Solo, Keroncong dan Kenangan #1

Perkembangan keroncong sebelum kemerdekaan, Keroncong Pada Masa Kolonial Belanda (1920-1942). Perkembangan musik keroncong di Surakarta mendapat tempat yang Istimewa dan semakin kuat citra Surakarta menguasai keroncong Indonesia (Japi Tambayong, 1992:307). Awal kemunculan musik keroncong berkembang di Ibukota Indonesia, Jakarta. Musik keroncong memang berasal dari Budaya asing tetapi bisa menjadi sepenuhnya musik Indonesia dengan memasukan unsur-unsur kuat dari musik Indonesia asli. Proses “Indonesianisasi” ini membutuhkan waktu ratusan tahun, tapi dlam kasus keroncong, proses ini memakan waktu lebih banyak karena keroncong tidak hanya berkembang disuatu daerah (Ernest Heins 1975:21).

Bermula dari keroncong Tugu yang para anggotanya terdiri dari orang-orang keturunan Portugis. Sebuah kelompok orkes keroncong yang berada pada salah satu kampong yang bernama Tugu, yang letaknya didaerah Cilincing Tanjung Priok. Menurut Jacobus Quiko, salah satu keturunan bangsa Portugis generasi ketujuh, mengatakan bahwa musik keroncong ini dirintis oleh orang-orang Portugis yang berada di Betawi kira-kira tahun 1770-an. Selanjutnya musik keroncong ini turun temurun menjadi musik khas bagi orang-orang keturunan portugis yang berada di Kampung Tugu  (Budiman 1979:76)

Di Surakarta, pada sekitar tahun 1920-an sudah terdapat musik keroncong. Terbukti ayah angkat dari biduanita Miss Anie Landouw yang bernama Antom Ferdinand Ronald Landouw sudah menggemari musik keroncong, karena ia adalah seorang zanger pada waktu itu dan zanger-zanger seangkatan dia adalah Miss Her Lauot, Van Der Mul dari Jakarta dan Paulos Item dari Malang. Kemudian pada tahun 1926-1927 muncullah nama nama baru seperti halnya : Miss Annie Landouw, Miss Monah serta pemusik antara lain : Sapari, S. Prono pimpinan OK Sinar Muda dan Sukanto Jayadi zanger, juga Narno pimpimnan OK Naghtegal dan masih banyak lagi. (Budiman, 1979:111). Penyanyi wanita memang ditamabah kata Miss, sementara untuk pria istilah yang digunakan adalah budaya-keroncong.

Sertiap tahunnya kota Surakarta selalu mengadakan Fandel Concourus seperti kota-kota lainnya. Di Jakarta, sejak tahun 1920an hingga jaman pemerintahan Jepang juga mengadakan Fandel Concours di Pasar Gambir (Budiman, 1979:84). Fandel Concours (Concours Vandel) disebut juga Krontjong Concours (Festival Keroncong). Perlombaan atau untuk masa sekarang ini istilah yang lebih akrab adalah festival, setiap tahun untuk melahirkan juara keroncong dari pulau jawa. Secara resmi perlombaan itu dinamakan Krontjong Vaandel Concours. Digunakan kata Vaandel, karena grup keroncong yang menjadi peserta diharuskan membawa Vaandel yang terbuat dari kain bludru hitam dan ditambah dengan tulisan nama grupnya berwarna emas, misalnya Lief Java (Japi Tambayong, 1992:307).

Di Surakarta festival musik tersebut diadakan di Sriwedari, dan dilaksanakan setiap bulan puasa (Ramadhan) untuk menyambut hari puasa yang ke-21 dengan yang disebut Maleman. Orkes keroncong yang biasa tampil setiap tahunnya adalah OK. Sinar Muda pimpinan Prono. Selain itu perayaan yang diramaikan oleh SKC (Solo Keroncong Club) pimpinan Sukamto dan masih banyak lagi (Budiman 1979:113).

Pada tahun 1930 sampai awal 1940 musik Indonesia sangat diwarnai dengan berkembangnya tiga ragam musik utama yang populer yaitu keroncong, gambus, dan musik Hawaiian, ditambah dengan musik semi klasik dan klasik dari orchestra yang disukai orang Belanda dan kalangan bumi putera, mulai mendapat pengaruh yang kuat dalam hal pengenalan dan penulisan komposisi musik yang baik. Dimulai tahun 1930 lewat Tjok Sinsu dan para pemusik seangkatannya yang menciptakan lagu yang semuanya ditulis dalam sebuah komposisi musik yang mulai menunjukan perkembangan pengetahuan akan komposisi yang cukup memadai dikalangan pemusik Indonesia. (Japi Tambayong, 1992:309)

Pada tahun 1930 sebuah perkumpulsn Orkes Keroncong yang dikenal dengan nama orkes keroncong Monte Carlo. Orkes ini terkenal dengan pembaharuan-pembaharuan mengenai irama dan lagu-lagu diantaranya Keroncong Rumba. Pemain-pemain dari OK. Monte Carlo ini pada jamannya tergolong pemain-pemain yang memiliki citra kuat, diantaranya : Wiranto (biola), Satiarko (biola), Satiman (cello), Suwelo (ukulele), S. Naryo (Bass), Marjokahar sebagai penyanyi(Budiman, 1979:113).

Masih di tahun 1930 menyusul penyanyi dan perkumpulan orkes keroncong yang baru yaitu OK MARKO yang bermarkas di Singosaren. MARKO merupakan singkatan dari Marsudi Agawe Rukun Kesenian lan Olahraga. Penyanyi yang terkenal dari OK MARKO yaitu Gesang. Pada era 1930an, di Solo memang muncul orkes Keroncong Kembang Kacang, di orkes ini Gesang juga ikut bergabung. Di kota Solo, Gesang mengembangkan diri sebagai penyanyi dengan suara khas, karena dianggap memiliki ciri sendiri dibanding penyanyi keroncong lainnya. (Japi Tambayong, 1992:309)
Radio merupakan saran paling penting dalam perkembangan musik k
eroncong. Seiring berjalannya eaktu dan berkembangnya teknologi, pada tanggal 1 April 1933 resmi berdiri radio ketimuran yang diberi nama Solosche Radio Vereninging(SRV). Radio ini bertempat di Pura Mangkunegaran. Sedangkan di Dalem Kasunanan atau gedung Kong Tong berdiri radio SRI (Solosche Radio Indie). Keduan radio ini selalu menyiarkan lagu-lagu keroncong yang langsung dimainkan oleh orkes keroncong.

Keroncong Pada Masa Kolonial Jepang (1942-1945)

Pecahnya perang kemerdekaan Asia Timur Raya pada tahun 1942 dan Belanda menyerah kepada Jepang, membawa perubahan suasana di Indonesia. Perubahan suasana ini juga membawa perubahan pada dunia musik keroncong. Kedatangan Bangsa Jepang ini segera disusul dengan berbagai macam propaganda yang mencoba mengangkat harkat hidup bangsa Asia. Hal ini dengan sendirinya berarti kebudayaan barat yang ada dan tidak sesuai dengan propaganda dan harus dihilangkan. Upaya ini termasuk menghilangkan kebiasaan memainkan musik hiburan yang sangat berkiblat kebarat-baratan terutama Amerika, yang merupkan tantangan terbesar Jepang dalam perang Asia-Pasifik (Peter Manual, 1990:208)

Pemerintah jepang segera mewajibkan semua orang bisa menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan melarang kegiatan hiburan, terutama musik barat untuk dimainkan. Larangan ini tidak berarti bahwa Jepang tidak amemperhatikan masalah musik. Bagi pemerintah Jepang ini memang bersifat politis, karena pada umumnya semua lagu yang sedang beredar pada masa itu sangat bergaya barat. Dengan dimatikannya bentuk-bentuk hiburan musik yang kebarat-baratan tersebut, perkembangan musik pada masa itu hanya diisi oleh keroncong. Hanya musik keroncong yang pada saat itu diperbolehkan dimainkan oleh pemerintah Jepang, dan itu berarti musik keroncong yang mengisi kekosongan dalam usaha mencipta dan menyanyikan lagu pada masa pemerintahan Jepang (Peter Manual, 1990:208).

Masa pendudukan Jepang yang berlangung tiga tahun(1942-1945), mendatangkan pukulan berat bagi dunia musik Indonesia, yang mengalami masa-masa sulit karena dilarang. Suasana ini membingungkan semua artis dan penyanyi karena kegiatan yang terhenti dan tempat-tempat hiburan serta panggung pertunjukan terbengkalai. Dalam usaha mencipta lagu tidak berarti para pencipta lagu boleh mencipta lagu secara bebas. Pemerintah Jepang turut memperhatikan lagu dan maksud si penciptanya, apakah sesuai dengan semangat ketimuran dan cinta tanah air. Hal ini secara jelas terlihat dalam kata seperti bakti, setia, makmur, maju, indah, dan lain-lain.(Japi Tambayong 1992:212). Pemakaian kata-kata Slogan seperti di atas sejalan dengan keinginan Jepang agar bangsa-bangsa Asia mencintai tanah airnya sendiri dan sesame bangsa Asia sebagai kawan dalam perjuangan melawan bangsa sekutu.

Dengan demikian bentuk-bentuk hiburan musik yang kebarat-baratan tersebut, perkembangan musik Indonesia pada masa itu bisa dikatakan didominasi oleh keroncong. Hanya musik keroncong yang pada saat itu diperbolehkan dimainkan oleh pemerintah Jepang dan itu berarti hanya musik keroncong yang mengisi kekosongan dalam usaha mencipta dan menyanyikan lagu-lagu pada masa pendudukan Jepang. Beberapa radio yang mengudara pada masa pemerintahan Jepang. Hanya boleh menyiarkan musik keroncog seperti radio Pusat Penyiaran Radio Ketimuran (PPRK), radio Jepang Hosokyoku dan Radio Voro. Beberapa lagu keroncong yang diciptakan menjadi terkenal seperti Bengawan Solo (1940) dan Jembatan Merah (1943) (Japi Tambayong 1992:212)

Pada masa Jepang timbullah aliran yang ditanamkan Jepang ke Indonesia, yaitu aliran kebudayaan. Aliran kebudayaan yang ingin menguasai Indonesia secara kebudayaan. Dimana-mana diajarkan tarian Jepang (odori) lagu Jepang, dan bahasa Jepang. Pada masa awal kependudukan Jepang keroncong mengalami kemunduran, tetapi karena kebudayaan barat dikiks habis, maka apresiasi (Penghargaan) terhadap irama keroncong justru semakin mendapat angin segar dari mereka yang menganut aliran kebudayaan. (Peter Manual, 1990:210).

Radio sebagai salah satu media yang cukup populer dikalangan masyarakat, hanya bisa menyiarkan musik keroncong dan beberapa lagu Jepang, dan dengan beberapa diantaranya dengan sembunyi-sembunyi tetap menyiarkan lagu-lagu perjuangan untuk menghindari dari kejaran tentara Jepang. Salah satu radio yang cukup berani untuk menyiarkan lagu perjuangan adalah Radio Voro. Radio amatir dan radio rakyat di Jakarta. Pemerintah Jepang sering memburu tempat dari radio ini. Sehingga markasnya sering berpindah. Salah satunya penyiarnya adalah Ahmad, seorang violis, aransir,dan dirigen khusus musik keroncong, orkes yang cukup terkenal bernama OK Aseli (Budiman, 1979:143).

Memang selama masa pendudukan Jepang, alat komunikasi Radio digunakan oleh kaum nasionalis untuk mempropagandakan Anti-Belanda dan gerakan gerakan pro kemerdekaan. Pemerintah colonial Jepang melarang musik-musik barat muncul di media dan memberikan ruang yang lebih kepada musik Indonesia. Namun jelas, ini memang berbau politis. Pertunjukan musik keroncong mulai dapat ditemukan di pasar malam dan bersama dengan jenis budaya lainnya yang diperbolehkan, musik keroncong menyajikan suatu cara untuk melepaskan kepenatan dari penjajah. Meskipun bangsa Jepang menggunakan musik keroncong sebagai pendukung penjajahannya, akan tetapi lagu-lagu keroncong banyak yang liriknya berisi protes terhadap kekejaman penjajahan Jepang.

Apalagi tadinya musik keroncong dianggap kesenian kesenian atau muisik kelas bawah karena dianggap remeh, maka pada jaman Jepang justru mendapat angin segar. Bermuncullah  karya cipta yang melengkapi khasanah perkeroncongan seperti: lagu keroncong Jembatan Merah ciptaan Gesang, Swadhes ciptaan Marjo Kahar/Kamadjaya, Pulau Djawa ciptaan Soeminto.Lagu Jembatan Merah dicipta Gesang pada jaman Jepang. Lagu ini tercipta ketika Gesang ikut rombongan Perkumpulan sandiwara Bintang Surabaya. Ketika sandiwara Bintang Surabaya berkunjung ke Solo, pimpinannya, Tuan First Young, menemui Gesang untuk diajak bergabung sebagai penyanyi. Proses penciptaan lagu Jembatan Merah pada waktu itu di Kota Surabaya. Tuan First Young member Tugas kepada Gesang untuk membuat lagu dengan judul Jembatan Merah. Ketika Gesang melihat langsung keadaan fisik dari jembatan tersebut ternyata tidak seperti yang dia bayangkan (Wendy T Utomo, 1986:22)

Gesang mengakui menemui sedikit kesulitan dalam menciptakan lagu Jembatan Merah. Akhirnya dengan membaca sekenario cerita Jembatan Merah. Gesang dapat menciptakan lagu Jembatan Merah. Lagu tersebut menggambarkan sepasang kekasih pemuda dan pemudi yang sedang dilanda percintaan, kemudian terputus di Jembatan Merah, karena pemudi ditinggalkan di tengah jembatan oleh pemuda tersebut dengan janji kelak akan bertemu kembali di jembatan yang sama. Sedangkan gedung-gedung yang besar dan indah yang berada diantara jembatan itu kemudian mendorong Gesang untuk mengatakan bahwa Jembatan Merah sungguh Megah berpagar gedung Indah (Wendy T Utomo, 1986:24)

Pada jaman Jepang jarang ada perlombaan atau concurs keroncong untuk meningkatkan mutu, karena suasana perang yang tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan semacam itu. Rakyat Indonesia dikerahkan untuk membantu Jepang menjadi Romusha, sedangkan wanita atau gadis remaja tidak sedikit yang dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang yang kesepian. Pemerintah Jepang melakukan semua itu dengan kedok yang disebut gotong royong. (A.H Soeharto 1996:37).

Kemudian pada tahun 1944 diadakan concurs keroncong oleh Solo Hosokyoku bertempat di taman Sriwedari. Peserta concurs datang dari seluruh daerah di Pulau Jawa dan para jurinya dari ahli-ahli keroncong pada jamannya. Peristiwa apresiasi terhadap seni keroncong inilah yang kemudian dikenang dan dilestarikan dalam bentuk penyelenggaraan Pemilihan Bintang Radio setiap tahun yang dikaitkan dengan acara memperingati Hari Radio, dimulai tanggal 11 September 1951 (A.H Soeharto1 1996:50).

Alasan-alasan dan factor seperti meluasnya pengaruh barat, tumbuhnya lalu lintas antar daerah, mendalamnya rasa bahwa tanah air telah dihisap oleh penjajah, mendorong keinginan untuk merdeka, mempererat persatuan dan kesatuan serta mengikis pengaruh negatif yang datang dari barat. Dibidang perkeroncongan, pengalaman sejarah itu menjadi pondasi dan inspirasi lagu.
 

Aji Pribadi Gumilar
Sosiologi FISIP UNS
 

Berita Terkait