Kota-kota Beraksara

Buku tak hanya merekam gerak kota, namun juga berkembang dalam kultur kota. Kita ingat, kota tertua di dunia adalah Kota Jbail di Libanon. Kota ini mempunyai nama lain yang sangat khas: Byblos, dalam bahasa Yunani, yang berarti buku. Pada masa kejayaan kebudayaan (filsafat) Yunani, Byblos sudah menjadi kota tua yang sesekali memunculkan buku-buku lawas antik berharga. Tentu saja sekarang Byblos bukan lagi kotapenuh buku.

Kota berbuku terus bergerak dari satu pusat kota budaya ke kota budaya lainnya. Pada zaman naskah tulis tangan (pra-Gutenberg), kita mengenal kota-kota yang dihuni mayoritas Islam di Timur Tengah sampai ke daratan Eropa di Spanyol—sayang, Indonesia tidak menangi masa kejayaan naskah itu. Namun, saat Gutenberg menciptakan penemuan alat pencetakan alfabet tahun 1455 di Jerman yang sungguh begitu terhormat dan begitu berpengaruh, gerak kota berbuku perlahan dan dramatis pindah ke Eropa.

Perkembangan kampus yang disemarakkan oleh sains (ilmu alam empirisme) dan filsafat (ekonomi dan politik) dan sastra, pertumbuhan kota-kota urban Eropa (juga Amerika Serikat kemudian) yang digerakkan juga oleh kolonialisme, bangkit pesatnya surat kabar di Eropa dan Amerika Serikat, perseteruan agama Kristen dan Katolik di Eropa dan persebarannya ke seluruh dunia, dan tentu saja melek alfabet yang hampir merata di Eropa menjadikan pusat-pusat kota Eropa sebagai kota berbuku.Dan Revolusi Industri dengan mesin uap (khususnya sejak tahun 1811) merevolusi sistem produksi massal percetakan.

Kota pelabuhan Banten pada abad ke-17 boleh sedikit berbangga sebagai kota yang dinamis dan kosmopolitan dengan 150.000 penduduknya. Prancis pada masa yang sama hanya kota kecil saja(Dorléans, 2016: xxxvii), apalagi New York yang baru kedatangan para imigran dari Eropa. Namun,urusan kota beraksara, teknologi cetak alfabet yang dikembangkan dari kesederhanaan alat Gutenberg tidak serta merta diapresiasi dengan gempita, bergemuruh, dan massal di Nusantara.Siapa yang berkehendak mencerdaskan masyarakat dengan perniagaan buku cetak teknologis pada zaman naskah manuskrip di Nusantara itu?

Naluri niaga untuk barang cetak memang tidak seperti penemu sistem satu huruf untuk satu bunyi, yakni orang Fenisia. Kaum Fenisia banyak tinggal di kota pelabuhan Tirus dan Sidon yang ramai. Mereka kebanyakan menjadi saudagar yang sukses. Dan mereka menyebar di berbagai kota sehingga membutuhkan sistem berhuruf yang ringkas, efisien, dan mudah untuk mencatat perdagangan dan mengirim surat kepada sanak saudara di rantau dan di rumah. Bersama niaga ke berbagai kota penting dunia, tersebarlah sistem beraksara kaum Fenisia. Maka, sistem berhuruf mereka diadopsi di seluruh dunia (Gombrich, 2016: 37).

Namun, untuk membumikan mesin cetak dengan sistem satu huruf untuk satu bunyi di Nusantara tidak cukup mulus. Isa Zubaidah (1972) pernah menulis disertasi berjudul Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Zubaidah melacak bahwa sebuah mesin cetak pernah dibawa ke Nusantara (Batavia?) dari Eropa oleh seorang misionaris Dutch Reformed Church pada tahun 1624—masa yang tidak begitu ketinggalan dibandingkan dengan Eropa. Rencananya, mesin cetak mutakhir itu hendak digunakan untuk mencetak buku pelajaran (textbook) sekolah misionaris yang dikenal sebagai Sekolah Latin—menggunakan dan mempromosikan alfabet Latin, bukan Jawi. Namun, yang tragis dan wagu, mesin cetak itu terpaksa tidak digunakan karena tidak ada seorang pun yang bisa dan ahli mengoperasikannya. Aduh...

Dan seandainya ada niat menggunakan mesin cetak sebagai modal perniagaan, barangkali mesin itu bisa segera mendapatkan seorang operator ahli. Sayang sekali. Penerbit resmi pemerintah Hindia Belanda sendiri baru berdiri tahun 1668. Dan kebanyakan hanya mencetak keperluan perkantoran birokrasipolitik seperti mencetak buku undang-undang selain keperluan misionaris. Baru tahun 1815, berdirilah Vereeniging ter Bevordering van de Belangen den Boekhandels (Perkumpulan untuk Promosi Kepentingan Perdagangan Buku) di Belanda. Pedagang buku pertama di Hindia Belanda bernama L.D. Brest van Kempen, yang sekaligus menjadi direktur Landsdrukkerij (Government Printing Press). Beliau menjual buku-buku sains dan sastra yang semuanya diimpor dari Netherlands (Zubaidah, 1972: 40).

Kemungkinan besar hanya beredar dan terjual di kalangan Eropa. Sangat mungkin, kalangan pribumi masih jauh dari jangkauan niaga buku hasil teknologi cetak itu. Alasannya sederhana: huruf Latin yang lebih kompatibel dengan teknologi cetak belum banyak digunakan, bahasa Melayu masih didominasi huruf Jawi, dan baru diusulkan diganti dengan alfabet Latin tahun 1860 oleh J. Pijnappel dalam karangan berjudul Over het Arabisch-Maleische Alphabet (Slametmuljana, 1965: 141). Dan tentu saja, karena Pemerintah Hindia Belanda hanya berhasrat perniagaan dan belum begitu mau masuk dalam dunia pendidikan-pengajaran sampai Politik Etis berusaha dijalankan dengan berdirinya Volkslectuur(Balai Pustaka) tahun 1910.

Di luar pemerintah dan orang Eropa, orang Islam sudah mulai tergoda dan menggunakan teknologi cetak litografi ala Eropa Barat. Tentu awalnya orang Islam menolak karena dianggap tidak religius (bid’ah), irosional, dan tidak estetis. Dari kota Palembang, dengan percetakan sendiri seharga f500 di Singapura, Kemas Hajji Muhammad Azhari mulai mencetak al-Quran tahun 1854 secara massal. Harga per al-Quran mencapai f 25. Harga ini setara dengan biaya membeli manuskrip yang disalin secara profesional—sudah pasti membuat modalnya kembali dan untung besar.Keberhasilan di Palembang kemudian ditiru di Surabayadan berbagai kota lainnya (Laffan, 2015: 64).Dan buku-buku keislaman mencapai puncak pertamanya pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Di Indonesia, meski sudah ada sekolah modern dan klasik (khususnya pesantren), percetakan pemerintah dan swasta, perniagaan buku yang mulai menguat, pabrik kertas,warga Indonesia tetap tidak menunjukkan semangat yang menggebu dahsyat. Jika menggunakan Balai Pustaka sebagai barometer literasi, kita hanya bisa mengatakan bahwa sejak tahun 1917 (saat mulai mencetak buku anak untuk bocah-bocah pribumi) sampai 1968 Balai Pustaka hanya berhasil mencetak sekitar 2.300 judul. Secara keseluruhan, penerbit swasta menerbitkan 4 juta eksemplar tahun 1969; Balai Pustaka menebitkan 7, 5 juta eksemplar buku (Zubaidah, 1972: 86, 106). Angka yang sungguh keterlaluan memelasdan mesaké untuk pencerdasan sekitar 90 juta populasi Indonesia. Dengan standar apa pun, sungguh angka itu sangat rendah dan merendahkan martabat kemanusiaan warga Indonesia. Tapi siapa yang mau dan berani protes? Menurut pemerintah dan para penerbit, masalahnya suungguh klasik dan sederhana: kekurangan dana, baik dari pemerintah, perusahaan swasta, ataupun dari masyarakat sendiri. Niaga buku termasuk perdagangan yang bergerak dan saling mendukung antara idealisme dan komersialisme yang tak sepenuhnya bisa dipisahkan.

Yang menarik tapi sekaligus mengenaskan dari populasi buku di Indonesia, kota-kota berbuku masih tetap sebagaimana pada zaman pemerintahan Belanda,pada tahun 1955, juga sampai sekarang.Menurut Biro Pusat Statistik 1955, seperti bisa diperkirakan, provinsi palingberbuku dengan jumlah percetakan terbanyak adalah Jawa Barat (206 percetakan), Jawa Timur (123 percetakan), lalu disusul Jawa Tengah (111 percetakan). Di luar Jawa, Sumatra Utara adalah kota berbuku terhebat dengan jumlah percetakannya mencapai 113 percetakan, lalu Sumatra Utara dengan hanya 47 percetakan, 21 percetakan di Kalimantan, 15 percetakan di Sulawesi, 3 di Maluku, 4 di Nusa Tenggara (Zubaidah, 1972: 80).
 
Proporsi dan skala kota berbuku itu sampai sekarang tidak banyak perubahan berarti, tentu dengan perubahan angka. Yang perlu diperhatikan barangkali adalah kemunduran (bahkan kemandekan!) Sumatra Utara sebagai pusat percetakan dan perbukuan di Indonesia.Dan yang segera muncul sebagai kota pusat buku di Indonesia selain Jakarta tentu saja adalah Jogjakarta, yang juga mensuplai kebutuhan buku secara nasional sampai sekarang, mengalahkan kota-kota lain di Indonesia.

Di Solo sendiri, pada tahun 1954, ada 20 percetakan, 7 penerbit, dan 31 toko buku (ada juga yang merangkap sebagai percetakan). Jika kita melihatnya di jalan-jalan sekitar Solo dan membandingkannya dengan yang dimuat dalam buku Pekan Buku Indonesia 1954, hampir sebagian besar toko buku dan penerbit tersebut sudah tidak ada lagi.Toko buku Budi Laksana yang dahulu ada di Jl. Diponegoro sudah hampir tutup. Toko ABC masih tetap bertahan, cuma sudah tidak menjual buku lagi, hanya menjual koran, majalah, tabloid, atlas. Penerbit dan percetakan Siti Sjamsijah yang berlokasi Setjojudan No. 28 sudah tidak ada lagi. Banyak toko yang sudah tumbang, ada juga yang tumbuh, seperti toko buku Gramedia dan Togamas.

Kebangkitan dan keambrukan kota-kota buku memang melibatkan banyak faktor, yang tidak sepenuhnya bersifat ekonomis. Pusat kota-kota Eropa Barat bangkit sebagai pusat-pusat buku bersama dengan kebangkitan ilmu pengetahuan, perkembangan urban, dan ekonomi politik global. Dan begitulah habitat buku di seluruh kota di dunia. Saat ini, kita sudah mulai mendapati tanda-tanda perkembangan ekonomi politik “kembalinya sejarah” pada pangkuan Asia sesuai dengan proporsi populasi penduduknya secara global.Namun, semua itu belum berarti kota-kota di Asia bakal kembali menjadi kota penuh aksara—selain Jepang. Lihatlah gerak aksara dikota Anda dari rumah sendiri, sebelum ke sekolah, kantor, pasar, mall, stasiun, bandara, taman rekreasi, warung, atau tentu saja ke toko buku dan perpustakaan.
 
 
M. Fauzi Sukri
Koordinator Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo
 
 

Berita Terkait