Kampung Kota Dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota Di Indonesia #1
Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA., Ph.D.
1. Indonesia yang Semakin Meng-kota: Urbanisasi atau Kampungisasi?
Pelan, tapi pasti, dunia telah semakin meng-kota. Sejak tahun 2007, lebih dari
separuh penduduk dunia yang saat ini mencapai 6,2 milyar telah tinggal di perkotaan. Diproyeksikan
bahwa pada tahun 2020 mendatang, sekitar 60% penduduk dunia akan tinggal di
perkotaan. Percepatan urbanisasi ini, khususnya, akan terjadi di negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, urbanisasi dan perkembangan kota
semakin tidak terelakkan. Tahun 2010 ini ditandai sebagai momen penting dimana Indonesia
sudah menjadi negara yang semakin meng-kota, karena lebih dari 50% penduduknya
tinggal di perkotaan. Ini berarti lebih dari 120 juta penduduk Indonesia yang
kehidupannya tergantung di lingkungan kota. Diproyeksikan, bahwa pada tahun
2025 nanti, sekitar 68% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Dari sisi
ekonomi, perkotaan di Indonesia menyumbangkan Produk Domestik Bruto sebesar
61,1% pada tahun 1980 an dan meningkat menjadi 78,1% pada tahun 2008 (BPS,
2009).
Data di atas menggambarkan kehidupan dan lingkungan perkotaan akan menjadi
keniscayaan bagi kita di masa depan. Lingkungan dan kehidupan perkotaan akan
semakin menjadi tumpuan perkembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia.
Upaya-upaya nyata harus segeradilakukan untuk menangkap peluang urbanisasi dan
perkembangan kota, sekaligus memberikan arah agar urbanisasi dan perkembangan
kota dapat lebih memberikan makna yang baik bagi masa depan kehidupan manusia. Pada
saat yang sama, perkembangan lingkungan dan kehidupan kota di Indonesia semakin
mengkhawatirkan. Secara fisik, perkembangan kota ditandai dengan urban
sprawl. Tidak saja urban sprawl telah memicu konversi tanah-tanah
pertanian dan resapan air, namun juga semakin memicu spekulasi tanah,
meningkatkan jumlah tanah terlantar, inefisiensi pembangunan prasarana dan
sarana kota, meningkatkan arus lalu lintas, memicu pemborosan energi dan polusi
udara. Udara kota semakin pengap, panas dan tercemar. Sampah semakin menggunung
dan tidak terkelola. Sekitar 9,7 juta warga miskin di Indonesia tidak mendapat
akses air bersih, dan 10,5 juta warga miskin tidak mendapat akses ke sanitasi
(BPS, 2009). Ruang terbuka hijau dan ruang publik semakin terbatas dan
mengurangi kesempatan warga kota untuk bermain serta melepaskan diri dari
tekanan kota. Perumahan kota juga menghadapi tantangan yang luar biasa. Di Indonesia,
kekurangan rumah (backlog) meningkat dari 5,8 juta unit pada tahun 2004
menjadi 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Diperkirakan terdapat sekitar
57.800 hektar perumahan yang dikategorikan tidak layak huni dan memerlukan
perhatian dan perbaikan. Sementara itu, 20,5 juta penduduk miskin kota
menempati rumah tidak layak huni (Kementrian Perumahan Rakyat, 2010).
Fakta di atas mengindikasikan bahwa apa yang terjadi di Indonesia merupakan
urbanisasi semu, di mana pertambahan penduduk perkotaan tidak diiringi dengan
penyediaan sarana-prasarana perkotaan yang memadai. Chris Backs bahkan melihat gejala
urbanisasi semu ini sebagai pertanda tidak dapat diterapkannya konsep
urbanisasi untuk menjelaskan sepenuhnya perkembangan kota di Indonesia. Ia
bahkan menyebut bahwa yang terjadi adalah proses kampungisasi, yakni masyarakat
yang terperangkap dalam suatu proses transformasi meninggalkan sektor pertanian
di desa, tetapi belum mampu sepenuhnya masuk ke sektor industrial di perkotaan (Chris
Back, 1988, dalam Laksono, 1994).
2. Kampung Kota dan Kota Kampung
Kampung, diambil dari kata Melayu, awalnya merupakan terminologi yang dipakai
untuk menjelaskan sistem permukiman pedesaan. Istilah kampung seringkali dipakai
untuk menjelaskan dikotomi antara kota dan desa. Kota diartikan dengan modernitas/kemajuan
sementara desa atau kampung diartikan dengan keterbelakangan dan ketidakmajuan.
Dalam bahasa Jawa, istilah kampungan seringkali dipakai untuk menjelaskan cara
berpikir dan perilaku yang memalukan, jauh dari etika priyayi, dan tidak layak disandingkan
dengan budaya priyayi di perkotaan. Dalam perkembangannya, istilah kampung
dipakai untuk menjelaskan fenomena perumahan di perkotaan yang dibangun secara swadaya
atau mandiri oleh para migran dari pedesaan. Perumahan ini disebut kampung kota
atau perumahan yang seperti kampung di pedesaan, tapi berada di perkotaan.
Istilah kampung kota, atau kemudian disebut dengan kampung ini, digunakan sejak
awal abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda melalui program yang dikenal sebagai
Kampung Verbrechting. Sejak awal, penggunaan istilah kampung ini memang
sarat dengan pandangan yang miring. Sebagaimana dijelaskan oleh Silas (1996),
di Surabaya, sejak awal, pemerintah kolonial Belanda telah memisahkan secara
tegas antara warga biasa atau warga kampung (dikenal dengan Indlandsche Gemeente)
dengan warga priyayi, pamong praja/gedongan (Stads Gemeente).
Penggunaan istilah kampung, kemudian juga dipakai oleh Pemerintah Republik
Indonesia, dengan Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program
yang diluncurkan sejak awal tahun 1960-an. Meskipun istilah ini sudah dipakai
secara formal, pengguna-an istilah kampung ini, masih saja mengandung sindiran,
merendah-kan dan meremehkan. Kampung, seringkali dikontraskan atau didikotomikan
dengan perumahan gedongan atau sekarang disebut sebagai perumahan real estate.
Kampung adalah untuk mereka yang miskin, warga biasa atau wong cilik, sedangkan
perumahan gedongan atau real estate untuk mereka yang kaya dan mapan. Memang,
secara fisik, sebagian kampung dicirikan dengan ketidakaturan, ketidakseragaman,
ketidakmapanan, dan bahkan mungkin ketidakamanan serta ketidaksehatan. Dalam
banyak hal, kekhasan kampung justru terletak pada pola-pola fisik yang beragam,
organik, seringkali surprizing, di luar kadar kreatifitas arsitek yang jenius
sekalipun. Setiap kampung adalah unik, karena tiap kampung merepresentasikan
kekhasan sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan bahkan jiwa merdeka
warganya. Kalau ada seribukampung di satu kota, dapatlah dipastikan akan ada
seribu ragam wajah kampung dan jiwa yang berbeda.
Dalam konteks perumahan perkotaan, kampung merepresentasikan konsep housing
autonomy dimana warga kampung mempunyai kebebasan dan otoritas untuk
menentukan sendiri lingkungan kehidupan mereka. Kampung juga merepresentasikan
apa yang dikatakan Turner sebagai housing as a process, as a verb. Konsep
ini memaknai bahwa pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat
berpenghasilan rendah/MBR, tidak bisa dilihat sebagai satu one stop policy,
melainkan sebagai proses menerus yang dinamik seiring dengan proses pengembangan
sosial dan ekonomi warga kota (Turner and Fichter, 1972; Turner, 1976). Di
negara-negara lain, fenomena perumahan kota yang dibangun secara mandiri oleh
warga mempunyai berbagai sebutan atau nama. Di Ekuador disebut barrios atau
ranchos sementara di Peru dikenal dengan barriadas atau barriadas
marginales. Di Meksiko dinamai colonias populares atau irregulares.
Di Turki dikenal dengan sebutan Gecekondus. Di India fenomena ini
dikenal dengan bustees atau katras dan di Itali disebut sebagai abusivismo
atau baracche. Di Filipina disebut barong-barongs (Palmer dan
Patton, 1988). Nama-nama tersebut merefleksikan bahwa pemukiman karya mandiri
warga memang cenderung dipandang miring dan sebelah mata. Di dunia akademik,
istilah yang dipakai juga cenderung menganaktirikan atau mengesampingkan
fenomena ini dengan menyebutnya sebagai informal settlement, illegal
settlement, atau squatter settlement, slums, spontaneous
settlement/shelter, atau unauthorized setllement. Istilah dan
pandangan-pandangan miring dan negatif tentang perumahan swadaya atau kampung
tersebut tentunya berlawanan dengan fakta-fakta akan peran, potensi, keistimewaan,
dan kekhasan kampung. Tidak saja kampung mendominasi peruntukan lahan di kota-kota
di Indonesia (sekitar 70 persen), kampung menjadi tumpuan perumahan 70 sampai
85% penduduk kota (Kementrian Perumahan Rakyat, 2009). Sementara itu, penyediaan
perumahan melalui jalur formal oleh sektor swasta dan pemerintah hanya mampu
menyediakan sekitar 15% dari total kebutuhan rumah di perkotaan. Kampung dengan
demikian, telah dan masih menjadi tumpuan perumahan sebagian besar warga kota
di Indonesia. Tidak saja dari segi jumlah, kampung juga menyediakan berbagai
bentuk, kondisi, serta harga rumah dan kamar, yang sesuai dengan ragam
kebutuhan dan kemampuan warga kota.
Kajian oleh teman sejawat, Dr. M. Sani Roychansyah, menunjukkan bahwa dalam
beberapa hal,kampung telah merepresentasikan konsep baru pembangunan kota yaitu
compact city. Baik dari sisi kepadatan penduduk, efisiensi lahan, dan
sarana-prasarananya, kampung telah memenuhi beberapa prinsip compact city. Dari
sisi guna lahannya, pola guna lahan campuran/mixed uses di kampung telah
memberikan alternatif pola guna lahan yang efisien. Percampuran antara guna
lahan perumahan dan bukan perumahan, termasuk untuk berbagai kegiatan komersial
di kampung justru menjamin keberlanjutan kampung dan menciptakan kondisi kota
yang liveable (Roychansyah and Diwangkari, 2009). Lebih dari sekedar
sistem fisik, kampung merupakan sistem sosial yang kompleks dan dinamis. Kampung
dihuni oleh beragam warga kota dengan latar belakang agama, pendapatan,
pendidikan, pekerjaan, etnis, dan bahkan aliran politik. Kampung menjadi semacam
kolase mini warga kota yang memungkinkan mereka untuk terus mengembangkan prinsip-prinsip
keragaman, toleransi, dan kesetiakawanan (Guinness, 1986).
Penelitian Haryadi (1989) juga menunjukkan bahwa warga kampung mempunyai strategi khusus dalam menghadapi berbagai tekanan perkotaan agar terhindar dari tekanan dan ketidaknyamanan. Kampung juga menjadi semacam kawah candradimuka mereka yang miskin, rentan dan terpinggirkan. Migran baru dari pedesaan menjadikan kampung sebagai batu pijakan untuk mengarungi masa depan mereka di lingkungan kota. Dapat dikatakan bahwa seluruh warga miskin kota tinggal dan hidup di kampung. J.B. Mangunwijaya, bahkan mengibaratkan kampung-kampung sebagai ibu, ibu yang merangkul dan menyusui anak-anaknya, khususnya yang miskin, menderita, atau cacat (Mangunwijaya, dalam Laksono, 1994). Mampu tidaknya mereka lepas dari jerat kemiskinan akan sangat tergantung pada kampung yang selama ini menghidupi, memproteksi, dan menjadi harapan mereka. Bahwa sebagian besar warga kota tinggal di kampung, menjelaskan bahwa warga kampung tidak saja merupakan pemangku kepentingan kota yang harus dicukupi aspirasi serta kebutuhannya, warga kampung juga berpotensi menjadi aktor-aktor aktif dalam politik perkotaan. Lebih lanjut, kampung juga merupakan satu sistem ekonomi yang dinamis dan penting. Tidak saja perumahan di kampung menjadi pusat dan ajang berbagai kegiatan produktif penghuninya (home-based enterprises), kampung juga menjadi pendukung kegiatan ekonomi kota. Penelitian saya selama ini menunjukkan bahwa sekitar 80% rumah di kampung dimanfaatkan oleh kegiatan produktif penghuninya (Setiawan, 2000). Penelitian oleh rekan sejawat, Dr. Sudaryono, juga semakin menjelaskan bahwa dalam beberapa hal, kampung terintegrasi dengan sistem kota yang luas, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi (Sastrosasmito, 2009). Fakta-fakta tentang peran kampung di atas menegaskan bahwa membicarakan kota di Indonesia, tidak akan lepas dari kampung. Kota dan kampung seperti koin, satu wujud, dua sisi.
Kota hanya bisa hidup karena kampung kampungnya, sementara kampung juga bisa hidup karena berada di seting kota. Kota di Indonesia adalah kota kampung, rangka atau bangun strukturnya adalah kota, tetapi isi dan jiwanya adalah kampung, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pada saat yang sama tidak dapat dipungkiri bahwa kampung juga sarat dengan berbagai masalah. Kampung umumnya tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Ruang terbuka publik juga merupakan masalah yang menonjol di kampung. Penelitian saya di beberapa kampung di Yogyakarta dan berbagai kota lain menunjukkan bahwa karena tuntutan ekonomi yang semakin besar menyebabkan penduduk kampung semakin melihat ruang sebagai komoditas dan dikomersialkan. Privatisasi dan komersialisasi ruang di kampung telah mengancam ruang terbuka publik yang menjadi tumpuan bernapas dan bersosialisasi warga kampung. Jalan rukunan yang awalnya merupakan representasi jiwa kesetiakawanan dan dedikasi warga kampung, menjadi semakin sempit dan hilang karena digunakan untuk berbagai kepentingan komersial (Leaf dan Setiawan, 2009). Lebih memprihatinkan lagi, telah terjadi tekanan terhadap ruang bermain untuk anak-anak di kampung.
Gang-gang yang selama ini menjadi tumpuan ruang bermain anak-anak semakin sempit, hilang, dan sebagian dijadikan jalur kendaraan sepeda motor sehingga tidak aman bagi anak-anak. Sebagian kampung juga menjadi kantung-kantung warga kota yang tidak sehat, tidak produktif, dan menjadi beban sosial kota. Meskipun secara umum modal sosial di kampung masih kuat, dalam kondisi tertentu, modal sosial ini dapat tergerus, lemah, dan tidak mampu dijadikan dukungan warga kampung yang rentan. Banyak kampung juga menghadapi konflik internal dan tidak mempunyai kepemimpinan lokal yang kuat, sehingga gagal dalam memobilisasi sumber daya sosialnya untuk kepentingan warga kampung. Kondisi ini menyebabkan warga kampung rentan dan menjadi objek eksploitasi sistem ekonomi dan sosial kota yang lebih kuat. Status dan legalitas kampung merupakan persoalan yang pelik dan dilematis. Memang, sebagian kampung dibangun di atas tanah yang tidak jelas kepemilikannya, misalnya tanah negara, tanah di sepanjang bantaran sungai, di kanan-kiri jalur rel kereta api, dan bahkan di kuburan-kuburan Tionghoa. Kampung semacam ini memang dapat disebut ilegal dari aspek tanahnya. Meskipun demikian, sebagian besar kampung dibangun dan dikembangkan atas dasar hak tanah yang jelas, baik bersertifikat maupun tidak. Dalam konteks administrasi pertanahan yang belum mapan di Indonesia, ketiadaan sertifikat tanah di kampung tidak dapat dijadikan alasan bagi pihak lain untuk mengatakannya sebagai ilegal dan tidak sah, dan dengan demikian dapat digusur. Dalam situasi dimana akses terhadap tanah kota yang semakin sulit, baik karena harga tanah yang terlalu tinggi, spekulasi tanah, dan penguasaan serta monopoli tanah oleh mereka yang mampu, pemanfaatan tanah-tanah marginal atau tanah-tanah umum oleh warga kampung yang miskin seharusnya dapat dipahami sebagai upaya survival strategy yang perlu dihargai. Sejauh kita tidak dapat melakukan reformasi tanah perkotaan yang menjamin akses tanah bagi mereka yang miskin dan rentan maka pemanfaatan tanah-tanah umum oleh warga kampung harus dilihat secara lebih proporsional.
Bahwa sebagian besar rumah di kampung dibangun tanpa izin mendirikan bangunan
(IMB), seringkali juga dijadikan alasan bahwa kampung adalah perumahan yang
liar. Dalam kondisi sistem perizinan dan persyaratan yang begitu kompleks,
rumit, dan biaya tinggi, ketiadaan IMB sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat
dijadikan alasan liarnya kampung. Bahwa sebagian rumah di kampung tidak
dibangun dengan standar bangunan yang ada juga tidak sepenuhnya dapat dijadikan
alasan bahwa kampung merupakan perumahan kumuh dan liar. Harus dipahami bahwa
warga kampung seringkali mempunyai pertimbangan sendiri dalam membangun
rumahnya, sementara standar bangunan yang ada seringkali tidak sesuai dengan
kebutuhan dan preferensi warga kampung. Berbagai ilustrasi persoalan kampung
sebagaimana diuraikan di atas dapat terjadi antara lain karena pandangan,
kebijakan, serta program yang tidak sesuai terhadap kampung. Meskipun program perbaikan
kampung telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda
melalui Kampung Verbrechting (Silas, 1996) dan kemudian dilanjutkan oleh
pemerintah Indonesia melalui Kampung Improvement Program/KIP,
program-program tersebut didasarkan pada pandangan yang cenderung negatif
terhadap kampung. Sebagaimana dikatakan oleh Silas (1989), program perbaikan
kampung pada zaman kolonial Belanda lebih ditujukan untuk kepentingan penguasa
dan warga pendudukan Belanda yang khawatir lingkunganya akan tercemar oleh wabah
penyakit dari kampung-kampung kumuh di sekitarnya. Setelah kemerdekaan, KIP
mulai lagi dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 1969 di berbagai kota di Indonesia.
Program ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas fisik kampung, tetapi
tidak menjamin peningkatan kualitas sosial dan ekonomi penghuninya (Silas,
1996; Taylor, 1989). Hal ini disebabkan karena orientasi KIP waktu itu hanya
pada peningkatan kualitas fisik dan sarana-prasarana saja. Setelah itu, KIP
diperbaiki konsepnya, yakni denganmengintegrasikan dimensi fisik, ekonomi, dan
sosial kampung.
Konsep ini dikenal dengan tribina, yang kemudian diubah menjadi tridaya, yaitu daya lingkungan, daya ekonomi, dan daya sosial. Dalam perkembangannya, khususnya setelah krisis ekonomi pada tahun 1998, diluncurkan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan/P2KP yang ditujukan untuk mengentaskan warga miskin di kampung-kampung kota. Program ini kemudian diintegrasikan dalam program pengentasan kemiskinan yang lebih komprehensif, yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM. Beberapa kelurahan yang telah mendapat program P2KP kemudian difasilitasi dengan apa yang dikenal dengan Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas/PLP-BK. Pada saat yang sama, khusus yang menyangkut kawasan kumuh, pemerintah melalui Kementrian Pekerjaan Umum/PU juga mengembangkan program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project/NUSSP. Program ini berorientasi pada pengembangan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam bidang perumahan. Lebih lanjut, melalui Kementrian Perumahan Rakyat dan Kementrian Pekerjaan Umum pemerintah juga meluncurkan program Rumah Susun Milik/Rusunami dan Rumah Susun Sewa/Rusunawa dengan target sekitar 350.000 unit. Sampai tahun 2010 ini baru dapat dibangun sebanyak 12.672 unit (Kementrian Perumahan Rakyat, 2010).
Berbagai program sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa pemerintah
telah cukup banyak meluncurkan berbagai program untuk kampung. Mengapa berbagai
program tersebut belum mampu menjawab persoalan kota dan kampung? Paling tidak
terdapat empat penjelasan mengapa berbagai program tersebut belum sepenuhnya berhasil
dan bermanfaat. Pertama, harus dipahami bahwa skala dan cakupan persoalannya
begitu besar dan kompleks. Ribuan kampung di Indonesia menghadapi persoalan dan
tantangan yang tidak ringan. Dengan demikian, diperlukan kemauan politik,
sumber daya, dan energi yang luar biasa untuk menangani mega persoalan ini.
Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, diperlukan komitmen yang kuat
dan konsisten dari para kepala daerah, khususnya walikota, untuk terus
mendukung dan menjamin perbaikan kampung dan kotanya. Kedua, hampir
semua program perbaikan kampung dan kota terjebak dalam pendekatan proyek yang
cenderung mereduksi makna dan esensi program itu sendiri. Pendekatan proyek ini
menyebabkan berbagai program dilakukan secara tergesa-gesa, mengejar batas
akhir administrasi proyek, dan tidak berkelanjutan. Ketiga,
program-program perbaikan kampung dan perumahan juga cenderung terkotak-kotak
dan melihat isu kampung dan perumahan secara myopik/sempit dan tidak
mengaitkan dengan isu-isu pembangunan perkotaan yang lebih luas.
Sebagaimana telah diuraikan, eksistensi kampung tidak terlepas dari konteks lingkungan kota yang lebih luas. Perbaikan kampung, dengan demikian, harus disinergikan dengan program-program pembangunan dan peremajaan kota. Diperlukan kejelian untuk mencari ruang dan media yang memungkinkan integrasi dan sinergi antar kampung dan kota, antara dimensi formal dan informal, warga dan pemerintah. Keempat, berbagai program dan strategi perbaikan kampung yang selama ini diluncurkan masih didasarkan atas pandangan yang cenderung stereotip dan negatif terhadap kampung. Kampung masih dipotret dan dipandang sebagai bagian kota yang elementer atau temporer. Program-program perbaikan kampung dengan demikian, cenderung masih dirancang sebagai program temporer dan tempelan yang bersifat sementara, sekedar untuk merespons persoalan sementara saat ini.
sumber : http://mgb.ugm.ac.id