Berita : Srawung Kampung-Kota 2

KBRN Surakarta. Dua dekade lebih, narasi ke-Indonesiaan mengalami banyak perubahan yang bersifat fundamental lewat arus desentralisasi dan demokratisasi. Demikian disampaikan Sosiolog dan penggagas  Srawung Kampung Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret FISIP UNS Surakarta, Akhmad Ramdhon kepada RRI hari ini (Rabu 17/10/2018)  di kampus setempat.
 
Dikatakan, realitas saat ini kampung yang ada, tetaplah potret  gelap dari ruang yang tumbuh terlalu cepat dan melaju hingga tak terjangkau warganya, relasi kampung–kota juga mengalami pergeseran karena pergerakan kota yang membesar dan menempatkan kampung untuk menahan beban dari skenario ruang yang harus tumbuh. Untuk itu, Prodi Sosiologi FISIP UNS  merasa perlu menghadirkan relasi antara kampung dengan tantangannya seperti  berbagai agenda perubahan dalam kegiatan yang dinamakan Srawung Kampung–Kota.
 
Kegiatan melibatkan mahasiswa sebagai anak muda yang juga sebagai bagian dari warga kota," setiap mahasiswa khan menjadi bagian dari warga kota dan mereka juga mempunyai asal usul masing-masing, gagasan kota ke depan, gagasan kampung atau asal-usul mereka, mereka setidaknya punya modal dari proses belajar ini, proses dimana mereka jauh dari kampung dan proses dimana mereka belajar dari kampung-kampung yang lain juga," jelasnya.
 
Sebagai Mahasiswa Prodi Sosiologi, penting untuk mendokumentasikan kampung–kota sebagai bagian dari proses belajar mengajar. Kegiatan berlangsung selama 2 hari (16-17/10/2018), dalam sesi berkumpul dan berbagi beragam pengalaman mengelola kampung–kota dan komunitas, pada Sesi Panel Utama. Selain itu juga digelar sesi berbagi kajian di Public Space FISIP UNS  serta Srawung Buku-Penulis di Area Hutan FISIP yang diisi obrolan tentang Media, Buku & Arsip serta Karya, Penerbitan & Buku sebagai upaya mendorong dunia literasi serta sesi Srawung Bunyi dan harapan (Dyah Supono)
 
Sumber : http://rri.co.id/surakarta/post/berita/585613/pendidikan/fisip_uns_gelar_srawung_kampung_kota.html
 
 
SOLO, KRJOGJA.com-Keberadaan kampung bisa berkembang menjadi sangat politis. Ini terjadi kalau warganya bersatu untuk memperjuangkan kepentingannya. Mereka secara individu menolak menjadi 'sapi perah' kepentingan politik dengan cara praktek money politic. Sebaliknya warga kampung secara bersama membuat kontrak politik untuk menggolkan apa saja yang menjadi keinginannya. Dengan model seperti ini warga kampung  mampu berdemokrasi lebih lama. Mereka melakukan kegiatan demokrasi tidak sebatas di bilik suara.
 
"Dengan menolak money politic dan membuat kontrak politik, warga tetap bisa berdemokrasi pasca coblosan," jelas Gugun Muhammad dari UPC Jakarta pada Srawung Kampung Kota #2 di kampus Fisip Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (16/10/2018). Ketika berlangsung pemilu warga muskin suka dijadikan 'sapi perah'. Mereka dininta memilih dengan imbalan tertentu. Setelah itu mereka ditinggalkan. Gugun tidak ingin hal seperti itu terus terjadi. Karena hal itu tidak bisa mengubah. "Kami mencoba menyatukan suara," ujar Gugun.
 
Ada 125 TPS yang disatukan untuk memenangkan salah satu calon gubernur wakil gubernur DKI. Namun mereka harus menandatangani kontrak politik. Dan sekarang kontrak politik sudah mulai ada wujudnya. Gugun menunjukkan adanya pengaturan becak dan revisi Perda. "Selain itu draf pembangunan kembali kampung Aquarium. Warga terus bisa mengawal kontrak politik. Inilah wujud warga masih terus bisa berdemikrasi," tambah Gugun. Diskusi yang dipandu Akhmad Ramdhon juga menampilkan Endang Rohjiani pegiat di Kali Winongo Yogyakarta dan Sony Waluya pegiat komunitas untuk siaga bencana di Solo (Qom)
 
Sumber : http://krjogja.com/web/news/read/80545/Srawung_Kampung_Cara_Berdemokrasi_Tak_Sebatas_Bilik_Suara
 
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Identitas kampung menjadi satu hal penting dalam penataan kota. Ketika suatu kampung bisa mempertahankan identitas ditengah laju pembangunan, maka keberadaan kampung menjadi pelengkap pembangunan itu sendiri. Hal itu yang mengemuka dalam diskusi Srawung Kampung Kota #2 di yang diselenggarakan oleh prodi Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (17/10/2018). Salah satu narasumber adalah aktivis UPC (Urban Poor Consortium), Gugun Muhammad yang berhasil menata kampung di Jl Tongkol untuk berbenah dan akhirnya tak jadi digusur Pemprov DKI Jakarta.
 
“Kami berbenah, dan kami bernjanji jadi bagian dari solusi, ketika pemprov mau bangun jalan 15 m untuk jalur inspeksi sungai, kami katakan, 5 meter saja, yang 10 meter tetap jadi tempat tinggal warga, dan 5 meter jadi jalan inspeksi,” kata Gugun. Warga di sekitar juga komitmen untuk menjaga sungai . “Kami yang tinggal disitu, kami lebih tahu dari pada petugas yang tidak tiap hari ada di lokasi,” kata dia.
Perjuangannya dalam mempertahankan pemukiman juga dibarengi dengan penataan di pinggir sungai. “Analoginya begini, mau melamar anak orang harus wangi dulu atau wanginya setelah lamaran? Jadi kami berbenah dan kami ngomong ke pemerintah, ini lo kami sudah wangi, sudah berbenah,” ujarnya. Aksi mereka juga dibarengi dengan kontrak politk dengan calon gubernur sewaktu pilkada.

“Kami bikin perjanjian, yang jika ada pelanggaran bisa lari ke perdata, maka perjanjian itu sampai saat ini masih berlaku,” paparnya. Ia menyatakan, suatu kampung jika bersatu dan memiliki konsep yang jelas maka bisa bersinergi dengan pembangunan tanpa harus meninggalkan kampung itu sendiri. Diskusi tersebut dipandu oleh dosen Sosiologi UNS Solo Akhmad Ramdhon. Selain itu hadir juga, Endang Rohjiani pegiat di Kali Winongo Yogyakarta dan Sony Waluya pegiat komunitas untuk siaga bencana di Solo (Imam Saputro)

 
 

Berita Terkait