanya berkisar 4 m lebarnya. Selain itu sebelum tahun 60an di pinggir Kali banyak rumah, dan pada tahun 65an mulai dibersihkan rumah-rumahnya. Jadi pada periode tahun 65an kali ini sempat teratur, rumah yang menempel sempat dirapikan, termasuk kampung Kauman yang sekarang kembali padat dulunya merupakan tanah lapang. Bambu menjadi tumbuhan dominan yang banyak tumbuh di pinggir aliran Kali. Dalam sejarahnya Kali Pepe ini pernah meluap membanjiri kampung di kanan kiri Kali Pepe, peristiwa itu terjadi pada tahun 1966 dan merupakan peristiwa banjir terbesar dalam sejarahnya. Kemudian dan pada tahun 80an mengalami pelebaran lagi dan ukurannya seperti ini sampai sekarang. Seiring bergemanya program kali bersih Kali Pepe mulai ditalud sekitar 20 tahun yang lalu, talud cor permanen yang lebih aman dan kokoh dibanding sebelumnya yang hanya dibatasi oleh tanah.
Sepadan merupakan garis batas luar pengamanan Kali yang membatasi adanya pendirian bangunan di tepi dan ditetapkan sebagai perlindungan. Garis sepadan dibuat untuk menjamin kelestarian dan fungsi Kali, serta menjaga masyarakat dari bahaya bencana di sekitar Kali, seperti banjir dan longsor. Setelah berjalan dan menyusuri Kali Pepe, maka dengan mudah mendapati alih fungsi sepadan yang ada. Sepadan yang dihadirkan sebagai batas pendirian bangunan justru dijadikan tempat untuk mendirikan rumah, warung, kamar mandi, dan dapur. Banyak bangunan rumah permanen yang warga bangun tanpa adanya kepemilikan tanah yang sah. Dari empat kampung pembangunan di sepadan yang paling parah terjadi di kampung Jageran sebanyak 20 petak bangunan ilegal yang dijadikan rumah, gudang, kamar mandi, dapur maupun warung. Hal yang sama juga terjadi di kampung Kauman dengan intensitas bangunan yang lebih kecil yaitu 10 petak bangunan tidak resmi. Selain bangunan permanen, terdapat juga alih fungsi sepadan yang digunakan untuk tempat jemur pakaian, ini terjadi di kampung Grogolan, dan Jageran. Sepadan seharusnya dioptimalkan untuk tanaman yang bisa menangkal terjadinya longsor jika debit air dan intensitas hujan tinggi. Jika dirawat dengan baik tanaman tersebut hasilnya juga bisa bermanfaat untuk warga sekitar mengingat banyak jenis buah-buahan yang tumbuh ini mengisyaratkan tanah di area sepadan ini terbilang subur.
Sepadan yang dipenuhi pepohonan juga diselingi berdirinya beberapa bangunan rumah tinggal warga maupun sumur dan kamar mandi umum bagi warga. Keberadaan sumur dan kamar mandi warga ini setiap harinya dimanfaatkan untuk mencuci pakaian, tidak ada mesin pompa listrik disitu yang ada cuma pompa air manual, sehingga warga yang akan mencuci pakaian harus memompa airnya secara manual dan untuk kamar mandinya digunakan untuk mandi dan buang air, untuk mandi warga dikenakan biaya kebersihan sebesar Rp. 1000 dan untuk buang air sebesar Rp. 500. Di sisi lain di kampung Grogolan, sepadan diawal setelah Monumen Ponten ada tempat duduk yang terbuat dari bambu yang saat sore tiba digunakan oleh anak-anak kecil yang bermain disana untuk duduk-duduk santai. Selapas itu sepadan ditumbuhi pohon glodoh pecut, mangga, petai cina, mengkudu, cemara dan kelapa. Setelah area yang ditumbuhi tanaman area selanjutnya berdiri bangunan rumah sebanyak 7 rumah, dan ada tempat pembuangan sampah yang setiap harinya sampah-sampah tersebut diambil oleh petugas DKP setiap pagi hari, setelah tempat sampah yang ada di sepadan Kali. Setidaknya terdapat 10 bangunan sudah memenuhi area selanjutnya, ada yang bangunan tersebut digunakan sebagi rumah tinggal, warung, dan tempat usaha, sehingga kondisi tersebut berimbas pada minimnya ketersediaan ruang publik bagi aktivitas warga.
Kawasan sepadan yang ada di daerah kampung Ngebrusan yang hanya mempunyai lebar 2,5 meter saja bisa dibangun bangunan rumah tinggal oleh beberapa warga, salah satunya adalah milik bapak Sri, meski rumahnya ada di sepadan Kali Pepe rumah bapak Sri bisa dibangun tingkat sedangkan yang ada juga bangunan yang ada di sepadan kampung Jageran ada 16 rumah yang berdiri tepat diatas sepadan Kali Pepe dan semua rumah yang ada di sepadan itu akan direlokasi oleh Pemkot ke rumah rusun. Rencana relokasi ini sendiri sudah tersosialisasikan kepada warga masyarakat di pinggiran Kali Pepe, hal ini diakui oleh bapak Sri karena rumahnya berada di sepadan kali yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan yang berada di sepadan kali. Rencana relokasi rumah warga ini sudah dirapatkan sebanyak 4 kali dan mereka akan direlokasi ke rusun DPU Tunggul sebanyak 18 KK. Sebagian warga menangkap baik itikat Pemkot untuk upaya relokasi ini untuk mewujudkan ketertiban yang lebih memadai demi kebaikan bersama.
Selain persoalan sepadan, Kali Pepe saat ini tidak jauh dari tumpukan sampah dengan beragam jenis sampah tumpah ruah menjadi satu di aliran Kali. Berbagai jenis sampah yang bisa jumpai diantaranya sampah rumah tangga yang dimasukkan kresek-kresek besar, daun-daun kering, plastik, botol minuman, bekas pampers, bekas pembalut, sandal, tas belanja, kayu, ranting pohon, kaleng minuman, gabus, kaleng biskuit, limbah kulit jeruk nipis, sedotan, kain, gelas kaca, jeroan sapi yang dibuang di kali pada periode setelah hari raya Qurban. Jika ditanya warga selalu menyalahkan warga lainnya. Terlebih yang tinggal di rumah-rumah yang menempel area sepadan. Warga kerap dituding sebagai tersangka yang turut berkontribusi mengotori Kali. Namun beberapa warga juga mengakui jika mereka menjadikan Kali Pepe sebagai tempat untuk membuang sampah dan limbah. Menurut warga kondisinya sudah kotor jadi hal biasa jika membuang sampah. Namun diluar itu, warga lain dari kampung lain yang asal membuang sampah di kresek-kresek besar untuk dilemparkan begitu saja Kali. Kesadaran dan wujud kepedulian warga sekitar untuk pentingnya menjaga sangat minim, masih banyak keenggan membersihkan Kali karena itu tak berarti jika warga lain masih terus mengotori Kali. Sebab problem tumpukan sampah dan bau yang menyengat akan pergi sendiri seiring datangnya musim hujan karena sampah dan segala sesuatu yang menyumbat akan hanyut dan kembali bersih, seperti sediakala.
Kompleks persoalan warga yang tinggal di bantaran Kali Pepe. Persoalan sepadan, ruang publik, sampah, fasilitas atas pelayanan hingga kepercayaan atas nilai-nilai kultural menjadi penting untuk dipahami. Misalnya, mitos yang banyak tersebar di perbagai tempat, tidak terkecuali di Kali Pepe, cerita mitos yang berkembang di Kali Pepe menurut bapak Sri yaitu adanya mitos akan adanya mahluk halus di pohon tua di dekat rumahnya pohon tersebut terletak di sepadan Kali Pepe yang lebar sepadannya adalah 3 meter dan itu berada di 50 meter ketiga di sisi kiri kali, batang pohon berukuran besar serta lebatnya daun menandakan bahwa pohon tersebut sudah berusia tua dan sudah lama tumbuh disana. Lalu ada suara orang mencuci dibelakang rumah Bapak Sri dan ketika didatangi tidak ada orangnya, ada juga mitos adanya ular kendang yang berkeliaran di Kali Pepe, dan di area sumur kuno yang ada di dekat rumah Bapak Sri terdapat anjing siluman berwarna sebesar anak sapi diamana anjing putih ini konon adalah penjaga dari sumur kuno yang telah ada dari sejak jaman dulu, tak banyak warga sekarang yang mengetahui asal-usul sumur kuno ini. Terakhir menurut beliau ada mitos tentang Mbah Tanjung sang mbaurekso desa Ngebrusan konon bila mau mengadakan acara ataupun hajatan maka harus ijin dulu dengan mbah Tanjung dengan cara memberikan sesaji berupa nasi ingkung, ayam ingkung, menyan, dan dupa pada salah satu sudut kampung yang diyakini menjadi tempat persemayaman mbah tanjung bilamana tidak memeberi sesaji warga percaya bahwa acara yang dilaksanakan tidak akan berjalan lancer. Bapak Sri dulu pernah melakukannya juga saat acara hajatannya yaitu menikahkan anaknya, jadi beliau memberikan sesaji pada Mbah Tanjung. Beda lagi dengan pendapat narasumber yang lain, dirasa aman-aman saja, tidak pernah ada cerita seperti itu, disini kalau malam ramai warga banyak yang nongkrong di pinggir jalan sini. Sependapat dengan narasumber tersebut, warga yang lain mengakui bahwa tidak pernah ada cerita mitos seperti itu, selama dia tinggal disini ya nggak ada cerita ataupun kejadian apa-apa.
Diambil dari Merekam Kali Pepe
KampungnesiaPress, 2017