Ruang Sosial di Suromulyo

Kampung Suromulyo, kampung yang cukup berbeda dengan kampung-kampung lainnya. Penuh sejarah, penuh budaya, dan penuh keunikan. Salah satu pendukung pernyataan tersebut adalah adanya bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang masih tetap berdiri di wilayah kampung. Dulu, bangunan-bangunan tersebut masih digunakan oleh Keraton Kasunan Surakarta. Namun, saat ini hanya tinggal cerita, karena sudah tidak ada lagi aktivitas-aktivitas yang mengisi dan menghidupkan bangunan-bangunan tersebut. Mungkin penyebabnya adalah seiring dengan tumbuhnya permukiman warga kampung di lingkungan  sekitar bangunan tersebut.

Pabrik batik, merupakan salah satu bangunan yang disebutkan diatas. Dulu pabrik ini merupakan salah satu usaha Keraton Kasunan. Para pegawainya adalah orang-orang yang masih keturunan Keraton Kasunan, bukan abdi dalem yang bekerja untuk Keraton. Usaha pabrik ini berupa batik tulis, dengan mengandalkan canting untuk membatiknya. Proses produksi batik tulis pabrik ini ternyata tidak hanya di dalam bangunan saja, setelah tahap ‘godog kain’, tahap ‘kumbah kain’ selanjutnya dilakukan di sumur ‘lor’. Sekarang sumur tersebut dipakai oleh salah seorang warga kampung.

Waktu terus begulir, usaha pabrik batik tersebut ternyata tidak bisa memberikan harapan  besar, dan tibalah masa kebangkrutan untuk pabrik itu. Setelah kejadian itu, terdapat seorang abdi dalem yang bertugas menjaga bangunan pabrik tersebut setiap malam, pintu gerbang masuk kampung dipastikan tertutup saat malam hari. Ini mungkin dilakukan untuk menjaga sisa-sisa barang pabrik batik tersebut. Namun penjagaan tersebut berhenti saat tidak ada yang melanjutkan kegiatan seorang abdi dalem tersebut. Ketidakberadaan penjagaan, ternyata memunculkan sesuatu yang baru di bangunan pabrik tersebut. Bangunan yang telah tidak ada aktivitas-aktivitas pabrik, lalu salah satu bagian ruang dari pabrik tersebut sering dijadikan tempat untuk bermain pimpong oleh warga kampung. Warga masuk melalui salah satu pintu di sebelah utara. Kondisi ruangannya gelap, hanya mengandalkan pencahayaan siang hari dari luar ruangan.

Permainan pimpong ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh warga kampung sekitar. Akan tetapi hingga memunculkan sebuah turnamen pimpong se-kelurahan Baluwarti. Ini menunjukkan betapa berharganya suatu ruang untuk diisi dengan kegiatan oleh warga kampung demi menghidupkan interaksi yang ada. Namun hal tersebut merupakan hal yang telah lama terjadi. Bisa dibilang sudah sejak dulu sekali.

Saat ini adalah waktu yang telah amat lama dari cerita-cerita yang terpapar di atas. Tidak ada yang tahu isi bangunan pabrik batik itu sekarang. Entah kayu-kayu, alat-alat membatik, atau kain-kain, sepertinya warga kampung sudah tidak ada yang mempedulikannya lagi. Meski bangunan ini masih tetap berdiri, namun kondisi fisiknya sangat memrihatinkan, karena tidak terawat.  Walaupun begitu, pabrik batik ini meninggalkan sebuah cerita berharga bagi para warga kampung. Kedekatan lokasi kampung dengan Keraton Kasunan ternyata cukup memberikan sumbangsih kisah-kisah masa lampau di kampung ini, pabrik batik ini mungkin hanya merupakan sepenggal kisahnya.

 

 


 

Ruang Sosial : Sekitar 3 tahun lalu, kampung Sasonomulyo ini membuat pendapha bernama Sonopuspobudoyo. Secara kosmologi Jawa, nama Sono berarti tempat, Puspo berarti bunga, dan Budoyo berarti budaya. Maka Sonopuspobudoyo berarti tempat untuk membudayakan bunga (para penari). Sonopuspobudoyo diambil dari nama sanggar tari, seperti yang diktakan Pak Teguh:

“Sanggar tari di sini bernama Sonopusobudoyo. Sono yang berarti tempat, puspo adalah bunga yang baru mekar, yang dimaksud adalah anak muda yang berlatih tari, dan budaya yang berarti budaya.”

Ruang-ruang kehidupan masyarakat berupa interaksi sosial, pertemuan warga, maupun kegiatan seni budaya sering dilakukan di Penapha Sasonomulyo. Pendapha yang terdapat di kampung Suronatan ini menjadi ruang publik warga kampung. Mulai dari tempat bermain anak, ibu-ibu yang menyuapi anaknya, tempat latihan menari, acara 17-an, Halal bi Halal, sampai pentas pertunjukan tari warga kampung.

Setiap pagi, Pendapha Sanapuspabudaya sering digunakan ibu-ibu untuk menyuapi anaknya sambil ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu lainnya. Rutinitas ini dijalani setiap hari. Siang harinya, suasana pendapa terbilang sepi karena warga kampung Suromulyo menjalani aktivitas sehari-harinya seperti berdagang, mengurus Keraton, mengajar, sampai menarik becak. Sore harinya, pendapha biasanya digunakan untuk waktu santai anak-anak bermain. Dan setiap hari Selasa dengan Kamis digunakan untuk latihan menari.

Kampung Suromulyo (Suronatan dan Sasonomulyo) yang merupakan bagian dari Baluwarti yang dicanangkan sebagai kampung budaya ini mempunyai beberapa elemen kecil tentang budaya. Di antaranya seperti karawitan, seni tari, kuliner, busana batik, musik (terbangan), atau kesenian yang kental dengan kebudayaan Jawa.

Dahulu kala, kampung Sasonomulyo terkenal dengan penjual pecelnya, namun karena sang penjual pecel meninggal dan tidak ada penerusnya, lambat laun label kampung pecel dari Sasonomulyo kian memudar. Seperti yang dikisahkan oleh Pak Tri sebagai warga kampung Suromulyo

Sebenarnya dulu di Sasonomulyo terkenal dengan penjual pecel, sampai terkenal dengan kampung pecel. Tapi karena penjual pecelnya sudah meninggal dan tidak ada penerusnya, maka pudarlah sebutan kampung pecel di Sasonomulyo. Sekarang kegiatan kuliner tersebut diganti dengan pelatihan pembuatan kue kering yang biasanya ramai pemesanan
ketika menjelang lebaran.

Kebudayaan yang menonjol dan sampai sekarang masih ada keberadannya adalah kesenian tari. Biasanya, anak-anak yang tinggal di Sasonomulyo ikut melibatkan diri dalam kesenian tari, artinya tidak ada paksaan untuk mengikuti kesenian tari ini. Namun ada juga yang tidak berasal dari Kampung Suromulyo, seperti yang dipaparkan Pak Teguh warga Kampung Sasonomulyo berikut:

Yang berlatih di sini berasal dari anak-anak sekitar Sasonomulyo dan Suranatan. Tapi kebanyakan berasal dari luar Keraton seperti Jayenganm Gading, Serengan, dan lainnya. Biasanya berumur sekitar sekolah TK hingga yang paling tua itu anak SMA kelas 1 dan kelas 2.

Sanggar tari ini rutin melakukan latihan setiap hari Selasa dan Kamis pada pukul 15.00-17.00. Siswa di sanggar ini dilatih untuk menari tarian Jawa (Surakarta pada khususnya), Sunda, dan tarian Bali. Pelatih tari sendiri biasanya berasal dari Keraton, seperti yang dijelaskan:

“Pelatih tari berasal dari dalam Keraton sendiri tetapi juga ada yang berasal dari luar. Seperti saya, dulu saya melatih anak-anak yang usianya masih TK, tetapi sekarang saya melatih anak laki-laki yang dewasa.
 Saya itu melatih saat penari akan pentas di Keraton atau
ketika akan tampil di festival Keraton nusantara.”

Ada beberapa jenis tarian di kampung Sasonomulyo, seperti tari golek atau tari yang sudah ajeg dan drama tari yang secara konsep, kostum dan jalan cerita mereka yang membuat sendiri. Intensitas pementasan penari di sanggar ini terbilang sering, seperti di Sriwedari. Atau jika sedang ada acara Keraton diminta untuk pentas untuk menyambut para tamu Keraton. Selain di lingkup Kota Surakarta, sanggar tari ini juga sudah pernah pentas di luar kota seperti Jakarta.

Selain untuk pementasan tari, pendapha ini juga digunakan untuk tempat pertemuan PKK. Setiap bulan Agustus juga Kampung Suromulyo memeriahkan acara kemerdekaan Indonesia dengan mengadakan lomba 17-an di Pendapaha Sanapuspabudaya.  Acara yang tidak kalah sakralnya adalah setiap Idul Fitri. Warga kampung Suromulyo berkumpul di Pendapha Sanapuspabudaya untuk halal bi halal. Dengan demikian, Pendapha Sanapuspabudaya bisa dikatakan sebagai ruang publik warga kampung Suromulyo dengan berbagai dinamika kehidupannya. Dari mulai tempat ngobrol, bermain, sampai pementasan. Dalam proses integrasinya, kampung selalu bergerak lentur sesuai iramanya. Pendapha Sanapuspabudaya menjadi poros kehidupan warga kampung Suromulyo.

Saya sudah cukup lama tinggal di sini. Dan saya sudah cukup mengenal kehidupan yang ada di Kampung Suromulyo. Saya berharap kehidupan di Kampung Suromulyo saat ini dan ke depannya lebih nyaman untuk seluruh warganya. Walaupun kondisi fisik bangunan di kampung kami jauh dari kata mewah namun hidup rukun lebih baik dari itu. Dapat diselenggarakannya kegiatan yang dapat mempererat dan membingkai hubungan antarwarga Kampung Suronatan dan Kampung Sasonomulyo, mulai dari anak kecil hingga sesepuh yang ada di kedua kampung tersebut. Dan semoga kegiatan kesenian yang ada di kampung Suromulyo dapat lebih ditingkatkan. Karena selain dapat menjaga dan melestarikan kebudayaan tradisional, kegiatan ini pula dapat menjadi unggulan Kampung Suromulyo di kota Surakarta.

 

Bagian III:
Alfariani Pratiwi, Muh. Iqbal, Reza Eka P., Riris Rachmawati,                               
Woro Aryatika, Irqas Aditya Herlambang, Gunawan Wibisono

Berita Terkait