WC, Tembok & Gotong Royong

WC Kampung: WC umum ini bukan sekedar WC biasa, namun juga punya sejarah berdirinya di Jogopanjanran. Ketika melihat WC umum ini pasti kita berpikir, kenapa di balik rumah-rumah yang besar ini ada juga WC umum di sekitarnya. Adanya WC ini bukan tanpa alasan, WC ini didirikan karena tanah yang ada di sini tidak cocok untuk digunakan sebagai tempat pembuangan kotoran. sehingga WC umum ini dibangun untuk mempermudah warga yang tidak memiliki WC di rumahnya. WC umum ini pada awalnya dibangun pada tahun 1969. Pada awal pembangunannya, WC ini masih berupa sebuah jamban dengan dikelilingi tembok di sisi-sisinya. Pada awalnya WC ini tidak memiliki pintu sebagai penutup WC tersebut, dan juga belum ada bak penampungan airnya. Sehingga ketika ada warga yang ingin menggunakan WC ini harus menimba air dahulu dari sumur yang letaknya tidak jauh dari WC. Sumur yang digunakan untuk menimba air itu sekarang berada tepat di depan rumah Aji, salah satu warga Jogopanjaran.

Tanah yang digunakan untuk pembangunan WC ini bukanlah tanah milik pemerintah sekitar. WC ini dibangun di atas tanah milik seorang keluarga Tionghoa yang bernama Bapak Marsiki. Keluarga Bapak Marsiki ini memberikan tanahnya yang berukuran 20 m² tersebut dengan tujuan untuk kepentingan warga di sekitar tempat tinggalnya. Dalam perkembangannya, WC ini mengalami pemugaran berkali-kali. WC ini telah mengalami pemugaran sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1989, tahun 2000, dan tahun 2012. Pada tahun 1989 WC mengalami perbaikan, yaitu berupa pengadaan genteng dan pemasangan toilet yang baru. Dan kemudian selang 11 tahun WC ini mengalami pemugaran yang kedua, yaitu pada tahun 2000. WC ini dipugar habis-habisan. Pembangunan kembali WC ini dengan bantuan dari seorang warga Tionghoa juga, yaitu Bapak Yahya yang sekaligus yang mendanai pembangunan gapura Jogopanjaran.  Bapak Yahya Dimasto adalah orang yang berderma dalam pemugaran WC ini.

Pada awalnya pemugaran WC ini meniru dari konsep WC yang di hotel-hotel berbintang, dengan pemasangan WC duduk. Namun banyak warga yang tidak setuju, dengan alasan mereka tidak terbiasa menggunakan WC duduk tersebut, dan warga mengalami kesulitan untuk menggunakannya. Kemudian mereka mengajukan protes kepada Bapak Yahya, dan memintanya untuk menggantikannya dengan WC yang seperti sedia kala. Akhirnya WC ini diganti dengan seperti pada semula. WC ini dikelilingi dengan dinding yang terbuat dari marmer, terlihat mewah.

Dari kondisi WC yang seperti ini juga membuahkan hasil, yaitu pada tahun 2001, WC umum ini dinobatkan sebagai MCK terbaik oleh walikota Surakarta Slamet Suryanto. Sekaligus digunakan sebagai peresmian WC umum Surakarta. Kemudian WC ini mengalami perbaikan terakhir, yaitu perubahan di halaman WC yang dahulunya adalah prasati atas penghargaan sebagai MCK berbaik itu dibongkar untuk membangun tempat untuk mencuci sebagai fasilitas pendukung dari WC umum tersebut. Kali ini perbaikannya dengan menggunakan dana dari PNPM, dan dengan tenaga kerja warga di sekitar WC umum tersebut.

WC umum ini tidak terlepas dari perawatan. Pada awalnya warga bersemangat membersihkan WC umum ini secara gotong royong. Namun seiring berjalannya waktu, rasa kepemilikan WC umum oleh warga RW I pun mulai sedikit memudar. Sehingga WC ini menjadi jarang untuk dibersihkan. Sehingga warga memutuskan untuk mencari tenaga untuk membersihkan WC tersebut, yaitu Bapak Wage. Bapak Wage adalah warga pendatang dari desa Bakramat yang dipilih untuk membersihkan WC tersebut. Sehingga dari adanya kerja Pak Wage WC umum ini lebih terlihat bersih kembali. Untuk memberikan upah kepada Pak Wage ini warga pengguna WC ini mengadakan iuran.

Pada pertengahan 2008 Pak Wage meninggal dunia akibat sakit, dan WC ini menjadi kembali tidak terawat selama beberapa bulan. Gotong royong dari para pengguna pun tidak berarti banyak karena hanya dilakukan seminggu sekali. Dan pada akhirnya warga mencari pengganti dari Pak Wage, yaitu Bapak Darno sebagai penjaga sekaligus tukang bersih-bersih di WC ini. Namun pada tahun 2011 lalu, Pak Darno juga meninggal dunia karena usia yang sudah tua dan karena sakit pula. Sehingga WC umum ini sekarang dikelola oleh anak perempuan dari Pak Darno sebagai penerusnya, yaitu Ibu Danurwati.

Untuk memberikan upah pada Ibu Danurwati tersebut, di depan WC umum diberi kotak sumbangan sukarela. Setiap pengguna WC tersebut diwajibkan untuk memberikan bantuannya sebagai dana kebersihan WC. Hasil dari kotak sumbangan sepenuhnya masuk kepada tukang bersih-bersih tersebut. Namun juga terdapat ketentuannya, di mana selain ia memperoleh seluruh isi dari kotak tersebut ia juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya terkait dari WC tersebut. Ketika ada masalah mengenai fasilitas WC tersebut, seperti misalnya lampu maupun kran yang rusak, yang berkewajiban untuk membenahi ataupun menggantinya adalah Ibu Danurwati. Dia memperbaikinya menggunakan uang dari kotak sumbangan tersebut. Hal ini sudah menjadi kesepakatan dari kedua pihak, yaitu dari warga sendiri maupun dari Ibu Danurwati, sehingga hal seperti ini dapat dan masih tetap berjalan hingga saat ini.

Pada tahun 2012 WC ini sempat mengalami kemalingan. Dua pintu yang terbuat dari alumunium, raib dibawa maling. Hal ini membuat warga merasa kebingungan. Mereka tidak dapat menggunakan WC tersebut. Ketika mereka akan menggunakanya mereka akan terlihat dari luar karena pintu yang tidak ada. Dan pada akhirnya atas inisiatif dari Bapak Yanto, WC ini kembali memiliki pintu. Beliau yang bekerja sebagai tukang las, dan membuatkan pintu pengganti untuk WC tersebut. Pintu ini masih ada sampai sekarang, meskipun Pak Yanto sendiri telah meninggal dunia. Pintu ini adalah kenang-kenangan dari beliau.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa WC umum ini tidak hanya sebagai tempat untuk membuang hajat ataupun mandi saja. Namun juga dilengkapi fasilitas untuk mencuci yang multi fungsi. Tidak hanya untuk mencuci pakaian saja, namun juga untuk mencuci perabot rumah tangga. Seperti halnya yang dilakukan oleh Mbah Sri ini. Nampak pada gambar di samping adalah Mbah Sri yang sedang mencuci perabot dapurnya, nampan. Sehingga dapat dilihat betapa sangat berartinya keberadaan dari WC umum ini bagi warga disekitarnya. WC ini membantu kelancaran aktivitas dari warga di sini. Dalam satu pekarangan rumah keluarga Ibu Sartini ini hanya mempunyai satu sumur saja. Padahal terdapat lebih dari tiga kepala keluarga yang tingga di sini. Sehingga keberadaan dari WC ini sangat membantu warga, terutama untuk menghemat waktu mereka, tidak perlu antre untuk menggunakan sumur yang hanya ada satu tersebut.

Dalam penggunaan WC umum ini bukanlah suatu masalah bagi warga. Warga tidak perlu antre dalam menggunakan WC ini, karena secara sendiri hal ini telah terstruktur pada warga penggunanya. Biasanya orang-orang tua mengalah kepada anak-anak yang hendak memakai kamar mandi ini sebelum ke sekolah. Karena kepentingan anaknya merupakan sesuatu yang penting, para warga mendahulukan anak-anaknya untuk menggunakan WC ini. Sesekali juga terdapat antrean di sini, namun hal ini tidak menimbulkan konflik bagi warga. Warga lebih mementingkan untuk mengalah daripada ribut hanya untuk masalah sepele saja.

Tembok Tinggi: Ketika mulai memasuki wilayah Kampung Jagapanjaran mungkin kita sudah dapat memahami bagaimana masyarakatnya. Masyarakat di kampung ini sudah dapat terlihat dari bangunan-bangunan rumahnya. Ketika melihat kampung ini, pasti semua orang tidak terpikir kalau itu adalah sebuah kampung. Bangunannya sangatlah besar, tinggi, dan mewah, mirip seperti rumah-rumah orang kota dengan tembok-tembok yang mengelilingi rumahnya, yang memiliki tinggi yang sama dengan rumah tersebut. Tidak ada rumah yang terbuka, semua tertutup dengan pintu-pintu gerbang yang terbuat dari besi tebal, dan bahkan ada pula yang berlapis dua.

Tembok-tembok dan pintu-pintu besi ini disebut dengan tembok pemisahh solidaritas. Ini terbukti ketika pada suatu malam kami berjalan berkeliling kampung ini. Kami melihat ada seorang pembantu rumah tangga yang sedang membukakan pintu untuk majikannya keluar dengan mobilnya. Tepat di samping rumahnya ada segerombolan atau beberapa orang tetangganya yang sedang mengobrol bersama. Satu hal yang membuat kami diam tercengong keheranan adalah sama sekali tidak ada sapaan dari pemilik rumah yang hendak keluar tadi dengan beberapa orang yang sedang bercengkrama tadi. Bahkan untuk membuka kaca mobil dan membunyikan klakson mobil sebagai tanda sapaan pun tak ada. Padahal jelas-jelas mereka adalah tetanggaan samping rumah. Sehingga ketika mereka ingin pergi ya mereka tinggal pergi saja, tanpa menghiraukan samping kanan maupu kirinya.

Ternyata hal tersebut merupakan hal yang sudah biasa bagi mereka. Bahkan ketika kami melihat rumah para ketua RT ataupun RW pun tak kalah demikian. Rumah merekapun juga terdapat pagar besi yang tinggi dengan tembok yang sedemikan tinggi pula. Pendapat warga kampung sini pun sama, mereka juga kurang berinteraksi ataupun bersosialisasi dengan warga sekitar, sekalipun mereka itu adalah orang penting di kampung ini. Sikap indivdualistis dan cenderung tertutup ini tidak hanya tertanam dalam diri masyarakatnya saja, namun juga pada para pmimpin kampung ini.

Namun, di tengah-tengah bangunan yang sedemikian megah ini masih terdapat satu rumah milik ketua RT yang masih bersifat terbuka, dan berbeda dengan rumah-rumah lain yang dikelilingi tembok tinggi nan besar, yaitu pemilik rumah yang sekaligus Ketua RT 02 RW 01, yaitu Ibu Sri Sumarti. Rumah beliau sangat berbeda jauh dengan rumah para ketua RT yang lainnya. Entah apa yang menjadi alasan mereka membuat tembok-tembok yang sedemikian besar dan tinggi ini. Apakah untuk alasan keamanan atau untuk alasan lain. Mengingat di sekitar kampung tersebut masih banyak sekali adanya preman-preman yang sering berkeliaran dan sering melakukan tindakan kriminal.

Tembok-tembok itu digunakan sebagai keamanan, namun pernah juga suatu hari terjadi peristiwa perampokan di sana. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Margono, pada suatu hari dulu katanya ada perampokan di salah satu rumah warga, polisi juga sudah mendatangi rumahnya. Warga juga tidak ada yang tahu, mereka baru mengetahui ketika sudah ada polisi yang ramai di rumah tersebut. Sedangkan yang erlintas dipikiran Bapak Margono tersebut adalah “bagaimana perampok itu dapat masuk”, padahal tembok rumah juga sudah sangat tinggi dan hampir sama dengan tinggi rumahnya. Kemudian juga kalau ada peristwa seperti tadi mereka juga sulit meminta bantuan dari warga sekitar, karena tembok tersebut dapat menghalangi upaya bantuan dari warga sekitarnya.

Tembok-tembok yang menjulang tinggi tersebut memiliki banyak sekali sisi negatif yang dapat muncul, misalnya dari segi keamanan, seperti kejadian yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal itu merupakan suatu dampak dari pembangunan tembok yang tinggi. Selain itu juga ketika terjadi suatu bencana yang tidak terduga, seperti misalnya kebakaran maka warga sekitar sulit untuk mengetahuinya, karena mereka tidak mampu menjangkau penglihatannya pada dalam rumah tersebut karena tertutup oleh adanya tembok yang tinggi. Sehingga aktivitas pemilik rumah juga tidak dapat dilihat oleh para tetangganya seperti masyarakat desa sewajarnya.

Terlepas dari alasan ini, para pemilik rumah juga tidak memikirkan efek lain dari pembangunan tembok yang besar ini. Mereka tidak memikirkan bagaimana mereka akan berinteraksi dengan tetangga di sekitar rumahnya. Mau melihat keadaan sekitar rumahnya pun mereka sulit, mata mereka tertutup dengan tembok tinggi tersebut. Tembok-tembok ini tidaklah menguntungkan bagi pemiliknya. Ini terlihat ketika sedang terjadi suatu hal di dalam rumah, ini membuat tetangga sekitar tidak mengetahuinya dan sulit meminta pertolongan. Bandingkan dengan rumah penduduk asli di sini. Sangatlah nampak berbeda sekali, rumah ini penuh dengan suasana terbuka dari masing-masing anggota keluarga. Mereka berkumpul, ngobrol bersama dengan tetangga yang dapat dikatakan masih satu pekarangan dengannya.

Gotong Royong: merupakan salah satu upaya menunjukkan rasa kebersamaan masyarakat. Gotong royong merupakan budaya warisan masyarakat Indonesia. Namun seiring perkembangan zaman, rasa gotong royong ini mulai memudar dan bahkan cenderung mulai punah. Seperti halnya di kampung Jogopanjaran ini, gotong royong memang sudah ada dari awal kampung ini berdiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penduduk dari Kampung Jogopanjaran ini mayoritas adalah pendatang, yaitu warga etnis Tionghoa.

“Mau kumpul aja susah, apa lagi mau gotong royong mbak. Kadang-kadang saya juga sedih sama orang-orang di sini.” cetus pak Margono.

Seperti yang di jelaskan oleh Bapak Margono bahwa gotong royong  dahulunya juga ada di Jogopanjaran ini, tepatnya sebelum memasuki tahun 98-an. Pada saat itu semua masyarakat turun di dalam masyarakat untuk menjalankan gotong royong bersih desa. Tidak hanya warga-warga asli saja, namun para pendatang juga ikut serta untuk melaksanakannya. Seluruh masyarakat bekerja bersama-sama tanpa terlihat mana yang kaya dan mana yang tidak. Mereka saling tolong menolong mengerjakan setiap pekerjaan. Rasa kebersamaan sangat nampak pada waktu itu.

Setelah tahun ’98, gotong royong di kampung Jogopanjaran ini mulai tidak ada. Bukan dengan cara bertahap gotong royong ini mulai hilang dalam masyarakat, namun hilang begitu saja dengan sendirinya. Warga pendatang yang dulunya masih sering keluar untuk bekerja bersama dalam kegiatan gotong royong namun sekarang mereka sama sekali tidak pernah ikut serta. Hanya warga asli saja yang masih bertahan dengan kegiatan gotong royong ini. Dari hal tersebut sehingga yang terjadi di dalam masyarakat adalah adanya tukang bayaran. Ini berakibat kegiatan gotong royong ini menjadi tidak rutin lagi dilakukan. Namun hanya dilakukan setahun sekali menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

“Sampai-sampai di sini itu udah 2 tahun gak ada tirakatan buat peringatan 17-an gitu mbak. Saking sibuknya warga,” tutur Pak Margono.

Sehingga untuk menjalankan gotong royong pun dirasa sangat susah. Hal inilah yang mengakibatkan adanya tukang bayaran untuk menjalankan gotong royong. Tukang ini berasal dari kampung-kampung sekitar. Karena jika tidak ada inisiatif mencari tukang maka gotong royong tidak akan pernah terjadi. Sehingga keberadaan tukang-tukang ini sangatlah membantu warga yang masih memiliki jiwa kegotong royongan.

Ketika gotong royong berlangsung, warga membawa nampan sambil berkeliling kampung untuk meminta dana sumbangan kepada warga yang tidak keluar untuk ikut serta bergotong royong sebagai upah tenaga kerja tersebut. Biasanya sumbangan tersebut besarnya adalah sukarela, sebagai ganti warga yang tidak ikut serta keluar untuk mennjalankan gotong royong. Kegiatan gotong royong yang sedemikian ini menjadi rutin terjadi di Jogopanjaran. Karena kepedulian warga terhadap kampungnya sendiri sangatlah diperlukan untuk menjaga kelestarian dari kampung tersebut.

Para warga asli di sini sangat ingin kampung mereka kembali seperti dahulu. Kampung yang penuh dengan suasana kebersamaan, kegiatan-kegiatan dijalankan bersama-sama, maupun untuk bercengkrama bersama di waktu senggang. Suasana-suasana yang seperti itulah yang seringkali dirindukan para warga di sini. Terutama warga kampung yang sudah menginjak usia tuanya.

 

Bagian II:
Lintang Praharying S., Sayyidah Azizah R., Muh. Juliarahman,                  
Priscillia Widyastuti, Indah Noor Kumalasari, Suada Budi Setyawan,                                        
 
Aji Pribadi Gumilar, Nico Pratama

Berita Terkait