Sketsa Malam di Kampung

Syahdan benar, tersebutlah dua orang bernama sangat penting dan menakjubkan: Siang dan Malam. Dua orang itu hidup di Hindia Belanda, tapi dikisahkan di Belanda, di Eropa yang jauh dari Jawa, pada tahun 1854. Siang dan Malam berpetualang menembus kawasan gunung-gunung di Jawa. Dalam perjalanan itu, mereka terlibat dalam perdebatan sesuatu yang sungguh sangat genting: cahaya dan gelap di alam semesta dan dunia manusia.

Si Malam mendukung proses Kristenisasi masyarakat Jawa karena dianggap dapat membawa mereka keluar dari kondisi primitif mereka. Ha? Manusia Jawa itu primitif? Malam sudah pasti belum membaca buku-buku antropologi yang terbit pada abad ke-20 apalagi yang menyusul kemudian di  pertengahan abad ke-20 dan ke-21. Omongan Malam sembrono, tapi jujur merefleksikan hasratnya sendiri. Tak berlebihan jika, sang Siang mempertanyakan klaim si Malam bahwa pendalaman agama Kristen telah menghasilkan “cahaya pengetahuan yang memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru Eropa.” Ingat, Eropa pada pertengahan abad ke-19 sudah begitu mendominasi imperialisme dunia, termasuk di Hindia (koloni kekuasaan) Belanda, yang dimulai khususnya sejak kekalahan Sultan Agung (1617) dan terutama sejak kemenangan mereka pada Perang Jawa (1825-1830).

Sang Siang mengejek si Malam yang kok masih percaya pada takhayul mukjizat yang selalu dikhotbahkan gereja. Tentu sang Siang juga berkhotbah tentang berbagai pencapaian di bidang ilmu pengetahuan alam dan hasrat para naturalis pencerahan perihal “kekekalan dan konsistensi hukum-hukum alam” yang sungguh mampu menyajikan “kebenaran dengan penjelasan terbaik”, juga bukti yang tak terbantahkan akal sehatwalafiat manusia. Sabda sang Siang: “pekerjaan yang dilakukan terus-menerus dapat menumbuhkan kepercayaan di hati manusia, baik kepercayaan tentang segala sesuatu yang ada di atas langit maupun yang ada di permukaan bumi. Semua itu merupakan hasil yang diperoleh dari penemuan-penemuan di bidang geologi, astronomi, kimia, fisika, dan fisiologi. Pada dasarnya, melalui usaha-usaha inilah kebenaran berhasil diungkapkan dan disebarkan.”

Seiring perjalanan mereka, sang Malam semakin meredup bahkan kelam, barangkali kalah berdebat, atau kurang cerewet dibandingkan Siang. “Tuhan, cahaya, dan kebenaran terungkap tanpa adanya perantara gereja, tetapi justru melalui kajian alam yang cermat. Alam sendirilah yang menjadi agama sang “Siang”,” kata Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, yang mengulas ceruk pikir ilmuwan naturalis ala Renaisan Eropa bernama Franz Junghuhn.

Dalam buku Licht- en schaduwbeelden van de binnelanden van Java (Cahaya dan Bayang-bayang dari Pedalaman Jawa), pertama kali terbit tahun 1854, Junghuhn yang sebenarnya menjagokan Siang dan menganggap dirinya sebagai Siang yang mencerahkan semesta manusia, memberi khotbah: “Seseorang tidak boleh membayangkan Tuhan sebagai kekuatan yang terpisah dari alam, berada di luarnya. Sebaliknya, Tuhan harus dianggap sebagai kekuatan yang terdapat di dalamnya sebagai roh universal di dalam alam—sebagai roh Dunia.”

Kita yang hidup di abad ke-21 tentu sudah diberi tahu hal penting, melalui debat Siang melawan Malam: bahasa “pencerahan” tidak boleh lagi dipakai oleh agama, apalagi dengan menakut-nakuti umat manusia dengan “zaman kegelapan” atau “zaman jahiliyah” atau “zaman kebodohan”. Pemberi pencerahan itu adalah alam semesta yang dibuka dengan berani, tekun, cermat, oleh pikiran manusia dalam kajian alam semesta raya. Yang mencerahkan adalah pikiran manusia. Bukan agama—apapun nama atau bentuk keimanannya. Toh, Tuhan itu sendiri adalah alam, yang dikaji dengan metode sains modern.
Dan, semua itu dibuktikan dengan meyakinkan pada dua bola mata manusia, yang dimulai sejak awal abad ke-19 dan terbukti pada 1870s: lampu pijar pertama, yang ditemukan Sir Joseph Swann dan Thomas Edison, dalam eksperimen terpisah. Tentu yang dikenal dunia adalah karya Edison. Lampu ajaib bagi tiap mata pertama manusia yang melihatnya itu segera mengubah malam-malam di seluruh dunia secara drastis revolusioner, menjadi semacam bakteri cahaya terampuh di semesta jagat untuk membunuh malam.
 
Aku ingat: pada tahun 2014, bersama Bandung Mawardi, Priyadi, dan Setyaningsih, kami pernah melakukan wawancara otobiografis Mbah Prapto, seorang maestro tari Jawa. Dalam wawancara itu, ada satu hal yang membuatnya jengkel: malam di Jawa. Mbah Prapto menilai, sejak kedatangan kolonialis Belanda, orang Jawa dipaksa memiliki malam saja. Tanpa siang. Pada malam hari, mereka boleh melakukan ritual keyakinan mereka, boleh melakukan segala aktivitas budaya mereka. Namun, di siang hari, kekuasaan ada di tangan pemerintah kolonial Belanda, dengan bedil modern berbasis sains, dengan politik surat penjanjian, dengan kuasa atas tanah, dengan penguasaan elite budaya, pengajaran citra ideologis superioritas budaya, dan segala macam bentuk kekuasaan, agar pribumi mengabdi demi kekuasaan dan kepentingan mereka di siang hari. Jawa sebagian besar dipaksa hanya ada di malam hari.
Malam pun menjadi kramat, berkelindan dengan keagungan Tuhan, padahal adalah sebentuk represi kekalahan dalam berwaktu. Malam Jumat Kliwon, atau malam lainnya, menjadi sakral. Malam adalah waktu-waktu yang begitu penting, mujarab, dan mumpuni untuk keberhasilan segala hal. Malam kemudian penuh dengan bunga, keminyan, dan jiwa manusia pasif dan pasrah yang tak hendak disadari. Padahal, mereka kebanyakan adalah petani: manusia yang berhidup bersama cahaya matahari di siang hari. Kebudayaan petani seharusnya adalah kebudayaan siang hari, bersama gerak alam dalam curahan sinar matahari: mulai dari mengolah tanah, menanam benih, mengayomi tetumbuhan, memanen hasil tanaman, bersama hewan-hewan ternak atau buruan yang sebagian besar bangun di siang hari. Itulah landasan kebudayaan yang hilang dari budaya dan orang Jawa, kata Mbah Prapto.

Mbah Prapto menilai bahwa semua itu bermula dari kehilangan waktu siang dalam kehidupan orang Jawa, selain hilangnya sifat ‘kebinatangan’ sebagaimana bisa dilihat dari nama-nama Jawa yang terkenal seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan sebagainya. Jiwa kebinatangan adalah watak terpilih yang mengikuti sifat hewan-hewan pujaan seperti macan atau harimau yang gesit, kuat, penguasa, pemangsa, atau seperti dongeng kancil yang cerdik, gajah yang tangguh di medan laga, atau seperti hewan-hewan yang dijadikan kisah-kisah dongeng keteladanan hidup. hewan-hewan tangguh hidup di siang hari.      
Aku membayangkan, Mbah Prapto yang pernah kuliah filsafat di UGM pasti setuju dengan Franz Junghuhn. Dan aku belum pernah melihat Mbah Prapto melakoni ritual spiritualitas (publik) di malam hari. Sebagian besar aku melihatnya di siang hari. Siang hari sakral dan spiritual di Jawa.

Pada 1908, seorang bernama Fatima, wanita yang sungguh-sungguh keterlaluan cantik dan memenjarakan nafsu tiap lelaki Batavia dari segala ras manusia, meninggal dengan misterius pada umur 49 tahun di rumahnya. Pada hari Minggu tanggal 23 Februari 1908, polisi dipanggil untuk menyelidiki penyebab kematiannya. Diutuslah Toewan Schout Hinne, “Detektif Hinne”, lelaki cerdas kelahiran Sambas, Kalimantan Barat, 4 September 1852, dan hampir pasti sudah membaca Sherlock Holmes yang sudah masuk Hindia Belanda. Sang detektif modern penuh akal pencerahan ini datang, menyelidiki, dengan akal sains modernnya. Tentu saja, Detektif Hinne berhasil memecahkan misteri kematian wanita pujaan kota Batavia itu.
Namun, tetap saja sang induk semang Fatima yang orang China, tentu juga para lelaki pemuja Fatima yang kesampaian birahi asmaranya, sangat menyayangkan. Induk semang China itu berkata, seperti diterakan Wiggers dalam novel detektifnya yang berjudul Fatima berdasar kisah yang benar terjadi di tanah Jawa itu, “sangat memalukan hal yang begitu keji dapat terjadi tanpa sepengetahuannya, dan di pemukimannya sendiri, yang begitu ramai...Ah, betapa malangnya, dan semua ini, justru pada waktu—untuk memperbaiki pemukiman itu lebih lanjut—ia merencanakan untuk memasang lampu gas umum di jalan utama.”

Kematian sang wanita cantik itu bersamaan dengan rencana pemasangan penerang jalan utama sebuah kampung di Batavia. Dari kampung gelap di malam hari, menuju kampung berlampu gas—kita ingat, sebelum kedigdayaan listrik, kejatahan kriminalistik sering menggunakan malam sebagai momentum aksi.   
 
Rudolf Mràzek, dalam buku sejarah teknologi di sebuah koloni yang sungguh masih masterpiece sampai sekarang, Engineers of Happy Land, juga mengutip fragmen bercahaya di novel The Hidden Force karya Couperus yang terbit 1900. “Di [rumah keluarga Belanda yang ada di Jawa] situ hanya ada hutan bunyi-bunyi yang tak dapat dijelaskan, dan sebuah sinar temaram yang tak dikenal di sekitar para pria dan wanita Belanda Couperus di Hindia Belanda: “di lorong-lorong panjang dan lebar hampir-hampir tidak ada cahaya. Seberkas cahaya bulan mengapung di kebun, membuat pot-pot bunga kemilau terang sampai mereka berkilau di kolam.” Ini di rumah keluarga Belanda yang termasuk kelas penguasa, yang biasanya kaya.

Namun, di sebuah situs urban ala Eropa, ada “seratus lampu lilin...Waltz dan Washington Post dan grazianas ditarikan...sebuah vila indah dihiasi dengan pilar-pilar ramping, lumayan mirip gaya Ionia, terbuat dari adukan semen dan terang-benderang disinari lilin-lilin yang ditaruh di tempat-tempat...Inilah Klub Concordia.” Kita bisa menambahkan: dansa klasik, musik mengalun, dengan bantuan cahaya lilin yang romantik. Sepenuhnya seperti berada di Eropa, bukan di Jawa.
100 lilin pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, di sebuah kota urban di koloni Hindia Belanda, di sebuah klub orang Eropa: pencerahan yang kurang ambisius dibandingkan lampu gas, apalagi listrik, namun toh kita sampai sekarang masih tetap saja mendamba lilin, sesuatu cahaya yang sangat mahal untuk berhidup urban, sebagaimana pernah diulas dengan memikat oleh Roland Barthes.
Sementara itu, di rumah pribumi-pribumi...

***
Kita bisa membayangkan adegan ini: menjelang sore dan selepas magrib, menuju malam hari, sekumpulan bocah keluar ke halaman rumah, dengan wajah bungah. Mereka memanggil teman-temannya, mengajak bermain, menyambut sinar bulan. Satu per satu berkumpul, kemudian mulai memainkan dolanan yang sudah begitu akrab di telinga dan raga mereka. Pelan-pelan, mereka membentuk formasi dolanan, permainan semakin jadi, semakin asyik, dan bergemuruh di seluruh kampung.
 
Dan di mulut mereka, lagu dolanan bocah yang terkenal itu mengalun gembira: Lir-ilir, lir-ilir/ Tandure wong sumilir/ Tak ijo royo-royo/ Tak sengguh temantèn anyar/ Cah angon, cah angon/ Pènèkna blimbing kuwi/ Lunyu-lunyu pènèken/ Kanggo masuh dodotira/ Dodotira kemitir/ Bedhah ing pinggir/ Domana, jlumatana/ Kanggo séba mengko soré/ Pupung gedhé rembulané/ Mumpung jembar kalangané/ Suraka, surak iyo.

Pada momentum itu, malam sepenuhnya milik bocah-bocah Jawa. Mereka tidak begitu perlu memahami arti tembang-tembang yang mereka nyanyikan. Mereka menikmati, mereka bermain. Bersama alam, bersama bulan terang: membebaskan diri dari segala hal. Satu malam, sekian jam, sebelum mereka akhirnya terlelap di pangkuan alam mimpi masing-masing.

Itu terjadi berkali-kali, barangkali sejak abad ke-17, sampai suatu kekuatan maha dahsyat yang berupa listrik, sesuatu ampuh yang tak kasat mata, yang tak ada dalam bahasa-bahasa pribumi di belahan dunia mana pun, mengubah warna malam jagat.

Sejauh itu, barangkali tak banyak menyadari bahwa perlahan bulan tinggal nostalgia—atau impian saintifik—ketika seorang penyair muda tiba-tiba menemukan dirinya kehilangan bulan, pada pertengahan abad ke-20. “Bulan telah pingsang/ di atas Kota Jakarta/ tapi tak seorang menatapnya!” tulis Rendra pada tahun 1955, dalam puisi Bulan Kota Jakarta. Tahun 1955, Rendra masih berumur 20 tahun, masih seorang remaja meski sudah mulai terkenal sebagai penyair. Aku membayangkan Rendra masih mengalami bernyanyi di malam hari, seperti bocah-bocah Jawa klasik di sekitar lingkungan dekat keraton Surakarta, Jawa Tengah. Rendra menjadi bocah Jawa yang dibesarkan dengan nyanyian, dongeng, dan puisi-puisi klasik Jawa. Dia ingin berteriak dari dasar jiwa bocah Jawa kepada warga Jakarta.  

Rendra sebenarnya tidak kehilangan bulan. Sudah pasti bulan tetap di atas langit Jakarta, sampai sekarang. Yang hilang adalah jiwa bocah bernyanyi, merayakan diri dalam permainan di malam hari yang berangin di depan rumah bersama kawan. Rendra tentu salah memahami ruang: ini bukan lagi kampung di sekitar keraton Surakarta, tapi sudah kota urban Jakarta. Dan pada 1955, Indonesia yang sudah berumur 10 tahun sedang melaksanakan hajat nasional yang maha penting: pemilu pertama secara demokratis besar-besaran. Rembulan barangkali adalah jiwa romantisme penuh bual, dari seorang pemuda Rendra, tak perlu disesali apalagi dipertanyakan di kota urban metropolitan. Apalah arti bulan. Jakarta bukan kota bocah, yang dimulutnya penuh nyanyian alam gembira. Nyanyian bocah itu kehilangan panggung-malam di bawah bulan.
 
Aku masih terkesima pada model khas lampu gantung itu. Aku melihatnya di rumah kepala desa atau rumah-rumah orang kaya. Tak pernah aku melihatnya ada di sembarang rumah penduduk. Itulah lampu yang terhormat, mewah, dan penuh status sosial.

Aku melihatnya kembali dalam sebentuk gambar iklan dari masa silam. Dalam iklan yang dimuat surat kabar Pemberita Betawi, 16 Januari 1888, toko Tan Hoelo menggunakan bahasa yang begitu sederhana dalam ukuranku sekarang untuk mengiklankan lampu legendaris itu: “Trima: Lampoe Terang INVICTA.” Dua kata penting: “lampoe” dan “terang”. Kata ‘lampu’ hampir pasti bukan bahasa lokal, setidaknya sejauh aku tahu, hampir sama dengan bahasa Inggris, ‘lamp’, dan kemungkinan juga dalam bahasa Belandanya. Itu artinya, “terang” lampu yang hanya bisa dimiliki warga urban di Batavia, bukan di perkampungan Jawa yang paling tidak urban.

Pada tahun-tahun itu tak begitu berbeda antara terang malam di kota dan di kampung. Namun, saat modernitas yang bersenyawa dalam aliran listrik, semua begitu berbeda, semuanya begitu terseret dalam terang listrik, semuanya, sampai kisah-kisah nenek moyang, sampai mukjizat keramat malam-malam. Orang-orang pasti bakal mengeluh, seperti terkutuk Tuhan langsung tapi tanpa Tuhan, jika tanpa listrik.

“Betapa gelapnya Rembang di malam hari!. Tak ada pasokan listrik siang hari dan hanya amat sedikit di malam hari... Toko-toko dan Hotel Loeberg hanya menggunakan Nulite-burner. Orang menggunakan listrik sesedikit mungkin, hanya selama hidangan makan, dan di beberapa ruang tamu... Orang tak mempercai Rembang, dan Rembang tidak mempercayai listrik!” kata Willem Walraven, dengan marah yang tumpah, tentang kota perempuan Jawa yang begitu fanatik pada cahaya modern buatan manusia, Rembang kota RA Kartini. Apakah pada awal abad ke-20 orang Jawa di Rembang tidak percaya pada listrik? Hemm... Pada tahun 1938, hanya 9% warga saja yang mau dan mampu mengakses mukjizat sains listrik, dan hanya 5% atau 76.000 penduduk atau 0,2% seluruh penduduk asli Jawa yang menggunakannya.

Teplok, atau sejenisnya, yang dimodifikasi dari kerangka dasar obor bambu + minyak tanah + kain, adalah teknologi penerang yang paling bisa aku bayangkan. Tentu hanya ditaruh begitu saja, tidak digantung dengan mewah ala lampu merek Invicta. Tak ada iklan yang bertahan untuk memulihkan imajinasi historisku tentang teplok atau yang jauh lebih jelek dari teplok, tentu saja.

Model lampu gaya Invicta bertahan sampai tahun 70-an, masa yang cukup begitu lama mendominasi, sebelum akhirnya manusia berkerumun di sekitar terang listrik. Desa-desa dan di kampung-kampung di Jawa atau di daerah lain di luar Jawa, sementara itu dan pada saat bersamaan, sudah hampir pasti hanya mengandalkan bulan di malam hari atau teplok minyak tanah. Maka, hanya lampu listrik saja yang akhirnya mengubah malam-malam dan sejuta malam-malam lagi di kampung-kampung. Inilah malam-malam panjang teknologis penuh terang listrik.

Dalam arus cahaya listrik itu, malam bukan lagi semakin malam. Malam malah semakin siang, begitu panjang siang itu, sampai orang-orang tidak lagi sadar antara siang dan siang yang begitu terang teknologis. Saat itu terjadi, kita mulai sadar: betapa sudah begitu sungguh banyak generasi-generasi sebelum listrik yang tersihir, atau terperosok, atau terpojok menjadikan malam sebagai satu eksistensi (being), kata pujangga buta Jorge Luis Borges. Manusia barangkali pernah takut, atau ditakut-takuti pada malam selama jadi bocah, namun sejak zaman cahaya listrik gelap malam sudah dihilangkan. Tuhan bahkan tak bisa menolaknya.

Sekadar bacaan:
Goss, Andrew, 2014. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru. Komunitas Bambu.
Hermanu (peny.), 2012. Ilir-Ilir Ilustrasi Tembang Dolanan. Bentara Budaya Yogyakarta.
Maier, Henk, 2005. Pusaran Air dan Listrik: Modernitas di Hindia.  Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Mrazek, Rudolf, 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. YOI
Riyanto, Bedjo, 2000. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Terawang.
Majalah Kedjawen, 11 April 1939
 
Oleh M. Fauzi Sukri
Diambil Pengintip Kampung Pelirik Kota
Bilik Literasi dan Kampungnesia, 2016

Berita Terkait