Kampung, Sungai, & Asa Kota : Sebuah Undangan Berimaji
Air menjadi simpul awal bangunan peradaban. Narasi peradaban yang dibentuk oleh gelombang air memanjang dari benua Afrika, Eropa, maupun Asia, membentang dari jejak peradaban klasik hingga modern. Interaksi antar peradaban kemudian disulam lewat kisah-kisah ekspedisi antar budaya sekaligus membentuk jejaring peradaban yang tumpang tindih antara kepentingan kebudayaan, teknologi hingga kekuasaan. Jejaring interaksi yang terbangun sesudahnya kemudian menjadi simpul yang membelah pengetahuan atas peradaban dunia yang ada. Gelombang perubahan lalu menjadi pola yang membentuk formasi peradaban yang silih berganti saling berkelindan dengan beragam kepentingan yang diwariskan terus menerus. Semua kisah lalu menjadi tumpukan pengetahuan yang dicatat secara tekun oleh sarjana/orientalis sekaligus memberi kita pelajaran besar tentang arti penting masa silam.
#Air, Angin & Jejak Peradaban
Gelombang besar dan awal adalah proses indianisasi yang membentuk landskap kebudayaan khas Asia (Austro-Asiatik), tentunya tanpa mengabaikan pengaruh Indochina. Temuan atas teks-teks epigrafik dan jejak-jejak prasasti memungkinkan rekonstruksi yang panjang sebagai tesis untuk mengurai munculnya peradaban yang saling terhubung. Kebudayaan air dan teknologi yang mengantarainya menghadirkan narasi asal muasal Fu-nan, Champa, Sriwijaya, Angkor, Sailendra hingga Airlangga (Coedes, 1964). Jalur-jalur pelayaran di Selat Sunda dan Selat Malaka terbuka untuk kepentingan perdagangan dan kekuasaanlah yang mendinamisir kehidupan awal abad Masehi-sampai setidak-tidaknya 10 abad kemudian oleh Hindu-Budhha. Penanda yang paling khas sekaligus megah dan dekat dengan kita hari ini adalah keberadaan Borubuddur sebagai jejak Buddhisme Mahayana, sekaligus dengan penopangya yaitu candi Mendut dan candi Pawon. Juga Loro Jongrang di Prambanan dengan epik dan candi-candi Hindu yang mengiringi keberadaan Sinkreteisme Jawa pada saat bersamaan (Hall, 1981; Cotterell, 2014). Catatan kesaksian dari kunjungan Marco Polo ke nusantara meninggalkan rekaman hubungan antar peradaban, dan menempatkan kebudayaan nusantara menjadi salah satu mata rantai kebudayaan Hindu-Budhha. Jejak artefaknya membentang dan berserak di sungai-sungai Benggala-India, Menam-Chiang Mai, Mekong, Mai Ping-Thai, Siem Reap-Angkor, Rokan, Perak-Melayu, hingga Bengawan Solo dan Brantas-Jawa.
Angin laut yang menghembus tiang-tiang layar yang semakin riuh dilautan, pada akhirnya membuka jejak peradaban baru selepas Hindu-Budha yaitu kebudayaan Islam yang masuk bersimpangan dengan ekspansi ambisi kebudayaan Eropa (diawali oleh Portugis). Mengulang jalur air indianisasi sebagai jalur yang semakin terbuka bagi akses perdagangan global, maka lautan tengah Asia Tenggara jadi tempat pertemuan yang semakin ramai. Angin yang tidak begitu kencang dan bisa ditebak, dengan angin musim yang bertiup dari barat atau selatan di bulan Mei hingga Agustus dan dari barat laut atau timur laut pada Desember-Maret. Air dan hutan menjadi kombinasi terbaik agar teknologi transportasi Kapal semakin sempurna bersamaan dengan pengalaman yang semakin luas atas akses sungai yang membelah daratan (Reid, 1988). Perniagaan yang semakin maju ada abad 15-17, berkontribusi pada terbentuknya pola-pola permukiman yang merujuk pada nilai-nilai kekuasaan Islam yang mulai menyebar luas di nusantara. Beragam perjumpaan niagalah yang pada akhirnya memberi bingkai terakhir pada konstruksi kota-kota yang terbentuk sesudahnya. Perniagaan bahan dasar alam (lada, cengkih, pala, teh, kopi, gula) bertahap menjadi modal transaksi bagru menggantikan emas dan perak. Dimana semuanya disemai bersama angin yang melalui Pegu, Ayutthaya, Pnompenh, Hoi An, Melaka, Petani, Brunei, Pasai, Aceh, Banten, Jepara, Gresik hingga Makassar.
Angin laut yang menghembus tiang-tiang layar yang semakin riuh dilautan, pada akhirnya membuka jejak peradaban baru selepas Hindu-Budha yaitu kebudayaan Islam yang masuk bersimpangan dengan ekspansi ambisi kebudayaan Eropa (diawali oleh Portugis). Mengulang jalur air indianisasi sebagai jalur yang semakin terbuka bagi akses perdagangan global, maka lautan tengah Asia Tenggara jadi tempat pertemuan yang semakin ramai. Angin yang tidak begitu kencang dan bisa ditebak, dengan angin musim yang bertiup dari barat atau selatan di bulan Mei hingga Agustus dan dari barat laut atau timur laut pada Desember-Maret. Air dan hutan menjadi kombinasi terbaik agar teknologi transportasi Kapal semakin sempurna bersamaan dengan pengalaman yang semakin luas atas akses sungai yang membelah daratan (Reid, 1988). Perniagaan yang semakin maju ada abad 15-17, berkontribusi pada terbentuknya pola-pola permukiman yang merujuk pada nilai-nilai kekuasaan Islam yang mulai menyebar luas di nusantara. Beragam perjumpaan niagalah yang pada akhirnya memberi bingkai terakhir pada konstruksi kota-kota yang terbentuk sesudahnya. Perniagaan bahan dasar alam (lada, cengkih, pala, teh, kopi, gula) bertahap menjadi modal transaksi bagru menggantikan emas dan perak. Dimana semuanya disemai bersama angin yang melalui Pegu, Ayutthaya, Pnompenh, Hoi An, Melaka, Petani, Brunei, Pasai, Aceh, Banten, Jepara, Gresik hingga Makassar.
Jalur-jalur sungai yang mengurai sumbu-sumbu penghasil bahan alam dipedalaman menjadi penghubung utama bagi Jung/Prahu yang mengangkut material alam bagi pesta-pesta bangsawan Eropa. Administrasi perdagangan serta merta diperlukan sebagai bagian tata kelola untuk mengakumulasikan kapital yang ada. Kota-kota administratif menjadi konsekuensi politik ekonomi kolonial, mengumpulkan sirkulasi aktivitas niaga yang bermula dari titik bandar dan pelabuhan yang saling terhubung. Berbagai konsensi perjanjian yang dibuat adalah hasil negosiasi bersama antara para pedagang dengan otoritas tradisional yang masih bertahan layaknya Champa, Ayutthaya, Sriwijaya, Jayakarta, Banten, Aceh maupun Mataram (Hall, 1981; Reid, 1988; Lombard, 1996). Kota berlahan bertransformasi jadi simpul-simpul baru teritorial yang lebih cair oleh mobilitas manusia dan barang yang menstimulasi gelombang perubahan besar. Muncul jejaring niaga oleh kota-kota seperti Promi, Pagan, Syriam, Rangoon-Burma, Chiengmai, Nakhon-Siam, Luang Prabang-Laos, Cochin cina-Hoi An, Johor, Pahang-Malaka, Palembang, Jambi, Semarang, Surabaya, hingga Blambangan di nusantara. Konstruksi kota pada akhirnya berinvestasi bagi gagasan negara-bangsa yang menjembatani desakan kapitalisme Eropa yang ekspansif lewat agenda kolonialisasi (Reid, 2010; Vickers, 2005).
#Kota, Kampung & Sungai yang Berubah
Pola perkembangan kota-modern senantiasa diiringi dinamika. Tantangan untuk bertahan dalam memenuhi kebutuhan pun segera melahirkan beragam bentuk kapasitas nilai, praktek maupun lembaga sebagai bentuk respon. Salah satunya adalah mekanisasi dalam proses produksi, konsumsi, dan distribusi. Ekonomi pasar menjadi penemuan yang menggantikan tradisi tukar-menukar sejak sistem agraria yang ada mencapai surplus. Bagi masyarakat kota, pasar kemudian menjadi akses ke beragam kebutuhan dasar. Dengan demikian, perilaku ekologis masyarakat kota yang menempatkan sungai dan pasar sebagai salah satu pusatnya, secara perlahan menggeser sistem agraris dalam memenuhi kebutuhan hidup. Akhirnya, pengertian kota terbatasi pada beberapa kriteria, antara lain aspek jumlah penduduk sebagai batasan kewilayahan dengan beragam standar, tersedianya aturan-aturan bagi warga, cara hidup yang berbasiskan non-agraris dan bersifat kosmopolitan. Kota mesti dipahami pada aras kebebasan dan rasionalitas, yang memungkinkan tempat tinggal bagi penduduk yang mata pencahariannya adalah berniaga-pekerjaan dalam sistem ekonomi modern (Lombard, 1996; J.M. Nas, 2005). Dalam lanskap kota, daya dukung teknologi turut mengintensifkan interaksi antar peradaban. Teknologi kemudian berkembang untuk kebutuhan perdagangan yang berbasiskan kebudayaan sejarah maritim yang panjang, serta konflik-perang yang mempercepat regenerasi kekuasaan. Baik perdagangan maupun konflik, sama-sama mengintensifkan persebaran dan persinggungan pelbagai kebudayaan dengan kompleks.
Periode kolonialisasi dengan motif penyebaran keyakinan, perluasan pasar, dan perluasan kekuasaan semakin ekspansif setelah teknologi perang dan perdagangan semakin matang. Dengan ditemukannya inovasi teknologi (renaisance) yang dapat memaksimalkan proses produksi, masyarakat perkotaan lantas memulai gerak peradaban baru menjadi masyarakat industrial. Komersialisasi pelbagai aspek kehidupan makin jamak setelah penentuan nilai tukar dikonversi ke pelbagai alat tukar seperti uang, emas, perak. Struktur sosial pun terbelah dalam stratifikasi yang didasarkan atas kepemilikan aset-aset, sekaligus mentransformasi praktek-praktek kekuasaan feodalisme (Castell, 1978; Soemarsaid, 1985). Kondisi ini menjadi bingkai akhir bagi situasi kota-kota di beberapa belahan dunia, wajah kekinian kota-kota terus bergerak mengikuti arah gerak kota-kota di Eropa. Kondisi tersebut merupakan sesuatu yang tak terhindarkan karena lamanya masa kolonialisasi. Seiring dekolonialisasi, dinamika perkembangan kota tetap mengalami kecenderungan yang hampir sama dengan tren perkembangan kota-kota di Eropa-ditandai dengan menjalarnya urbanisasi (Dieter Evers dan Schiel, 1990).
Kini kita mewarisi ruang-ruang yang penuh hiruk pikuk. Kota dengan identiast yang berlapis-lapis dibentuk oleh keping peradaban yang beragam. Rekaman atas jejak kuno kebudayaan Hindu-Budha masih sangat mudah untuk dikenali sebagai bagian yang tak terpisahkan, jejak kebudayaan Islam serta merta menjadi pewaris kehidupan kontemporer kita hari bersama ruang yang terbentuk secara kosmologis. Rantai kekuasaan tradisi Mataram-yang menegaskan generasi akhir pengelola jagad gedhe dan cilik masih mengendap memandu praktek keseharian masyarakat kita. Dan yang paling akhir sekaligus mengubah wajah kota kita adalah kolonialisasi yang menggeser jalur transportasi yang berabad-abad melalui laut-sungai, ke daratan dengan rel yang dibentang memanjang untuk menggerakkan mesin uap, lokomotif, dan gerbong agar bisa menggerakkan barang-barang komiditi jauh lebih banyak ke jantung-jantung Eropa. Daya topang kota agar eksistensinya hadir menjadi kebudayaan maka kota harus mapan oleh ketersediaan pelbagai kebutuhan infrastruktur ekonomis: pabrik, industri, sekolah, toko, gudang, jalan raya, kendaraan bermesin, stasiun, hingga bank-bank. Kota berubah bersama modernitas namun pada saat bersamaan penuh paradoks (Shirashi, 1997; Mulyadi, 1999; Pamberton, 2004).
Konsekuensi kota yang tumbuh angkuh oleh proyek-proyek pembangunan adalah mengabaikan kampung sebagai entitas yang lebih awal hadir. Narasi kampung dan sungai yang hari ini kita warisi patah dan tak terkoneksi dengan tapak peradaban yang membentuk kota-sebelumnya. Kampung lalu bergerak otonom bersama memori dan mental warga yang dibentuk oleh lapis-lapis kenangan atas tradisi untuk bertahan disamping derunya kota yang berlari kencang. Anak-anak kota mengalami amnesia yang parah oleh sebab tak adanya pegangan untuk memahami kota mereka, kampung mereka dan hubungan antara keduanya. Berjalan ke kota dari kampung, seperti hendak berkunjung ke kota-kota lainnya: semua seragam, asing dan terburu-buru. Seperti ingin lekas pulang ke rumah dan kampung untuk bisa segera bertegur sapa dengan sesama di pos ronda, buk tempat kumpul, berlarian digang nan sempit, memasak bersama diteras, bermain layangan dilapanagan, hingga menjemur kasur dan cucian dihalaman. Sungai-sungai dikampungpun diam membisu: pasrah menjadi halaman belakang kota, untuk menjadi tempat mengakumulasikan beban pembangunan kota-terus menerus. Sungai dipaksa semakin menyempit, tak punya ruang karena ditimpa bangunan, trotoar dan jalan raya yang harus dibentuk sebagai sebagai penanda kota. Tumpukan sampah, limbah industri hingga beban air hujan tak lagi sanggup ditopang oleh sungai-sungai kita hari ini. Kampung dan sungai termarjinalkan oleh kita semua, kampung dan sungai yang dulu pernah membentuk kota kelak akan mengubur kota bersama alam yang tak lestari.
Akhmad Ramdhon-Sosiologi FISIP UNS
Makalah Diskusi Balai Soedjatmoko