Lokananta: Menolak Renta

Penggalan lirik Jangan Bakar Buku adalah salah satu lagu yang dimainkan oleh Pandai Besi dalam rangkaian mini tour di Lokananta (2014). Berlatar panggung sederhana dan lampu minimalis, konser tersebut penuh ‘kejutan’ dan saya menjadi salah satu penonton yang merasakan langsung beragam kejutan tersebut (Hal 142). Kehadiran Pandai Besi, White Shoes & The Couples Company, Glen Fredly, Shaggydog, Senyawa hingga The Hydrant menjadi penanda penting bagi semangat baru yang diusung oleh Lokananta. Lokananta yang selama ini, dikenal hanya nama sebuah tempat yang menyimpan arsip rekaman musik nusantara namun teronggok tak terurus, karena kehabisan tenaga disalip perkembangan industri rekaman.

Gema Lokananta muncul bersamaan polemik lagu Rasa Sajange yang diklaim oleh Menteri Pelancongan dan Kebudayaan Malaysia sebagai lagu rakyat mereka. Ternyata versi asli Rasa Sajange adalah bagian dari album kompilasi The 4th Asian Games: Souvenir From Indonesia yang dilangsungkan di Jakarta pada tahun 1962 (Hal. 75). Keping piringan hitam tersebut menjadi bukti sahih yang ditemukan diantara tumpukan ribuan piringan hitam dengan kondisi yang sangat menyedihkan. Ribuan keping piringan hitam tersebut adalah arsip dari jejak-jejak karya musikalitas budaya nusantara yang terhubung dengan pertumbuhan industri musik global pada saat yang bersamaan (Bart Barendregt-edt, 2014. Sonic Modernities in the Malay World: A History of Popular Music, Social Distinction and Novel Lifestyles 1930s–2000s).

Lokananta sendiri bermula dari inisiatif R. Maladi yang menjabat Direktur Jenderal RRI yang gusar dengan kenyataan lembar lagu pilihan pendengar yang diputar RRI  justru lebih banyak diisi musik impor seperti Frank Sinatra hingga Elvis Presley. Untuk itu, 49 stasiun RRI di seluruh nusantara, diminta merekam lagu-lagi daerah untuk diperbanyak dalam bentuk piringan hitam untuk kemudian didistribusikan kembali sebagai materi siaran yang memuat pesan-pesan nasionalistik (Hal 48-49). Maka berdirilah Lokananta di Surakarta, pada 29 Oktober 1956 sebagai pabrik piringan hitam yang bernaung di Jawatan Radio Kementrian Penerangan Republik Indonesia. Lewat Peraturan Pemerintah No. 215 Tahun 1961 Presiden Soekarno memilih nama Lokananta, sebuah nama yang menarasikan babad pewayangan tentang seperangkat gamelan dinegeri para dewa.

Dekade 1970-1980 menjadi kejayaan puncak dari nama-nama Waljinah, Gesang hingga Titiek Puspa yang terdengar senandungnya bersama piringan hitam yang diputar. Bersamaan dengan landskap politik yang berganti arah serta merta berubah pulalah dinamika perkembangan musik nusantara. Teknologi replay dan portabilitas mendorong eksperimen baru bagi generasi baru yang hibrida sekaligus menggeser piringan hitam (Krishna Sen dan David T Hill, 2007: Media, Culture and Politics in Indonesia). Industri musik tumbuh disatu sisi yang juga diikuti upaya pembajakan nan liar. Sekalipun Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 6 Tahun 1982; perubahan UU No. 7 Tahun 1987; UU No. 19 Tahun 2002 hingga UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta namun belum mampu membendung gelombang pembajakan dan pelanggaran hak cipta yang seakan-akan linear bersama tumbuh kembangnya industri musik nasional (Hal 57).

Buku Lokananta sebagai karya anak-anak muda lewat Lokananta Project menjadi penting untuk melacak jejak semangat Lokananta yang pernah ditulis oleh Philip Yampolsky (1985) Lokananta: A Discography of The National Recording Company of Indonesia 1957-1985.  Buku ini memberi benang merah lewat cerita dari upaya orang-orang dibalik tembok Lokananta yang terus bertahan ditengah ketidakjelasan nasib. Kisah-kisah sederhana Bimo Prasetyo, Titik Sugiyanti, Bemby Ananto, Budi Riyanto hingga Imam Muhadi menjadi narasi nan epik para penjaga nyawa Lokananta selama ini. Bersanding bersama inisiatif komunitas seperti Galeri Malang Bernyanyi yang mencetuskan G-2000: sebuah program bersama banyak komunitas yang peduli untuk melakukan pengumpulan dana bagi upaya mencetak sampul piringan hitam aset Lokananta dengan bahan tahan air senilai Rp. 2.000,- agar bisa disimpan dengan cara lebih layak (Hal 152).

Pesan terakhir dari buku ini adalah hadirnya beragam agenda baru dari manajemen baru yang mengelola Lokananta sebagai bagian BUMN PNRI. Semoga agenda tersebut dapat jadi pijakan bagi Lokananta untuk menolak renta diantara riuhnya industri musik nasional. Namun butuh lebih banyak pihak untuk terlibat didalamnya karena Lokananta harus memenjadi sahabat bagi setiap kita yang percaya musik adalah bagian yang tak terpisahkan dari bentuk keragaman bangsa ini, seperti senandung Menjadi Indonesia oleh Pandai Besi.
 
Resensi oleh Akhmad Ramdhon
Buku LOKANANTA, Penerbit Perum. Percetakan Negara Republik Indonesia, 2016
Penulis dan Riset Fakhri Zakaria, Dzulfikri Putra Malawi, Syaura Qotrunadha
 

Berita Terkait