Solo, Keroncong dan Kenangan #2

Keroncong Setelah kemerdekaan (Periodisasi 1945-1950-a). Perkembangan musik pada penghujung tahun 1945 menghadapi dua hal yang penting dalam perkembangannya. Hal yang pertama adalah lepasnya tekanan terhadap dunia hiburan pada umumnya dan dunia musik pada khususnya, yang selama masa pendudukan Jepang menghadapi tekanan yang sangat besar dari pemerintah Jepang, terutama dunia hiburan yang sangat dipengaruhi oleh gaya barat dengan begitu banyaknya larangan dan batasan-batasan terhadap penciptaan sampai pada pementasannya. Hal yang kedua adalah perkembangan musik yang sangat diwarnai oleh : semangat revolusi akibat perebutan kekuasaan Jepang, kenyataan yang terlihat dalam perang dunia kedua dibeberapa negara yang terlibat yang tidak menghasilkan apa-apa selain kehancuran, termasuk kehancuran beberapa karya seni seniman-seniman besar dunia dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan usaha-usaha untuk mempertahankannya. (A.H Soeharto1 1996:57).

Hal ini bisa ditandai dengan munculnya lagu-lagu yang banyak bertemakan perjuangan atau musik nasional. Keadaan ini semakin berkembang dikalangan composer akibat situasi politik yang belum menentu dan adanya keinginan untuk ambil bagian secara langsung lewat caranya sendiri-sendiri demi mempertahankan kemerdekaan, dan isu yang akhirnya menjadi kenyataan. Belanda masuk lagi ke Indonesia dengan cara menumpang pada pasukan sekutu yang akan melucuti persenjataan Jepang di Indonesia. Kedatangan kaum colonial ini secara kebetulan kembali mengangkat para artis dan pemusik Indonesia yang masih dipengaruhi dengan keadaan pada masa-masa sebelum Belanda meninggalkan Indonesia.
Dunia hiburan kembali hidup, pertunjukan-pertunjukan mulai marak lagi akibat kebutuhan para serdadu akan hiburan akibat kelelahan setelah bertempur. Gedung Societet yang selama masa pendudukan Jepang sepi, mulai ramai kembali. Begitu pula dengan beberapa tempat hiburan dan pertunjukan yang segera ramai karena orkes-orkes musik juga mulai beraktifitas dengan bebas. (Wendy T Utomo, 1986:30).

Pada jaman perang kemerdekaan, para seniman keroncong masih tetap berkaya bahkan segera produktif menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan perjuangan untuk mendorong dan sekaligus juga menghibur para pejuang di berbagai daerah. Beberapa peristiwa politik telah mewarnai perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan yang utuh. Beberapa catatan sejarah menginspiraikan para seniman keroncong untuk mengabadikan dalam bentuk lagu yang berjudul antara lain : Sri Dewi Kemerdekaan ciptaan Marjokahar, Irian Pulauku ciptaan Ismair Marzuki, Linggarjati ciptaan Ismail Marzuki. Wendy T Utomo, 1986:31)

Kota Solo semakin ramai dan padat oleh seniman-seniman keroncong yang datang dari Jakarta. Pada tahun ini nama-nama penyanyi antara lain Samsidi, Suprapti, Maryati, Sayekti, dan macam-macam perkumpulan orkes keroncong antara lain : OK Bunga Mawar, OK Sederhana, OK Bengwan Solo (Budiman, 1979:147). Revolusi bangsa Indonesia yang begitu pahit dan meminta banyak korban pada akhirnya selesai dan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya setelah diproklamirkan pada tahun 1945. Pada saat revolusi berlangsung, kaum nasionalis mengendalikan beberapa stasiun radio yang dipergunakan untuk media penyampai pesan. Mereka menggunakan musik keroncong sebagai sebagai senjatanya dan dengan lagu-lagu perjuangan yang disiarkan melalui radio yang dikuasai oleh kaum nasionalis. Oleh karena itu, musik keroncong bukan saja sebagai musik rendahan tetapi juga merupakan aspirasi nasional. Bahkan sekarang banyak lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan dengan musik keroncong.
 
Seperti yang diutarankan oleh etnomusikolog Dieter Mack:     
“adalah pencipta musik keroncong yang……. Menulis seluruh     lagu perjuangan Indonesia yang bisa disamakan dengan The Star Spangled Banner atau America The Beautiful. Lagu-lagu tersebut dikenal sebagai keroncong revolusi dan sering berkaitan dengan isu kemerdekaan dan kebebasan. Salah satu yang terkenal adalah ‘Keroncong Merdeka”(Dieter Mark, 1984:65)

Dalam perjalanannya yang memasuki dasawarsa pada tahun 1950-an, citra Solo sebagai kota keroncong Indonesia semakin menguat. Bahkan disbanding musik keroncong Jakarta, perkembangan di Solo lebih kuat, beberapa lagu kalangan orang Solo misalnya Gesang , terbukti mampu membawa irama keroncong soloan yang khas dengan suasana yang baru, yaitu dominan bunyi cello yang dipetik menyerupai kendang. Banyak lagu karangan Gesang yang juga mempopulerkan kota asalnya itu, semisal Tirtonardi dan Bengawan Solo. Kemudian muncul juga Maladi(mantan menteri zaman Orde Lama) dan Solo Di Waktu Malam Hari (Japy Tambayong, 1992:307)

Periodesasi Langgam Jawa (1950-1965)

Rasanya sangat kurang ketika membicarakan musik keroncong tanpa memnbicarakan Langgam Jawa. Lewat tangan Ajaib Andjar Any, keroncong dimodifikasi menjadi langgam Jawa. Sewaktu keroncong mengalami masa “paceklik”, langgam Jawa masih mampu merebut hati pendengar musik tradisional. Bahkan eksis bersamaan dengan eksisnya musik keroncong. Pada tahun 1955 lagu Langgam Jawa mulai merebak. Memang pada era 1950an langgam Jawa semakin populer, beberpa diantaranya dipopulerkan oleh Orkes Keroncong Irama Langgam dan Orkes Keroncong Bintang Surakarta. Pada tahun 1959 diselenggarakan lomba lagu langgam Kembang Kacang yang berhasil mengorbitkan penyanyi Waldjinah sebagai Ratu Kembang Kacang. Yang memprakarsai lomba ini adalah RRI Surakarta bekerjasama dengan Perfini, pimpinan Umar Ismail. Lomba ini diadakan dalam rangka mempromosikan film Perfini yang berjudul “Delapan Penjuru Angin” yang dibintangi Citra Dewi. Dalam film tersebut lagu Kembang Kacang dijadikan Theme Song. Dengan dinobatkannya Ratu Kembang Kacang, Waldjinah diberi kesempatan menyanyikan lagu ini dalan pemutaran perdana film tersebut di Jakarta. Waldjinah merayap terus dan pemilihan bintang radio jenis keroncong tahun 1965 ia berhasil keluar sebagai juara nasional (A.H Soeharto, 1996:55).

Langgam Jawa sendiri sejatinya telah ada sebelum kemerdekaan, sehingga dalam proses membuat keroncong lebih dihargai, dan penggabungan dengan musik gamelan muncul. Selama abad 20, keroncong meluas ke kota-kota di Jawa Tengah dan membawa perubahan yang menonjol. Perubahan yang diterima ini adalah refleksi langsung dari system nilai dan norma tingkah laku antar kaum cosmopolitan di daerah kota dagang bagian utara Jawa dengan nilai dan norma tradisional yang asli, etika dan tingkah laku yang berkembang di Surakarta dan Yogyakarta. (Japy Tambayong, 1992:310)

Keroncong juga kemudian digunakan berdampingan dengan musik tradisional Jawa yaitu Gamelan. Di Jawa Tengah keroncong dipadukan dengan musik gamelan (langgam Jawa) sehingga menjadi musik yang lebih dihargai . Instrument yang digunakan, selain alat keroncong yang sederhana, juga memainkan pola-pola melodi dari beberapa intrumen gamelan. Penyanyi keroncong paling populer di jawa tengah adalah waldjinah sebagai ratu kembang kacang atau ratu walang kekek, ia adalah seorang wanita yang cantik, elegan dan berbakat. Saat ini pengenalan vocal solo (bawa) yang biasanya ditemui di musik gamelan, sering digunakan yang biasanya ditemui di musik gamelan, seiring digunakan untuk membuka pagelaran musik keroncong . komposisi yang digunakan dari gabungan antara musik dan gamelan (langgam Jawa) adalah lagu paling populer (A.H Soeharto, 1996:55)

Tempat yang menjadikan langgam Jawa tetap eksis adalah Kota Solo. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena apresiasi terhadap langgam jawa sangat tinggi. Sementara itu, kota Solo yang tadinya merupakan gudang keroncong, memiliki lebih dari 30 (tiga puluh) orkes keroncong mulai layu satu persatu. Seniman tetap ingin maju berkresi namun berbagai tantangan dan hambatan kurang mendukung pertumbuhannya. .(A.H Soeharto, 1996:57)

Pada tahun 1960 makin menguatnya irama langgam Jawa. Tercatat beberapa seniman pencipta lagu langgam Jawa, antara lain: Anjar Any dengan lagu ciptaannya “Yen Ing Tawang Ana Lintang”. Tidak dapat disangkal langgam Jawa adalah anak kandung keroncong hasil perkawinannya dengan irama daerah Jawa. Langgam Jawa sendiri banyak digemari masyarakat. (A.H Soeharto, 1996:57)

Periodisasi 1965 – 1970

Ketika Indonesia sedang mengalamu revolusi 1965 dimana terjadi ketegangan dunia dengan pecahnya dua blok besar, Blok Barat dipegang oleh Amerika dan Blok Timur dipegang Oleh Rusia. Pemerintah era Soekarno, justru mencondongkan kebijakan dan kiblat politik ekonominya ke Blok Timur yang berhalauan komunis. Ini mau tidak mau berpengaruh juga terhadap nilai budaya yang diserap lewat hubungan internasional tersebut. Tidak mengherankan apabila Soekarno melarang rakyatnya untuk mengkonsumsi produk-produk yang berbau kebarat-baratan.

Letak kota Solo yang secara geopolitics sangat strategis, terlebih lagi pada masa itu iklim politik di kota Solo begitu bercorak. Sebagai partai dominan waktu itu adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada pemilu 1955, PKI mendapat suara terbanyak di Solo yaitu sebesar 736, kemudian disusul oleh PNI sebesar 59% (Subagio Reksodipuro1980: 2). Pada masa tahun 1960an, seni musik komersial mulai masuk di Indonesia. Gerakan masuknya musik komersial ke Indonesia, karena merupakan respon dari tekanan-tekanan yang ada, baik dari dalam maupun dari luar. Dan musisi Jawa akhirnya terjun ke pementasan yang komersial untuk menghasilkan uang dari orang-orang asing, seperti halnya dengan orang-orang Bali yang telah berhasil melakukannya. Musisi dan seniman Jawa ingin menarik golongan kelas menengah yang sangat menyukai seni tradisional(saat ini keroncong bagian dari seni tradisional) dengan tampilan yang lebih modern. Untuk musik keroncong sendiri, modernisasi yang dilakukan berarti harus menambah instrument orchestra ke dalam kelompok yang lama dan menulis aransemen lagu. Inovasi ini pertama kali dipentaskan dalam world’s Fair pada tahun 1961 oleh satu orkes keroncong yang dipimpin oleh jenderal Pirngdie dengan aransemen baru disebut “keroncong bea”.(Budiman, 1976:150)

Salah satu album yang terkenal adalah “a tribute heroes”, dia juga menyebut keroncong sebagai “musik rakyat yang mengekspresikan suasana hati dan alam”, dan memberikan lagu-lagu yang lembut dan melodis. Namun lagu-lagu tersebut sangat patriotis karena memuji pahlawan kemerdekaan, presiden Soekarno mendukung langkah-langkah yang ditempuh Pirngadie untuk menciptakan suatu musik nasional. Meskipun usaha untuk membuat lagu-lagu yang dapat dikeroncongka telah ada, namun seringkali aransemen musiknya gagal menggambarkan kesan keroncong adalah musik nasional. (Budiman, 1976:150)

Terlebih lagi, banyak elite di Jakarta mulai memiliki citarasa lain yaitu ketertarikan pada musik Hawaii. Sikap anti barat Soekarno terhadap barat ini memang memberi ketrbukaan besar terhadap eksistensi musik nasional termasuk keroncong. Sorkarno amat anti dengan musik barat yang disebutnya dengan musik ngak ngek ngok. Bahkan musik yang mengekor kepada baratpun dibrendel seperti halnya yang pernah terjadi pada Koes Plus(dimana gaya permainannya mengekor pada The Beatles). Perbaikan ini juga menimbulkan efek balik karena langkah yang diambil Soekarno itu tetap berhalauan politis. (Budiman, 1976:150)

Setelah jatuhnya Soekarno pada 1966, pemerintah digantikan oleh Soeharto dan kebijkan-kebijakan baru pun terbuka. Pengaruh barat mengalir deras masuk ke Indonesia. Perlahan-lahan pamor keroncong juga mulai menurun diterpa arus musik modern. Di Solo sendiri, mundurnya musik keroncong juga disebabkan menjamurnya pusat hiburan yang menyajikan musik-musik modern. Selain itu matinya kelompok orkes keroncong juga membuat eksistensi keroncong menurun. Hal ini terjadi hingga sekarang dimana keroncong seolah hilang dari pasar musik di Nusantara.
 
 
Aji Pribadi Gumilar
Sosiologi FISIP UNS
 
 

Berita Terkait