Dari Kampung Memandang Kota
Ada banyak kajian perkotaan di Indonesia dengan perspektif antropologis. Oleh sebab itu, dalam bukunya Ramdhon memilih pendekatan sosiologi klasik. Merayakan Negara Mematrikan Tradisi: Narasi Perubahan Kampung-Kota di Surakarta sekaligus sebagai lanjutan kajian perkotaan Ramdhon terdahulu, yakni Pudarnya Kauman: Studi Perubahan Sosial Masyarakat Islam Tradisional di Surakarta (2002). Tidak berhenti di kampung Kauman, Ramdhon turut mengkaji Baluwarti dan Laweyan sebagai kampung yang berkontribusi mendefinisikan identitas kota Surakarta.
Surakarta, atau yang lebih beken disebut Solo dan diimbuhi Spirit of Java, adalah salah satu kota di Indonesia yang kini tumbuh membabi-buta. Telaah sosiologis yang ditulis Ramdhon merekam betapa angkuh modernisasi mengubah Surakarta tanpa arah. Surakarta awalnya eksis sebagai wilayah yang bertonggak pada keraton, namun kini keraton tinggal nostalgia. “Keraton Surakarta... tak lagi menjadi orientasi bagi tata nilai dan tata perilaku masyarakat luas. Kekuasaan keraton eksis melalui penyelenggaraan beragam ritual kebudayaan semata.” (hlm. 68).
Surakarta berubah untuk merayakan negara. Kota ini membiarkan dirinya dilepas dari otoritas tradisi yang dipegang keraton, lantas bersimpuh pada otoritas administratif modern. Surakarta tak menjelma daerah istimewa, berbeda dengan Yogyakarta, meski keduanya berakar pada keraton. Bahkan, di Surakarta, “beberapa figur dari lingkungan keraton kini menjadi bagian dari sistem politik modern, yakni sistem kepartaian dan perwakilan di lembaga legislatif.” (hlm. 96).
Meski hanya mengambil sampel tiga kampung saja sebagai narasi, secara umum gejolak pertumbuhan dan perubahan kota lugas tersampaikan. Baluwarti, Kauman, dan Laweyan, merupakan titik penting dalam mendefinisikan Surakarta sejak awal mulanya. Baluwarti menarasikan kekuasaan keraton, Kauman menarasikan formalisme agama, dan Laweyan menarasikan aktivitas ekonomi yang masyhur dengan perdagangan batik tersebut. Mengapa Ramdhon mesti lebih dulu menjelajah kampung untuk menarasikan kota?
Kehidupan kota ditopang oleh kampung-kampung berserakan di tiap sudutnya. Kampung memang berserakan, tak serapi penataan hotel, mall, dan apartemen mewah yang berjajar-jajar itu. Kampung dibentuk dengan jejak-jejak sejarah dan konstruksinya memanjang ke belakang. Sedangkan kota justru berubah demi kepentingan ekonomis.
Logika ekonomi modern pula yang mengakomodasi keberadaan tradisi sekadar potensi pariwisata. Tradisi yang mengakar jauh ke belakang tersebut, kini semata instrumen dalam menggerakkan geliat ekonomi dan dinamika kota. Tak ada pilihan lain, “hanya dalam negosiasi seperti ini tradisi memperoleh kesempatan untuk lestari.” (hlm. 212) Begitulah Surakarta, bagaimana dengan kota lain? Ah, dendang Silampukau terdengar lagi: waktu memang jahanam, kota kelewat kejam.
Udji Kayang Aditya Supriyanto
Sosiologi FISIP UNS | Rubrik Buku Koran Tempo, 12 Maret 2016
Sosiologi FISIP UNS | Rubrik Buku Koran Tempo, 12 Maret 2016