Setiap Penggal Narasi adalah Mantra

Setiap kita bermula dari narasi-narasi yang jamak. Kisah-kisah Asmat hari ini adalah penggalan-penggalan yang tak terpisahkan dari tonggak kebudayaan yang telah tertanam sebelumnya. Dan setiap tonggak baru yang hadir akan membentuk narasi baru pula, begitu seterusnya. Sebab proses perubahan merupakan tautan antar memori masa lampau dan harapan untuk membentuk bingkai memori Asmat dimasa depan.

Merangkum narasi Asmat adalah upaya agar gema dari kepingan kenangan yang susah payah dikumpulkan dari serakan-serakan sejarah hidup yang panjang tetap mengekal. Semesta Asmat harus kekal karena harus berhadap-hadapan dengan ketidakadilan yang disertakan oleh negara dalam beragam bentuk. Mulai dari penyeragaman segala rupa perbedaan yang ada, pengaturan pola-pola kultural yang khas menjadi praktek pendisiplinan hingga absensnya keberpihakan oleh sebab malpraktek kekuasaan.

Pengalaman hidup sehari-hari menjadi konteks bagi narasi yang dibentuk oleh setiap Asmat. Oleh karenanya, kehadiran setiap bagian didalamnya adalah akumulasi dari kebersamaan yang senantiasa bertaut. Tentu ada bagian dari penggal narasi nan minor pada beberapa hal, tapi sesungguhnya narasi tersebut sedang ingin menghadirkan lebih banyak pihak dalam setiap tuturnya. Karena alam, binatang, air dan semua perubahan yang dialami juga meliputi perubahan pada alam, binatang, dan air. Sesuatu yang tak terhindarkan.

Kebijakan yang diciptakan merupakan cara menjadi bagian dari alam dan semesta yang ada. Merasakan semua perubahan yang ada melahirkan cara baru untuk mengalaminya tanpa keluh kesah. Mengenali cara awan yang bergerak, angin yang bersenandung, daun-daun yang berguguran, ikan yang bertelur-anak, babi yang berlari-lari, anjing yang mengonggong, hingga ulat yang berkembang biak menjadi penanda bagi setiap Asmat untuk memahaminya. Menyesuaikan diri dengan gejala alam, menempatkan semesta sebagai induk bersama untuk dijaga bersama pula.

Saling menjaga untuk hidup bersama alam, mesti bisa merawat ikan, babi, kayu, sayuran tumbuh membesar agar bisa saling memberi kebaikan masing-masing. Matahari, binatang, maupun tumbuhan jadi penanda bagi setiap Asmat untuk mengenali alam yang bergerak, memahami semesta yang berubah. Menjaga semuanya untuk tetap berjalan sesuai dengan bimbingan moyang menjadi kewajiban dari setiap Asmat. Sebab semuanya akan kembali berjalan seperti sediakala, ketika tanah melahirkan Asmat, mengasuh Asmat  agar bisa berdampingan dan merawat alam dengan secara sederhana.

Bentuk-bentuk narasi lalu tumbuh bersama dengan tubuh yang membaur bersama alam semesta. Narasi yang ditulis adalah upaya kecil untuk menjaganya sebagai ingatan bagi sesama tentang kebaikan-kebaikan yang diwariskan terus menerus. Sebagai bagian dari ritual, praktek keseharian Asmat dipandu oleh rasa cinta atas kesederhanaan hidup para moyang dalam merawat alam. Bersama hutan, hujan, angin, kayu dan lumpur yang meneruskan generasi ke generasi berikutnya. Semua berjalan alami tanpa keinginan berlebih untuk mengubah alam.

Kini, semua narasi yang ada dan pernah hadir harus berhadapan dengan keinginan-keinginan baru yang diciptakan oleh negara. Perubahan yang datang tak bisa dibayangkan oleh kesederhanaan dan kasih sayang Asmat bersama alam. Kebiasaan-kebiasaan baru muncul sebagai konsekuensi semakin terbukanya alam menjadi kawasan-kawasan untuk kepentingan yang datang entah dari mana. Tak perlu bertanya pada Asmat, tentang kenangan, keinginan maupun harapan tentang alam yang telah dijaga berabad-abad.

Terlalu banyak yang datang silih berganti, semuanya berubah menjadi aneh dan asing. Berubah bukan oleh perilaku keseharian yang merubah, tapi berubah oleh sesuatu yang seolah-olah tak bisa terjelaskan. Seperti sebuah agenda yang teramat rapi, Asmat dipaksa untuk menerima semua yang ada. Tanpa kendali, tanpa kemampuan untuk mendengarkan dan tanpa harus bertanya pada pohon, angin, lumpur untuk menjadi bagian dari kehidupan Asmat.  

Narasi-narasi ini hadir, karena kemauan agar matahari, binatang, maupun sayuran tetap menjadi penanda bagi kehidupan Asmat yang indah. Tentu akan ada perubahan dan senantiasa ada perubahan oleh sebab apapun. Namun perubahan butuh negosiasi yang adil bagi setiap pihak yang ada didalamnya, tak terkecuali juga Asmat maupun lainnya. Nusantara akan tetap menjadi nusantara nan elok karena keberagaman yang ada, karena pijar matahari yang sama terang untuk kita yang beragam, karena hutan yang lebat mesti dijaga untuk kita yang banyak, karena angin, awan, lumpur, sayuran, babi hingga ikan yang ada disekitar kita adalah warisan leluhur yang mesti dijaga untuk diwariskan bagi semesta. Maka penggalan-penggalan narasi ini adalah mantra kita, karena kita semua adalah Asmat.
 
Akhmad Ramdhon-Sosiologi FISIP UNS
Epilog Erampok, Asmat Makmur (2016)
 
 

Berita Terkait