Konferensi dan Festival Sungai Asia : Ihtiar Merajut Kebersamaan

Bertempat di Hotel Pesonna kota Pekalongan, menghadiri Undangan Konfrensi dan Festival Sungai Asia dari tanggal 8 – 10 November 2018. Dihadiri 345 peserta dari 70an komunitas pecinta sungai dan alam se Indonesia. Dari beragam usia, pendidikan, latar budaya dari Aceh, Banten, Medan, Riau, Jawa, Sunda, kalangan Agamawan, Birokrat pusat dan daerah, Akademisi, Seniman, Mahasiswa, Media, Ormas Pemuda dll. Selama tiga hari, saya merasakan aura kebersamaan dengan para aktifis sungai sekaligus keprihatinan. Mengingat hampir semua sungai yang ada di Indonesia dan menjadi sumber air bersih di hampir semua wilayah telah tercemar ringan hingga berat. Sungai telah berubah menjadi air mata daripada mata air.
Di Indonesia terdapat 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai. Sayangnya hampir 75% dari air sungai - yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya–tercemar berat, akibat limbah rumah tangga dan industry yang digelontorkan langsung ke dalam sungai. Dalam sesi diskusi dan curah gagasan di ruang pleno maupun di kelompok terasa aura semangat yang meluap, terkait keprihatianan sekaligus kemarahan akan rusaknya habitat sungai. Bahkan saat penyampaian pandangannyatak jarang ada aktifis dan relawan yang hingga menangis. Sekaligus bingung harus marah ke siapa karena masalahnya sistemik, terstruktur dan masiv serta ada dosa Industri, pemerintah sekaligus juga ada dosa masyarakat.
Di era global, yang juga telah merasuki bangsa Indonesia. Seluruh komponen bangsa tidak bisa lagi bersikap dan bertindak egosentris !. Karena persaingan yang saling mendominasi, untuk kepentingan sepihak dan kelompok. Sesungguhnya hanya akan melahirkan peperangan yang tidak bisa dimenangkan (unwinnable war) oleh siapa pun. Relasi hubungan kuasa yang antoginis membuat kehidupan tidak harmoni dan motif tindakan lebih mengarah pada upaya saling menghancurkan daripada saling merawat dan melindungi.
Fenomena tersebut diatas, masih tergambar dari dialog dengan sesama peserta. Saat ini sepertinya masih hadir dalam konteks kebijakan pusat maupun daerah yang belum sinergis terkait penanganan konservasi sungai. Terlihat nyata antar sesama aparat pemerintah dari pusat hingga 4#Citarum Institute daerah masih saling mempertahankan ego sektoralnya masing masing dan kurang berfihak pada kelestarian alam. Sehingga ihtiar yang dilakukan jadi tidak maksimal dan berdampak signifikan. Sehingga program yang digelontorkan dengan dana besarpun tidak berdampak signifikan. Seperti yang diungkap peserta, yang merasa telah berdosa karena telah mendukung program dana pinjaman 1,2 Trilyun untuk konservasi Citarum, namun tidak signifikan dampaknya.
Juga belum hadirnya sinergi antar komponen strategis bangsa untuk bersama sama total action bagi merawat sungai agar kembali seperti semula. Dalam forum tesebut saya mengajak seluruh peserta yang hadir untuk tetap jalin silaturahmi dan komunikasi, menyatukan hati dan komitmen merawat dan memuliakan sungai. Alhamduliah disepakati hadirnya Forum Komunitas Sungai Indonesia.
Dalam forum tsb, saya menawarkan gagasan konseptual yang diendorse Wantannas, terkait solusi besar terhadap konservasi alam merujuk pada sinergi pentahelix. Konsep modern yang hakekatnya sejalan dengan pitutur Jawa “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, filsafat yang mengandung makna bahwa kerukunan menumbuhkan kekuatan, perpecahan menumbuhkan kerusakan. Sinergi pentahelik juga sejalan dengan kearifan lokal Ranah Minang “Basamo Mako Manjadi.” Istilah Pentahelix merujuk pada kolaborasi 5 unsur subjek strategis yang bersinergi bagi solusi besar untuk merawat dan memuliakan lingkungan yaitu : Akademisi, Business, Community, Government dan Media, biasa disingkat ABCGM. Yang mudah diucapkan namun sulit diimplementasikan.
Di forum tersebut, saya menyampaikan makalah dengan judul “Kebersamaan Mencintai dan Merawat Sungai”. Pentingnya kita semua untuk menggali, menginternalisasi dan mengamalkan kearifan lokal untuk merubah mindset, pola pikir dan paradigma yang benar terhadap alam. Alam adalah ibu pertiwi, merusak dan mengotori sungai dan alamyang dalam kearifan lokal kita bagaikan Ibu kita sendiri, adalah perbuatan yang tidak terpuji dan tercela. Mencintai sungai dan alam dengan sepenuh hati dan merawatnya dengan segenap kesungguhan adalah wujud nyata Bela Negara yang penting saat ini !
Meski masih ada kekurangan dalam penyelenggaraan, dengan belum hadirnya delegasi dari Negara Asia lainnya. Setidaknya telah menyatukan hati para aktifis dan pejuang sungai se Indonesia untuk bersinergi. Untuk saling tukar pengalaman, berbagi inspirasi dan juga membuka pentingnya kerjasama tidak hanya sesama komunitas, juga pemerintah, bisnis, media dan para akademisi untuk bahu membahu dalam merawat dan memuliakan sungai. Agar kembali menjadi mata air, bukan air mata. Semoga !
Oleh Eki Baihaki- Citarum Institute
CitarumNews adalah media komunikasi yang berbasis platform digital yang sedang dikonstruksi oleh Citarum Institute. Masih dalam proses konsolidasi program, teknis dan materi. Mohon dukungan dan saran kontruktifnya ! Mengundang dengan hormat, dukungan tulisan inspiratif Bapak dan Ibu yang terkait dengan problema dan solusi Citarum dan lingkungan umumnya.Salam takjim kami kepada para pejuang lingkungan, Mari bergandeng tangan dan bersinergi