Dinamika Tari Gaya Surakarta Diluar Tembok Keraton
Bangsa Indonesia yang terbentuk sejak 17 Agustus 1945 diwarnai oleh kesatuan adat-istiadat dan seni budaya tradisi yang dari waktu ke waktu terus bergerak dalam dinamika pewarisan kebudayaan. Tradisi sekaligus dapat diterjemahkan sebagai bentuk pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta, bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya : ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya (Santosa SP, 1980:27). Pola pemikiran itu dapat dikatakan sebagai tenaga penggerak dinamika kebudayaan dan merupakan kerangka struktur fungsional, struktur pranata budaya yang harus dikenali dan digunakan untuk menyampaikan pesan pembangunan bangsa dengan sedikit perubahan fungsinya (Nat J. Colletta dan Umar Kayam, 1987:6).
1. Tari Gaya Surakarta pada Awalnya
Bentuk dan konsep Tari Gaya Surakarta pada awalnya sangat lekat dengan nilai-nilai tradisi budaya keraton yaitu di samping tempat tinggal raja dan keluarga, juga tempat un¬tuk mengolah budi lahir dan batin. Hasil dari pengolahan budi tersebut disebut budaya. Budaya itu memiliki daya perbawa, yang kemudian menjadi keyakinan (Nursyahid, 1987:8). Daya perbawa dan keyakinan pada tari tercermin dari pesan R.T. Kusumakesawa kepada Sukamta asistennya yaitu ’jangan sekali-kali merubah pathokan tari, meskipun tari ini sudah tidak laku’. (Budi Santosa, wawancara, Solo, 11 November 2011). Pathokan itulah sebenarnya yang merupakan bentuk dan hakekat dari Tari Gaya Surakarta.
Bentuk dan konsep Tari Gaya Surakarta pada awalnya sangat lekat dengan nilai-nilai tradisi budaya keraton yaitu di samping tempat tinggal raja dan keluarga, juga tempat un¬tuk mengolah budi lahir dan batin. Hasil dari pengolahan budi tersebut disebut budaya. Budaya itu memiliki daya perbawa, yang kemudian menjadi keyakinan (Nursyahid, 1987:8). Daya perbawa dan keyakinan pada tari tercermin dari pesan R.T. Kusumakesawa kepada Sukamta asistennya yaitu ’jangan sekali-kali merubah pathokan tari, meskipun tari ini sudah tidak laku’. (Budi Santosa, wawancara, Solo, 11 November 2011). Pathokan itulah sebenarnya yang merupakan bentuk dan hakekat dari Tari Gaya Surakarta.
Gaya tari adalah sekelompok ciri-ciri khas dari suatu tradisi atau suatu kebiasaan tari tertentu, yang membedakannya dengan tradisi atau kebiasaan tari yang lain (Edi Sedyawati,1991: 4,187). Tari Gaya Surakarta sebagai hasil pengolahan budi lahir batin menjadikannya bukan sekedar sebagai tontonan tetapi juga sebagai tuntunan yang merupakan nilai-nilai wigati yaitu perwujudan dari ajaran atau laku hidup untuk mencapai cita-cita budaya kraton, yaitu budi luhur, keselamatan, kewibawaan (Nursyahid,1987: 8).
2. Eksistensi Tari Keraton
Apabila ditarik garis kebelakang, pada jaman kerajaan Demak dapat dikatakan sebagai masa transisi lahirnya Budaya Jawa. Periode ini dapat dianggap sebagai titik perubahan yaitu tradisi pertunjukan topeng pada masa ini kemudian merakyat dan dikenal sebagai tradisi Sunan Kalijaga (Sumaryono, 2003:127). Dalam pandangan kebudayaan, pertunjukan masyarakat desa tersebut kemudian disebut tradisi kecil, sebaliknya tarian keraton disebut tradisi besar, sejalan dengan pendapat Timbul Haryono (2002:12) bahwa wilayah tradisi besar adalah wilayah keraton sedangkan tradisi kecil adalah luar keraton.
Apabila dirunut kesejarahannya maka unsur kebudayaan Jawa yang berpusat di keraton itu tampak sangat rumit karena interaksinya yang luas dengan pengaruh India, Cina, Islam dan Barat yang berawal pada abad pertama Masehi dan dampaknya begitu mendalam (Paul Stange, 1992 : 133). Dalam pengetahuan Kejawèn keraton adalah tempatnya ratu kemudian disebut ka-ratu-an lalu menjadi keraton yaitu tempat : (1) Raja yang mendapatkan anugerah dari Tuhan untuk memimpin kerajaan; (2) Kerabat Keraton (Keluarga, Pejabat dan pegawai keraton); (3) Keraton sebagai pemberi perlindungan dan pertolongan secara lahir dan batin bagi kawula (Sapardi Yosodipuro (1982:1).
Ciri kebudayaan itu melahirkan tari sebagai tuntunan untuk pembentukan watak dan jiwa luhur yang implementasinya berupa (1) polatan yaitu gerakan dan arah bola mata; (2) tutur-kata yaitu ungkapan dan karakter antawecana yang dibawakan; (3) solah-tingkah yaitu gerak laku tubuh menurut karakter jenis tarian; dan (4) saradan yaitu kebiasaan yang muncul tanpa disadari akan tetapi disadari oleh orang lain yang melihatnya.
3. Tari Keraton sebagai Ekspresi Seni
Tari keraton sebagai bentuk seni pada hakekatnya merupakan ekspresi dari segala macam ide yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk konkrit (Herbert Read, 2000:4-5). Ide-ide dalam tari keraton itu merupakan rangkaian agama dalam arti Agami Jawi atau Kejawen dan dianggap sebagai pusaka, maka kalau tidak digeluti aturannya sesungguhnya sudah tidak dapat dikatakan sebagai pusaka (Serat Kridwayanggo, 1935 : 4-5). Aturan-aturan itulah yang melahirkan teknik-teknik tari yang mendasari dan menentukan ciri-ciri dari suatu gaya tari yang dijiwai oleh suatu ”sikap batin” sebagai tuntunan (Edy Sedyawati, dkk., 1986: 13).
Nilai-nilai tuntunan yang menyatu dalam aturan tari keraton disebut : (1) Hastakawaca yang berisi delapan perangkat wiraga tari yaitu patrap, ulat-ulatan, tanjak, pacakgulu, ukuran tungkak, dariji asta, léyot, ulahing jaja; (2) Kawaca lagu yang berkaitan dengan irama iringan gendhing; (3) Hastakawaca Gendhing mengatur rasa seleh gerakan tari pada kenong, kempul atau gong.
Tari Jawa Gaya Surakarta Diluar Keraton
Di masyarakat, tarian keraton bermetamorposis menjadi Tari Gaya Surakarta pada tahun 1950 yang oleh J. Maquet disebut ‘art by metamorphosis’ atau ‘pseudo-traditional art,’ (dalam Timbul Haryono, 2008:133) atas prakarsa Dewan Ahli dan empu tari di Himpunan Budaya Surakarta (HBS) yaitu membuat bentuk dan teknik baru yang disebut Rantaya dan Hasthasawanda. Kreativitas tersebut muncul menurut Dedi Supriadi bukan hanya kerena dorongan intrinsiknya saja, melainkan juga dikarenakan adanya iklim lingkungan yang memungkinkan mereka merasa aman untuk berkarya, berimajinasi, mengambil prakarsa, karena hanya dengan itu mereka akan berani mengambil resiko (1997:2).
”Perubahan tersebut pada hakekatnya merupakan proses adaptasi sebagai upaya untuk menemukan dan mendapatkan ruang gerak tari tradisi. Lebih jauh Selo Soemardjan menyatakan bahwa komunitas tradisi sanggup merencanakan serta menerapkan proyek-proyek pembangunan dalam ruang lingkup mereka (dalam Nat J. Colletta dan Umar Kayam, 1987:xi), yaitu pada tahun 1960 membuat industri pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan. Proses adaptasi dengan nilai ekonomis dalam industri budaya tersebut terus berlangsung dan sejak tahun 1970-an kehidupan Tari Gaya Surakarta memiliki perspektif yang beragam. Dekade ini juga menandai awal munculnya modernitas tari yang terlihat dari adanya pertunjukan tari Samgita Pancasona karya Sardono W. Kusumo yang mengembangkan pola gerak menurut interpretasi pribadi.
Dinamika Perkembangan
1. Masa Peralihan (1940an-1950an)
Para empu tari menyadari akan arti pentinganya ikut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan di medan budaya melalui seni tari, sebagaimana dilakukan R.T. Kusumokesowo pada tahun 1940an mulai mengajar tari di Perhimpunan Kesenian Mondroguno Surakarta (Djoko Tutuko, 2003:7). Pengajaran tari saat itu banyak diminati sebagaimana yang dilakukan Rusman ketika berguru pada empu tari Ki Demang Poncosewoko, ia bercita-cita menjadi pemain Wayang Orang Sriwedari (Rusini, 2003:45-46).
Tari-tarian yang populer pada dekade 1940an-1950an adalah Wireng Dadap, Klana Jayengsari, Handogo-Bugis, Bondoyudho, Bondowolo, Sancoyo-Kusumawicitra, Janoko-Gardopati, Dadap- Panji Kembar, Tameng Gleleng, Gelo-Ganjret, dan lain-lain (Soemardjo Hardjoprasonto, 1997:12). Secara bentuk, Tari Gaya Surakarta terpecah menjadi aliran-aliran menurut gaya tari para pemukanya seperti Wignya Hambegsa, Sindu Hardiman, Jogo Laksito, Atmo Bratono, Pamarditaya, Harta Sukalewa, dan lain-lain. Adanya pengembangan pribadi tersebut menunjukkan bahwa sejak dari dalam keraton tari Surakarta itu bersifat dinamis, karena dalam hal-hal tertentu masih dapat diinterpretasikan sehingga kemudian melahirkan aliran-aliran tari.
2. Masa Pergerakan (1950an-1970an)
Gejala yang menonjol pada dekade ini adalah munculnya gagasan pendirian lembaga pendidikan formal dengan asumsi bahwa penguasaan seniman atas materi (bahan) dapat dicapai dengan teknik dan teknik itu dapat dipelajari dengan sengaja dan latihan (Soemardjo Harjoprasonto, 1997:27) maka berdirilah kemudian HBS dan KOKAR pada tahun 1950. Dewan Ahli tari HBS kemudian menyusun Rantaya dan Hasthasawanda untuk pembelajaran dasar Tari Gaya Surakarta (Suharji,1991:12) yang sekaligus menandai adanya perubahan bentuk tari keraton menjadi Tari Gaya Surakarta.
Di sisi lain, kelompok pendapan masih eksis sebagaimana Sanggar Tari di pendhapa Suryohamijayan yang sampai tahun 1960an cukup banyak muridnya (A. Tasman, wawancara 2011). Hal itu menyebabkan adanya 2 gaya yaitu Gaya Konservatori dan Gaya Luar. Dalam perkembangannya Gaya Konservatori lebih populer, karena mulai banyaknya alumnus KOKAR yang menempati pos-pos penting di masyarakat (Silvester Pamardi [penulis], 2000:110). Tahun 1964 barulah berdiri Akademi Seni Karawitan (ASKI) Surakarta. Pada tahun 1970-an mulailah Tari Gaya Surakarta diwarnai oleh pemikiran-pemikiran tradisi-modern yang dimediasi Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Surakarta. Saling menguatnya pemikiran tradisi-modern tersebut dapat ditengarai dari fenomena pertunjukan tari Samgita Pancasona yang memicu timbulnya Kubu Tradisi yang didukung oleh YASBI, Konservatori dan Kubu Modern oleh PKJT dan kelompok Canthang Balung Sardono W. Kusuma (Budi Santosa, 2006:89-90).
3. Masa Pertumbuhan (1970an-1980an)
Masa ini ditandai dengan adanya perubahan sikap budaya nasionalisasi atau sikap keindonesiaan PKJT yang bertolak dari pandangan Gendhon Humardani bahwa tradisi sebagai warisan kebudayaan belum dirasakan perubahannya sebagaimana tercermin dalam penilaiannya terhadap Sendratari Ramayana Prambanan disebutnya sebagai gaya lama yaitu koreografi pendapa yang hampir-hampir demikian saja dibawa ke panggung luas dengan jarak yang lebih jauh sekali ke publik (dalam Soedarsono [ed.],1970:103-105).
3. Masa Pertumbuhan (1970an-1980an)
Masa ini ditandai dengan adanya perubahan sikap budaya nasionalisasi atau sikap keindonesiaan PKJT yang bertolak dari pandangan Gendhon Humardani bahwa tradisi sebagai warisan kebudayaan belum dirasakan perubahannya sebagaimana tercermin dalam penilaiannya terhadap Sendratari Ramayana Prambanan disebutnya sebagai gaya lama yaitu koreografi pendapa yang hampir-hampir demikian saja dibawa ke panggung luas dengan jarak yang lebih jauh sekali ke publik (dalam Soedarsono [ed.],1970:103-105).
Di sisi lain keber¬adaan KOKAR dan ASKI Surakarta dipandangnya justru cenderung memperkuat legitimasi tradisi dan lebih berperan sebagai lembaga pelestari, bukan pengembang seni tradisi. Kepemimpinan Gendhon Humardani di PKJT pada akhirnya oleh masyarakat seni Indonesia selanjutnya dikenal sebagai sosok pembaharu seni tradisi, terutama tradisi Jawa (Bambang Suryono, wawancara : 26 November 2013). Dalam kegiatannya, PKJT berhasil memadukan kegiatan tari yang bersumber dari Tradisi Kecil (tari rakyat) dan Tradisi Besar (tari keraton), yang pada gilirannya menghasilkan bentukan-bentukan baru Tari Gaya Surakarta. PKJT kemudian menjadi semacam laboratorium penggarapan seni ‘baru’ bagi penari muda untuk menggembleng teknik-teknik tari dengan konsepsi baru.
4. Masa Pembebasan 1980an-2000an
Masa ini ditandai dengan munculnya gaya Sasonomulyo di tahun 1980an yang kemudian memunculkan karya tari dengan berbagai warna, dan berbagai corak perubahan yaitu Harya Penangsang Gugur, Ranggalawe Gugur, Rudrah Hitam Putih, Joged, Wayang Budha, Prawirawatang. Mengenai lahirnya gaya Sasonomulyo ini, menurut Wahyu S. Prabawa karena banyaknya perubahan-perubahan pada tari tradisi dan karena mungkin bentuk dan isinya dirasakan lain dengan tari tradisi yang sudah ada, maka muncul pernyataan gaya Sasonomulyo [pernyataan tentang gaya Sasonomulyo ini pernah dilontarkan pada diskusi tari dalam Festival Penata Tari Muda II di Jakarta dan mendapat berbagai tanggapan]. Demikianlah suatu gaya tari tertentu akan muncul karena ada lingkungan pendukungnya, demikian pula gaya Sasonomulyo (Wahyu S. Prabawa 1982 : 17).
Sejak munculnya gaya Sasonomulyo tersebut para seniman kemudian berjalan dengan bekalnya masing-masing dan ke arah tujuannya masing-masing. Misalnya Maridi, ia tetap konsisten dengan nafas tradisinya. Gaya Sasonomulyo terus melaju melahirkan kepenarian-kepenarian baru yang memiliki pengembangan teknik berbeda-beda. Dalam aplikasinya re-orientasi teknik Tari Gaya Surakarta, oleh Gendhon Humardani dipilih dua bentuk karya baru yaitu ”Sketsa Tiga” dan ”Rudrah” sebagai tari garapan baru yang dipilih untuk mewakili Gaya Sasonomulyo yang dalam kajian ini kemudian disebut sebagai bentuk tradisi baru.
Perubahan Tari Gaya Surakarta
Dalam kehidupan manusia budaya akan berlangsung proses dinamis yang secara terus menerus mengalami pembentukan dan perubahan, oleh karena itu kebudayaan sebagai totalitas kehidupan manusia tidak statis, tetapi tunduk pada suatu gerakan dinamika kehidupan manusia sehingga semua bentuk kebudayaan adalah dalam gerak perubahan (Sartono Kartodirdjo, 1986:5). Gerak perubahan tersebut menurut Edi Sedyawati dikarenakan adanya 2 sebab yaitu faktor internal dan faktor eksternal (1992).
(1) Faktor Internal perubahan Tari Gaya Surakarta karena adanya semangat para empu tari untuk mengembangkan tari keraton sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara bahwa untuk meneruskan pemeliharaan kebudayaan lama itu perlu dirubah, diperbaiki, disesuaikan dengan alam dan jaman baru (1967:97); dan (2) Faktor Eksternal perubahan Tari Gaya Surakarta karena adanya sikap pemerintah yang menempatkan kebudayaan tradisi dalam gerak pembangunan sebagai akar kebudayaan dan ciri khas, identitas dan kepribadian bangsa (Sal Murgiyanto 1978: 52). Momentumnya adalah adanya pengembangan Proyek Tourisme di Indonesia yaitu Sendratari Ramayana Prambanan pada tahun 1960 yang kemudian melahirkan Mazab Tari Gaya Prambanan.
Kesadaran akan arti pentingnya pengembangan budaya dapat dikatakan merupakan media yang secara tidak langsung melestarikan nilai-nilai, gagasan vital, dan keyakinan masyarakat pendukungnya (S. Budhisantosa,1981/1982:27). Kepentingannya dengan pelaksanaan pembangunan, berkaitan dengan adanya pergeseran dari kebudayaan agraris ke kebudayaan industri yang implikasinya menyebabkan adat sopan-santun mengalami penyederhanaan (Koentjaranignrat, 1984: 23). Adat sopan-santun sebagai nilai-nilai tuntunan yang terkandung dalam Tari Gaya Surakarta dapat diartikan menjadi tergeser oleh nilai-nilai modern yang sifatnya lebih menunjuk pada karakteristik budaya progresif. (I Wayan Geriya, 2008:4). Sifat modern tersebut pada gilirannya akan menjadi tradisi baru sebagaimana dinyatakan Budi Santosa bahwa pertunjukan modern adalah tradisi baru. Sebab, suatu nilai kreatif akan bergulir antar generasi, sampai akhirnya diketahui bahwa teater tradisi Jawa pada awalnya bersumber dari kesenian istana dan kesenian rakyat (dalam Jagad Pamulangan, 2013:42).
Temuan Perubahan
1. Masa Peralihan (1940an-1950an)
Para empu tari cenderung menggunakan teknik-teknik gerak baru menurut versinya sendiri yang kemudian menjadi aliran-aliran tari. Perubahan tersebut terlihat dari adanya karya tari Praboewinoto yaitu (1) Tari Manipuri, dikembangkan dari gerakan tari India; (2) Tari Prawirawana, merupakan bentuk tari duet dengan busana dayak; (3) Tari Nusantara, bentuknya merupakan perpaduan dengan gerak tari gaya Siam dan lain-lain.
Para empu tari cenderung menggunakan teknik-teknik gerak baru menurut versinya sendiri yang kemudian menjadi aliran-aliran tari. Perubahan tersebut terlihat dari adanya karya tari Praboewinoto yaitu (1) Tari Manipuri, dikembangkan dari gerakan tari India; (2) Tari Prawirawana, merupakan bentuk tari duet dengan busana dayak; (3) Tari Nusantara, bentuknya merupakan perpaduan dengan gerak tari gaya Siam dan lain-lain.
Pada perubahan fungsinya, belum menampakkan gejala yang berarti mengingat motivasi dan apresiasi masyarakat terhadap tari pada saat itu masih berkiblat pada adat-istiadat keraton bahwa belajar tari itu sebagai pendidikan budi pekerti. Pada perubahan temanya, mulai ada pengembangan nilai-nilai sosial sebagaimana terlihat pada karya Praboewinoto yaitu Tari Muda-Mudi yang mengembangkan konsep tari pergaulan dan Tari Gotong Royong, tari duet dengan properti payung (Soemardjo Hardjoprasonto, 1997:34-35).
2. Masa Pergerakan (1950an-1970an)
Pada perubahan bentuknya, terlihat dari adanya Rantaya dijadikan dasar pengembangan bentuk dan teknik Tari Gaya Surakarta. Momentum pada tahun 1950 inilah sebenarnya lahirnya Tari Gaya Surakarta. Perubahannya terlihat dari profil tariannya menjadi tiga macam yaitu Putra Alus, Putra Gagah dan Putri. Hal ini berbeda dengan profil tari keraton yaitu Alus, Madya dan Kasar. Di keraton profil tari putri dimasukkan menjadi bagian dari tari Alus (Sastrakartika, 1935:15).
2. Masa Pergerakan (1950an-1970an)
Pada perubahan bentuknya, terlihat dari adanya Rantaya dijadikan dasar pengembangan bentuk dan teknik Tari Gaya Surakarta. Momentum pada tahun 1950 inilah sebenarnya lahirnya Tari Gaya Surakarta. Perubahannya terlihat dari profil tariannya menjadi tiga macam yaitu Putra Alus, Putra Gagah dan Putri. Hal ini berbeda dengan profil tari keraton yaitu Alus, Madya dan Kasar. Di keraton profil tari putri dimasukkan menjadi bagian dari tari Alus (Sastrakartika, 1935:15).
Nilai estetika Tari Gaya Surakarta Hasthasawanda merupakan rangkuman estetika tari keraton yaitu Hasthakawaca, Kawacalagu dan Kawaca Gendhing. Hasthasawanda lebih mengolah rasio atau teknik untuk mencapai keindahan bentuk tari, Hasthakawaca lebih mengolah karakter atau jiwa manusia untuk mempertontonkan kabergasan, kawasisan dan wewangunan (Sastrakartika,1935:9). Bentukan baru Tari Gaya Surakarta pada dekade ini antara lain : Tari Retna pamudya, Tari Kukila, Tari Golek Sukorena (karya R.T. Kusumakesawa); Tari Prawiraguna, Tari Batik, Tari Retna Tinanding (karya S. Ngaliman); Tari Ekaprawira, Tari Prawirawatang, Tari Karonsih (karya S. Maridi).
Pada perubahan fungsinya, terjadi perubahan dari budaya simbolik menjadi budaya ekspresif. Tari Gaya Surakarta sebagai budaya ekspresif maksudnya untuk mengekspresikan keindahan tari berdasarkan kaidah-kaidah Rantaya dan Hasthasawanda. Hal itu membuka cakrawala baru yaitu pada mulanya fungsi tari sebagai Kagungan Dalem dan Klangenan Dalem yaitu untuk raja lalu menjadi media aktualisasi diri seniman yang pada gilirannya lalu berkaitan dengan nilai ekonomis dan profesi.
Pada perubahan temanya, ada gejala makin maraknya tema-tema sosial yang mempresentasikan nilai-nilai kelembutan dan kehalusan perempuan sebagaimana bentuk tari Tari Golek Sukaretna, Tari Gambyong Campursari dan Tari Gambyong Pareanom. Tema-tema baru yang kemudian muncul adalah tema-tema kemasyarakatan seperti halnya Tari Bondan, Tari Payung, Tari Batik. Tema baru yang fenomenal pada dekade ini adalah disusunnya Tari karonsih yang menggarap soal percintaan dalam bentuk pasih-pasihan yang lebih mengungkap tentang kehidupan, cinta dan kebahagiaan manusia.
3. Masa Pertumbuhan (1970an-1980an)
Pada dekade ini muncul Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Surakarta yang kemudian dapat dikatakan “mengambil alih” peran sebagai "Pusat Kesenian" baru yang menjembatani adanya perubahan baru pada generasi berikutnya. Pada perubahan bentuknya dapat dirasa¬kan penggarapan tari gagah lebih pesat, lebih mantap dan lebih tampak, apabila dibandingkan tari alus dan tari putri. Hal ini kemungkinannya karena gerakan tari gagah lebih dekat dan selaras dengan gerak kehidupan modern yang serba cepat dan praktis (Maryono, wawancara, Januari 2014). Dalam hal pengembangan tari alus dan tari putri dilakukan penggalian tari keraton, mendatangkan RM. Ng. Wignyohambegso untuk tari putra alus, untuk tari putrinya Sriyati Sulomo dan Darsosaputro. Hasil penyerapan tersebut kemudian dilakukan pemadatan dan penyusunan tari baru.
Dalam proses kreatif PKJT muncul konsepsi tari tan-wadhag yang oleh Gendhon Humardani dianggap merupakan kekuatan utama tari tradisi, bentuknya sebagaimana Tari Pamungkas karya S. Ngaliman. PKJT juga memberi ruang ekspresi seniman-seniman ’kontemporer’ dan mewadahinya (Joko Aswoyo, 2000:40), yaitu diterimanya pertunjukan tari ”Samgita Pancasona” karya Sardono W. Kusuma yang kemudian menjadi populer sebagai bentuk tari modern. Pada perubahan fungsinya, proses kreatif PKJT mempunyai fungsi strategis yaitu berhasil membina dan menjalankan peran sebagai pusat Tradisi Besar baru Tari Gaya Surakarta yang membawa dan mengarahkan konsep-konsep kekaryaan tari tradisi Jawa dengan interpretasi kreatif, dan mampu mewujudkan karya tari dengan nafas Indonesia (Wahyu Santoso Prabowo, 1999:2). Tari Gaya Surakarta pada dekade ini berubah fungsi sebagai sarana ekspresi dan pengembangan eksperimen-eksperimen ’baru’ (Joko Aswoyo, 2008:38). Pada perubahan temanya, proses kreatif PKJT membudayakan seni tradisi secara modern ditengah-tengah dan bersama-sama dunia modern. Untuk itu orientasinya diarahkan kepada masalah-masalah kehidupan masa kini. Dengan konsekuensi tidak sedikit unsur-unsur tradisi budaya lama yang melekat dalam seni tradisi harus diganti (Joko Aswoyo, 2000:42-43). Konsekuensinya, sekalipun penggarapan tari di PKJT merupakan kelanjutan dari tradisi keraton akan tetapi nilainya tidak identik dengan nilai-nilai tradisi, tetapi nilai baru yang bersifat heteroginitas.
4. Masa Pembebasan (1980an-2000an)
Terintegrasinya kegiatan tari PKJT di atas dengan ASKI pada akhirnya melahirkan aliran baru yaitu gaya Sasonomulyo yang mulai dikenal karena keikutsertaannya dalam "Durham Festi¬val Oriental Music" 1979 di Inggris menurut Rustopo nama Sasonomulyo mulai dikenal oleh masyarakat musik dan tari dunia (Rustopo, 1990:82). Perubahan bentuknya terlihat pada garapan tari Harya Penangsang Gugur, Ranggalawe Gugur, Rudrah, Hitam Putih, Joged, Wayang Budha, Prawirawatang. Model atau standard teknik tari gaya Sasonomulyo sudah tidak lagi mengacu pada rantaya, akan tetapi dilakukan dalam bentuk eksplorasi yang dalam kegiatan sehari-hari disebut sebagai kegiatan “injeksi”. Dengan pengertian bahwa teknik-teknik gerakan dasar rantaya, hanya didudukkan sebagai idiom-idiom untuk mencapai keluasan dan kebentukan wilayah gerak baru.
Gaya Sasonomulyo tersebut selanjutnya menjadi model dan standard perkembangan Tari Gaya Surakarta, (Silvester Pamardi, 2000:138) dan menandai lahirnya pola tari Tradisi Baru. Pada dekade ini, maka berkembang 3 bentuk tari yaitu (1) pola tari tradisi yang berangkat dari bentuk Rantaya dan teknik Hasthasawanda; (2) pola tradisi baru yang berangkat dari gaya Sasonomulyo dan (3) pola tari modern yang berangkat dari semangat seniman untuk menjawab tantangan jaman secara kreatif, maka selalu sifatnya kontemporer. Pada perubahan fungsinya, munculnya gaya Sasonomulyo dapat dikatakan untuk membangun atmosfir eksperimentasi karya seni, dan menyiapkan seniman-seniman profesional di bidangnya. Mendudukan tari pada fungsi utamanya sebagai sarana ekspresi. Fokusnya pada peningkatan kemampuan teknik dan penguasaan perbendaharaan tari tradisi untuk membangun tradisi baru. Pada perubahan temanya, terlihat pada upaya penghilangan unsur gerak ornamentasi; penyederhanaan kostum, tata rias, dan tata panggung; eksplorasi atau penemuan-penemuan gerak baru.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika perkembangan Tari Gaya Surakarta yang bersumber dari tari keraton mengalami perubahan dan menjadi berbeda dengan awalnya. Perubahan bentuk pertama menjadi Tari Gaya Surakarta tahun 1950 dikembangkan berdasarkan bentuk dan teknik baru yaitu Rantaya dan Hasthasawanda. Dalam kajian ini kemudian disebut sebagai perubahan budaya simbolik menjadi budaya ekspresif. Tari keraton sebagai budaya simbolik dianggap memiliki kekuatan keramat dan memiliki fungsi untuk pembentukan watak luhur. Fungsi kedua ini dikembangkan di dalam gerakan Rantaya yang substansinya merefleksikan nilai-nilai tata krama dan sopan santun. Hal itulah yang mendasari adanya nilai tuntunan pada Tari Gaya Surakarta.
Pada tahun 1970 muncullah fenomena tari modern “Samgita Pancasona” karya Sardono W. Kusuma yang memicu konflik antara komunitas tradisi dan modern. Konflik tersebut lalu dimediasi oleh PKJT (1970) dengan memberikan ruang gerak yang seimbang antara kegiatan tari tradisi dan modern. Peran PKJT tersebut kemudian berkembang dan pada gilirannya tahun 1980an melahirkan tari gaya Sasonomulyo. Perubahan bentuk pada fase kedua ini membawa Tari Gaya Surakarta menjadi budaya progresif yaitu mengembangkan nilai-nilai tari tradisi sebagai bentuk yang bersifat menjaman. Tradisi baru tersebut ditandai dengan adanya pengembangan teknik-teknik baru yang berbeda dengan Rantaya. Perbedaannya, teknik tari gaya Sasonomulya lebih memiliki keleluasaan bentuk yang berorientasi pada nilai-nilai ke depan. Dalam kajian ini gaya Sasonomulyo kemudian disebut sebagai bentuk tradisi baru. Dengan demikian Tari Gaya Surakarta dalam kelangsungan hidupnya sekarang diwarnai oleh nilai-nilai tradisi (lama), nilai-nilai tradisi baru dan nilai-nilai modern. Dalam hal penggarapan tari, ketiganya sama-sama bernafaskan kontemporer akan tetapi memiliki wilayah rasa estetika yang berbeda. Dinamika Tari Gaya Surakarta dapat dikatakan tidak lepas dari peranan (1) R.T. Kusumakesawa yang mendasari bentuk tari tradisi dengan menyusun Rantaya dan Hasthasawanda; (2) Gendhon Humardani yang memprakarsai adanya tari tradisi baru yaitu tari gaya Sasonomulyo; dan (3) Sardono W. Kusuma yang mempelopori tari modern dengan pikiran-pikiran yang kontemporer. *Terdapat daftar pustaka dengan jumlah sangat memadai tapi kami tidak lampirkan disini * Foto: KITLV
Dr S Pamardi-ISI Surakarta
Makalah Diskusi Balai Soedjatmoko