Kampung Kota Dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota Di Indonesia #2

Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA., Ph.D.

3. Apakah Kampung Mempunyai Masa Depan?

Dalam perspektif kampung yang penuh peran sekaligus persoalan sebagaimana dikemukakan diatas muncul pertanyaan yang harus dijawab: Apakah kampung mempunyai masa depan? Apakah kampung sekedar merupakan solusi temporer terhadap persoalan perumahan kota di Indonesia? Atau sebaliknya, apakah kampung akan menjadi bagian penting dan menentukan masa depan kota di Indonesia? Dari sudut pandang yang melihat kemajuan, modernitas, dan pembangunan sebagai satu proyek yang linear dengan standar Barat, maka masa depan kota di Indonesia akan dipotret dan diproyeksikan sebagaimana kota-kota di negara barat. Kota masa depan adalah kota yang teratur dan tertata rapi struktur ruang dan pola tata guna lahannya, tidak campuran, dikontrol dengan zoning regulations yang kaku dan ketat. Kota yang baik juga harus dilengkapi dengan boulevard-boulevard, serta taman-taman kota yang cantik dan megah, sebagaimana idealisasi yang ditawarkan oleh konsep Garden City-nya Ebenezer Howard.Apabila perspektif di atas yang menjadi pilihan, maka kampung tidak akan mendapat tempat dalam perdebatan kota di Indonesia di masa depan. Keberadaan kampung, kalaulah masih ditoleransi, akan dilihat sebagai sesuatu yang temporer, satu keterpaksaan, dan bahkan kondisiketerbelakangan yang harus diubah, dihilangkan, diancam, atau digusur, karena kampung tidak mencerminkan idealisasi kota modern yang kita inginkan. Penanganan dan perbaikan terhadap kampung, dengan demikian, tidak harus bersifat menyeluruh dan permanen, agar kampung tetap menjadi bagian elementer dan temporer kota, sebagai cadangan lahan kota yang murah untuk proyek-proyek komersial pembangunan kota.


Pandangan semacam ini, jelas mereduksi makna, peran, dan posisi kampung bagi kota-kota di Indonesia. Lebih lanjut, pandangan ini juga mengesampingkan inovasi dan pilihan-pilihan manusia merdeka untuk membentuk masa depan mereka dengan mandiri dan bermartabat. Memang, tidak semua warga kampung akan terus tinggal dan hidup di kampung. Kampung juga tidak akan menjadi satu-satunya alternatif masa depan kota di Indonesia. Sebagian kampung mungkin berada dalam kondisi yang buruk, mengenaskan dan bahkan despair. Sesuai tantangan dan potensinya, kampung akan mengalami transformasi, baik untuk menjawab tantangan eksternal maupun kebutuhan dan perkembangan aspirasi warganya. Meskipun  demikian, kampung harus diberi kesempatan untuk berkembang dan berperan mengisi dan membentuk masa depan kota di Indonesia. Keragaman, kekhasan, dan kegigihan warga kampung apabila mendapat kesempatan dan dukungan akan menentukan kekhasan dan bahkan jiwa kota-kota di Indonesia, karena sejarah juga telah mencatat bahwa kampung merupakan bagian integral kota di Indonesia (Sullivan, 1980; Wertheim, 1958). Karena proses perkembangan kota masih akan terus terjadi, maka masih ada kesempatan untuk memberi wujud dan makna kehidupan perkotaan yang lebih baik dan khas Indonesia. Selama ini banyak orang melihat bahwa masa depan kampung akan sangat tergantung pada masa depan kota. Pandangan ini perlu diubah, karena masa depan kota di Indonesia akan sangat tergantung dari kampung-kampungnya.

4. Mengantarkan Kampung Menjadi Masa Depan Kota Indonesia: Perencanaan Kota yang Memihak Kampung


Diperlukan paling tidak empat strategi untuk mengantarkan kampung menjadi bagian penting masa depan kota di Indonesia. Pertama, perlunya perubahan pemahaman tentang kompleksitas dan dinamika kampung. Pemahaman dan pendekatan penanganan kampung yang terkotak-kotak dan parsial harus ditinggalkan. Program-program perbaikan kampung harus dilakukan secara holistik yang melihat kampung sebagai satu sistem fisik, sosial, ekonomi, dan politik kota yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, mengantarkan kampung menjadi bagian penting masa depankota di Indonesia berarti memperkuat integrasi kampung dalam sistem kota yang lebih kompleks. Integrasi ini mutlak untuk mematahkan pandangan-pandangan dikotomik mengenai kampung dan kota, informal dan formal, legal dan ilegal, sah dan tidak sah. Mengintegrasikan kampung dalam sistem kota berarti mengakui dan menjamin hak kampung sebagai bagian sah dari kota. Pengakuan ini tidak selalu harus berbentuk pengakuan legal formal, yang lebih penting adalah rekognisi atas hak dan eksistensi kampung. Dalam konteks tanah, misalnya, pengakuan legal ini tidak selalu harus dalam bentuk sertifikasi tanah bagi warga kampung, tetapi lebih pada pengakuan dan jaminan keamanan atas tanah bagi mereka. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa upaya-upaya formalisasi dan legalisasi perumahan informal tidak selalu positif dan membawa manfaat bagi warga kampung. Penelitian saya dan Daniel Garr di kampung Blimbingsari dan di kampung-kampung sepanjang sungai Code, Yogyakarta juga menegaskan bahwa formalisasi dan legalisasi tanah tidak selalu signifikan menjamin konsolidasi perumahan (Setiawan, 2001; Garr, 1996).

Pada saat yang sama integrasi ini juga harus diupayakan secara internal dalam sistem kampung itu sendiri. Secara fisik/lingkungan, integrasi ini perlu dilakukan untuk menjamin kualitas fisik dan lingkungan yang lebih baik. Sistem jaringan dan penyediaan air bersih, yang selama ini disediakan oleh warga kampung secara mandiri, dapat dikaitkan dengan sistem jaringan air bersih kota yang lebih baik dan terjangkau. Sistem pengelolaan sampah yang juga mandiri di kampung dapat diintegrasikan dengan sistem pengelolaan sampah dalam kota sehingga menjadi lebih efisien dan terjangkau. Sistem sanitasi yang tidak jelas di kampung, juga dapat diintegrasikan dalam sistem sanitasi kota yang lebih menjamin kesehatan penduduk kampung dan kota. Secara ekonomi, banyak peluang untuk lebih mengintegrasikan sistem ekonomi kampung dalam sistem ekonomi kota yang lebih luas. Sebagaimana telah ditunjukkan di kawasan Malioboro, Yogyakarta, kampung-kampung di kawasan ini telah menjadi wadah bagi para mereka yang ikut menggerakkan kegiatan ekonomi kawasan ini. Kampung Sosrowijayan, misalnya, juga merupakan pusat kegiatan ekonomi yang produktif dengan menjadi kampung wisata yang mendukung kota wisata Yogyakarta. Apapun bentuk dan medianya, integrasi ini harus didasariatas prinsip kesetaraan dan kemitraan. Integrasi kampung dalam sistem kota yang lebih luas tidak boleh didasari atas pandangan bahwa kota lebih kuat, dominan, dan penting dari pada kampung.

Selama ini, sebagian elemen kampung memang telah terintegrasikan dalam sistem kota, akantetapi integrasi ini tidak seimbang dan bahkan cenderung eksploitatif. Pengakuan atas eksistensi kampung jangan dijadikan alat untuk meneruskan proses eksploitasi yang menjadikan warga kampung harus mengorbankan sumber daya dan martabatnya untuk menjamin kepentingan dan kemapanan sebagian warga kota lain. Ketiga, upaya-upaya integrasi juga menuntut kemampuan dan kekuatan warga kampung untuk bermitra secara setara dengan kekuatan eksternal di luar kampung, baik pemerintah kota maupun aktor-aktor kota lainnya. Tanpa penguatan warga kampung untuk bermitra dan berintegrasi dengan sistem kota yang lebih luas dapat membawa mereka pada integrasi semu bahkan eksploitatif. Penelitian saya selama ini menunjukkan bahwa diperlukan kapasitas pemimpin kampung untuk mampu mengembangkan jaringan dengan pihak-pihak di luar kampung, hanya kampung yang mempunyai pemimpin yang dapat membangun jaringan yang kuat dan setara dengan pihak luarlah yang mampu memproteksi dan menjamin masa depan kampungnya. Peran serta dan keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan kota telah dibuka secara luasdan dijaminsecara konstitusional. Dalam situasi politik kota yang dinamis, kompleks, dan penuh pertentangan kepentingan, di mana kekuatan kapital cenderung dominan, hak dan peran serta warga kota ini tidak begitu saja didapatkan begitu saja tetapi hak ini haruslah diperjuangkan dan bahkan direbut. Diperlukan penguatan kapasitas sosial dan politik warga kampung agar mampu membela dan memperjuangkan hak mereka dan dengan demikian dapat melakukan integrasi dengan sistem kota yang lebih luas dengan kesetaraan, kebanggaan, dan martabat.


Reformasi dan penguatan kapasitas sosial dan politik warga kampung ini memerlukan pendampingan, dukungan, dan bahkan perlindungan. Hal ini diperlukan karena sejarah kampung yang selalu dimarjinalkan, dipinggirkan, dan ditekan. Mengantarkan kampung menjadi masa depan kota Indonesia berarti memberi kesempatan sekaligus menjamin agar kampung dapat lebih mandiri, kuat, dan bermartabat. Penting dijamin bagaimana warga kampung terorganisasi dalam asosiasi-asosiasi warga kota yang aktif dan inovatif yang mampu memberikan terobosan-terobosan dalam pembangunan kota. Keempat, karena masa depan kota di Indonesia sangat tergantung pada kampung maka diperlukan perubahan orientasi perencanaan dan pembangunan kota. Perencanaan kota di Indonesia selama ini kurang mengintegrasikan kampung dalam sistem kota, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi. Tidak ada dokumen rencana kota yang memuat kampung dalam peta-peta tata ruangnya. Kampung telah direduksi menjadi salah satu wujud land use dua dimensi yang tidak menjelaskan kompleksitas dan kedalaman makna kampung. Sebagian dokumen rencana kota bahkan menandai kampung sebagai kawasan kumuh kota yang harus digusur atau dihapuskan dari peta rencana kota.

Ke depan, perencanaan kota di Indonesia harus melihat dan memperlakukan kampung sebagai bagian integral kota. Peta-peta rencana kota harus secara rinci dan jelas memuat kampung-kampung yang ada. Dokumen-dokumen rencana dan pembangunan kota juga seharusnya berkisah dan menjelaskan tentang kampung kampung yang ada, sejarah, posisi, dan kontribusinya terhadap kota. Dokumen ini menjadi penting, tidak saja untuk menunjukkan pentingnya peran kampung dalam sistem kota, tetapi juga untuk menjamin bahwa kampung tidak dihilangkan dari sistem perencanaan serta pembangunan kota. Dalam konteks pembangunan kota yang sangat dikontrol oleh pasar dan kapital, perencana kota harus berani memihak, mendampingi, dan bahkan memproteksi kampung. Mendampingi dan memproteksi kampung berarti membantu mereka yang miskin dan rentan untuk menjamin apa yang dikatakan Friedmann (1992) sebagai defensible life space atau ruang kehidupan yang dapat dipertahankan. Defensible life space ini sangat berarti bagi mereka yang miskin dan rentan, karena merupakan satu dari delapan elemen kekuatan sosial yang memungkinkan mereka lepas dari jerat kemiskinan. Apa yang dilakukan Romo Mangunwijaya dengan mendampingi komunitas di bawah jembatan Gondo Layu, Yogyakarta, adalah menjamin defensible life space, dan terbukti, hal ini membantu mengantarkan mereka yang miskin dan rentan untuk lepas dari jerat kemiskinannya (Khudori, 2002).


Perencanaan kota bukanlah kegiatan teknokratik dan teknis semata yang bebas nilai dan kepentingan. Perencanaan kota merupakan proses yang sarat dengan benturan, konflik, negosiasi, dan mungkin konsesi antar berbagai aktor dalam kota. Dalam situasi ini, perencanakota harus berani memilih, pada pihak mana mereka akan bekerja. Bahwa sebagian besar warga kota berada pada posisi yang rentan, kalah, dan terpinggirkan, telah memberikanarah ke mana perencanaan kota harus bekerja. Sebagaimana dikatakan oleh Friedmann (2002), perencana harus mengedepankan proses-proses penguatan asosiasi warga. Penguatan asosiasi warga kota ini diperlukan agar mereka siap dan mampu bermain untuk membela aspirasi dan kepentingan mereka dan tidak terlindas oleh kepentingan kapital dan penguasa kota. Keempat strategi di atas, hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh perubahan orientasi pendidikan dan penelitian perencanaan kota. Selama ini, orientasi perencana kota yang terlalu bias ke aspek fisik disebabkan oleh sistem pendidikan perencanaan yang cenderung terjebak dalam pola pendidikan perencanaan yang mengedepankan pendekatan teknokratis, rasional, dan kurang cukup memberi ruang untuk mendiskusikan aliran-aliran perencanaan alternatif seperti perencanaan partisipatif, pemberdayaan, dan perencanaan advokasi. Akibatnya, mahasiswa lulusan sekolah perencanaan di Indonesia cenderung menjadi calon-calon teknokrat atau bahkan teknisi, yang mungkin terampil melakukan analisis-analisis rasional yang canggih, tetapi kurang mampu menangkap aspirasi dan energi masyarakat kota. Jiwa, arah, dan praktek pendidikan perencanaan harus diubah agar memungkinkan mahasiswa memahami persoalan sesungguhnya kota-kota di Indonesia, termasuk persoalan kemiskinan, pemberdayaan, dan pendampingan. Pendidikan perencanaan seharusnya tidak hanya menghasilkan lulusan yang mengisi kursi-kursi birokrasi yang cenderung business as usual, tetapi harus mengisi kebutuhan untuk dapat mendampingi mereka yang miskin dan rentan.

Penelitian bidang perencanaan kota juga harus menjadikan kampung sebagai salah satu agendanya. Selama ini, penelitian tentang kampung kota telah dilakukan, meskipun demikian, orientasi penelitian tentang kampung yang selama ini masih terbatas pada aspek-aspek fisik perlu diperluas dengan isu-isu pemberdayaan dan politik kota. Isu-isu integrasi antara dimensi informal dan formal kampung perlu mendapat perhatian untuk menjawab bagaimana posisi kampung tidak terus menerus menjadi marginal dan terpinggirkan.
Kampung sesungguhnya dapat dilihat sebagai satu organisme yang hidup, tumbuh, dan berkembang. Penelitan tentang kampung seyogianya melihat proses perkembangan kampung secara menerus, dari waktu ke waktu. Kegagalan atau keberhasilan warga kampung untuk memperbaiki dan mengembangkan kampungnya merupakan khasanah konsep dan teori yang berharga serta perlu dipahami dan direplikasi warga kampung lain. Institusi pendidikan dan penelitian perlu membina hubungan dengan kampung sebagai mitra belajar bersama, laboratorium hidup yang secara seksama dan konsisten mendampingi dan belajar dari kegagalan dan keberhasilan perjuangan warga kampung.


DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2009. Proyeksi Penduduk Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. | Friedmann, J. 2002. The Prospect of Cities. London: University of Minnesota Press. |Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politic of Alternative Development. Oxford: Blackwell. | Garr, D.J. 1996. Expectative Land Rights, House Consolidation and Cemetery | Squatting: Some Perspectives from Central Java, World Development, Vol. 24. No.12., pp 1925-1933. | Guinnes, P. 1986. Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung. A Publication of The Asian Studies| Association of Australia. Singapore: Oxford University Press. | Haryadi, 1989. Residents Strategies for Coping with Environmental Pressures: Relation to House-Settlement Systems in a Yogyakarta Kampung, Indonesia. Disertasi doktor tidak dipublikasikan. The University of Wiscousin-Milwaukee. |Kementrian Perumahan Rakyat. 2010. Rencana Strategis Kementrian Perumahan Rakyat Tahun 2010-2014. | Khudori, D. 2002. Menuju Kampung Pemerdekaan: Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya. Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code. Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat. | Laksono, P.M. 1994. Ruang Publik Kota Yogyakarta: Kasus Malioboro. Makalah tidak dipublikasikan, disampaikan di Seminar 31 tahun KMTA Wiswakharman, Jurusan Teknik Arsitektur FT UGM. | Leaf, M. and B. Setiawan. 2009. Kampung Spaces and The Future of Indonesia Urbanism: Reflections from Jogjakarta, dalam The Politics of Civic Spaces in Asia: Building Urban Communities. Routledge Contemporary Asia Series. | Palmer J. and Patton, C. 1988. Evolution of Third World Shelter Policies dalam Spontaneous Shelter. International Perspectives and Prospect. Philadelphia: Temple University Press. | Roychansyah, M.S and Diwangkari, A. 2009. Kampung Oriented Development Model: A Rapid Appraisal of Local Communities. Dalam Santosa dkk. (ed) Sustainable Slum Upgrading in Urban Area. Published by Unit of Research and Empowerment of Housing and HumanSettlements Resources PIPW LPPM UNS.
| Setiawan, B. 2002. Community Struggle for Housing in Indonesia City: Collective Efforts, Networks, and Access to Resources. Sustainable Livelihoods in the Integration of Informal Settlements in Asia, Latin America and Africa. Surabaya : UPT ITS Press, First Edition, 2002. ISBN : 979-95803-8-2. | Setiawan, B. 2001. Organized Land Invasion and Social Mobilization in a Chinese Cemetery: Javanese Style. Abstracts Planning for Cities in the Cities in the 21st Century : Opportunities and  Challenges. World Planning Schools Congress, Shanghai, China. July 11-15, 2001. | Setiawan, B. 2000. Survival Strategy by the Poor in Yogyakarta, Indonesia; The Importance of Social Capital in Globalization and the Asian Economic Crisis. Edited by Geoffrey, B. Hainsworth. Vancouver: Centre for Southeast Asian Research, the University of British Columbia. | Silas, J. 1996. Kampung Surabaya: Menuju Metropolitan. Surabaya: Penerbit Yayasan Keluarga Bhakti. | Sastrosasmito, S. 2009. Compact Kampungs: Formal and Informal Integration in The Context of Urban Settlements of Yogyakarta, Indonesia. Journal of Habitat Engineering, Vol. 1, Number 1. | Sullivan, J. 1980. Back Alley Neighbourhood: Kampung as Urban

sumber : http://mgb.ugm.ac.id 

 

 

 

Berita Terkait