Aku dan Kampungku

Uun Nurcahyanti

Ada orang yang terlahir sebagai guru ada juga yang terlahir sebagai pengelana. Aku tak termasuk golongan pertama. Pengembaraanku dimulai dari sebuah wilayah perkuburan di daerah Precetan, Solo. Sebagai pencari burung. Adalah Pakde Mardi, kakak ibukku, yang membawaku ke area pengelanaan itu. Bedil manuk dan pulut menjadi barang-barang yang tak asing bagiku saat umurku belum lagi genap lima tahun. Dari perkuburan beranjak ke papringan dan wilayah-wilayah hutan yang masih berimbunan kala itu. Koleksi burung peliharaan kamipun semakin bervariasi dari minggu ke minggu.

Mei 1978 ibuku pergi mengaji dan tak juga pulang hingga saat ini. Teriakan-teriakan ibu memanggil kami pulang, mandi, dan makan tidak pernah lagi terdengar sejak puluhan orang mengantarkan keranda bertutup kain hijau siang itu. Pakde Mardi menurunkan semua sangkar burung. Sambil memelukku dilepasnya satu persatu burung-burung hasil buruan kami itu. Burung Jalak Putih kesayangan Pakde menjadi burung pertama yang dilepaskan. Pakdeku yang galak itu tak mengeluarkan kata-kata sama sekali. Airmatanya melimbak. Menjadi kata tanpa suara. Aku hanya diam menyaksikan. Merekam segala yang tak kupahami dalam memori masa kecilku. Kampung Precetan yang riuh tiba-tiba terasa hampa entah mengapa. Lalu bapak mengajakku berkelana. Kali ini ke Cibinong. Kepada seorang saudara jauh aku dititipkan. Hampir satu tahun aku melewati masa kecilku disana. Berkelana mengakrabi hidupku sejak masa kanak-kanak.

Setahun berlalu dan akupun dijemput waktu untuk kembali pulang. Kampungku jadi terasa sangat sunyi. Cibinong dan Jakarta kala itu telah ramai dan modern. Jalan bertumpuk-tumpuk. Kampung Precetan masih dilingkupi papringan dan tanah perkuburan. Meski berada di jantung kota dan dekat dengan Bon Rodjo tapi dibandingkan Cibinong ia tak ada apa-apanya. Kembali ke Sala berarti kembali ke papringan dan bebas bermain bersama banyak kanak-kanak lainnya. Hal yang tidak kutemui saat di Cibinong. Rumah Mbah Sayono yang petinggi polisi berpagar besi dan berada di pinggir jalan besar. Pagar selalu tertutup rapat dan terkunci. Setiap hari aku hanya bermain sendirian. Tak ada anak-anak yang ku kenal selain teman-teman TK-ku. Pulang bagiku saat itu adalah merajut kembali pertemanan.

Bahasaku berbeda

Setahun di Cibinong membentuk raga bahasaku secara berbeda. Saat pulang aku baru menyadari kalau aku tidak lagi bias berbahasa Jawa. Aku paham setiap ada orang yang berbicara dalam Bahasa Jawa. Akupun menjawab setiap obrolan tapi dalam Bahasa Indonesia. Aku tak menyadari bahwa bahasaku berbeda. Saat setiap aku bicara pasti semua orang tertawa. Mereka bilang ”bahasa kok mlayu wae, alon-alon.” Aku tidak paham maksud orang-orang itu. Saat bermain di papringan dan minum cao bersama banyak teman yang kurasakan hanya keceriaan meski bahasa kami tak sama. Manusia kanak-kanak memang memiliki rasa pemahaman yang tinggi. Perbedaan bahasa tak menjadi masalah untuk berkomunikasi dan saling mengerti. Hal yang kupahami beberapa bulan kemudian saat di SD diperkenalkan pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Ternyata teman-teman sebayaku berbahasa Jawa sementara aku berbahasa Indonesia.

Kampung Precetan terletak di belakang Pasar Kembang dekat Taman Sriwedari. Banyak rumah yang bedesak-desakan disitu. Rumahku tidak termasuk di wilayah itu. Di pekarangan luas kami ada tiga rumah saja. Rumahku paling depan. Pohon Dadap Serep berjejer memagari rumahku selain daun Unting-unting dan daun Sligi. Sepokok mawar berbunga biru besar juga menghiasi halaman depan rumah orangtuaku yang terbuat dari kayu. Pohon Duwet Putih dan jambu hijau meneduhi pekarangan itu. Juga tiga pohon kelapa dan pohon Pace alias Mengkudu. Selain papringan yang selalu ramai dengan ibu-ibu yang petan sambil mengobrol, pekarangan rumahku menjadi tempat favorit anak-anak untuk bermain. Suara mesin jahit, mesin obras dan lagu Dangdut selalu meramaikan halaman rumahku. Siang dan malam nyaris tak berbeda. Permainan lompat tali dan betengan menjadi nyanyian waktu, apalagi saat bulan purnama. Permainan ngencup kupu dan lagu Padang Mbulan beriak semarak.

Saat itu rumahku termasuk salah satu rumah yang memiliki televisi. Tetangga kanan kiriku sebenarnya juga pasti memilikinya karena rumah mereka terbuat dari batu bata dan gedongan. Rumahku hanya terbuat dari kayu dan gedek. Banyak tetangga yang ikut menonton televisi di malam hari. Kami yang anak-anak hanya sesekali nimbrung, selebihnya  asyik bermain di halaman rumahku yang luas. Salah satu acara kesukaan yang pasti ditonton oleh banyak orang adalah pertandingan bulutangkis dan tinju. Aneka komentar dan jerit ketakjuban menjadi kenangan yang tidak mudah dilupakan. Memori lain dari kisah televise hitam putih kami itu adalah accu. Ya, saat itu energi yang menopang layar tivi tetap bercahaya adalah air accu. Bila ternyata air accu lupa belum diisi dan persediaan menipis maka gambar dilayar tivi semakin lama akan semakin mengecil. Gepeng dan akhirnya membentuk garis lurus lalu mati.

Pindahan

Suasana damai dan guyub ini tak bertahan lama. Akhir kelas satu SD, ada peristiwa perpisahan yang tak bisa kulupakan. Yaitu perpindahan tetangga-tetangga dikampung yang berdesakan itu. Truk-truk berdatangan untuk mengangkuti barang-barang. Seluruh penghuni kampong precetan jadi sibuk dalam beberapa hari lamanya. Teman-teman sepermainanku tampak sumringah karena mau pindah rumah. Pindah rumah berkecambah harapan. Mungkin itu yang terbersit di hati mereka. Aku sendiri dilanda gulana. Kehampaan saat ibuku pergi mengaji itu kembali hadir. Dua tahun lalu aku yang meninggalkan Precetan, saat ini teman-temanku yang meninggalkanku. Cemani menjadi kampung baru mereka dan aku tertinggal di Precetan bersama papringan yang tiba-tiba seperti lengang. Sore tak lagi penuh rambut panjang para ibu, celoteh mereka dan disertai kenangan kutu-kutu.

Tak lama kemudian rumah-rumah kosong tersebut diambrukan. Tanah menjadi terasa lapang tanpa bangunan rumah. Beberapa bulan kemudian pagar seng berdiri mengitari tanah tersebut. Truk bangunan sibuk keluar masuk. Kesenyapan berganti suara aneka mesin yang ditingkahi gesekan pasir dan batu-batu yang dipecah. Sibuk dan ramai tetapi senyap.

Tahun berikutnya giliran kami yang pindah. Bersamaan dengan hilangnya papringan tempat main masa kecilku dulu. Katanya tanah luas berhias pohon bambu yang dipagari tanah pemakaman tersebut telah dibeli orang. Kami pindah ke pinggir kota bagian selatan, daerah Baron Gedhe. Tak lama kemudian tanah perkuburan itu juga dibongkar. Tempatku belajar menembak dan menjerat burung bersama Pakde Mardi itu tak akan bisa kusambangi lagi, disana akan berdiri SD Inpres. Menjelang akhir kelas tigaku, SD tersebut sudah terbangun dan diresmikan dengan meriah.

Ada sedikit kesedihan saat kabar pindah rumah diberitakan bapak. Pindah berarti tak lagi bisa sering-sering main ke Bon Rodjo. Melihat bonbin alias kebun binatang yang terdapat di dalamnya. Tak bisa sering-sering menikmati Segaran yang berhias bunga teratai dan perahu-perahu. Bakal jarang melepas senja dengan berdebar menanti kereta api lewat di depan Taman Sriwedari. Tak ada lagi adegan membeli jenang grendul di Pasar Kembang yang penuh sesak. Bau khas Pasar Kembang yang berlamur rempah dan aneka kembang setaman akan menguap sedikit demi sedikit. Segala baju kenangan itu akan lapuk atau teringkus oleh sebungkus kata perpindahan. Kembali sedikit mengelana.

Kampung tanpa papringan.

Tiga tahun setelah meninggalkan Precetan ada kabar bahwa papringanku bakal dihilangkan. Ditempat tersebut akan didirikan gedung olahraga. Tiba-tiba ingatanku berlayar ke sebuah makam yang dulu kami anggap keramat. Makam itu telah rengkah-rengkah dijilati cuaca. Makam Mbah Precetan kata orang-orang dewasa sambil berbisik atau setengah berbisik. Beliau adalah pendiri Kampung Precetan. Kuburannya saja bertuah. Setiap hari ada orang yang mengirimi kembang setaman di nisan sederhana itu. Apakah makam itu bakal dibongkar? Seingatku makam itu di sebelah utara tanah papringan. Menyatu dengan tanah itu.

Konon makam itu telah diupayakan untuk dipindahkan, tetapi selalu gagal. Akhirnya makan tersebut dibiarkan saja dan diberi satu petak sederhana. Gedung tersebut berdiri megah menggantikan tanah papringanku dulu. Tanah itu tetap ramai karena sering menjadi ajang kompetisi. Bedanya, jika hendak mtereguk keramaian di tanah tersebut saat ini mesti melewati loket karcis. Tak ada lagi jerit kegirangan anak-anak bermain lompat tali, engklek atau gobak sodor. Tak ada lagi rambut-rambut panjang yang disuri dan adegan mencari tuma.

Hal lawas itu telah berganti dengan permainan professional dimana para pemainnya bersepatu. Kompetisi basket, bulutangkis dan sejenisnya menggantikan memori si tua. Siapa saja tetap boleh masuk seperti yang terjadi di masa lalu. Tapi ya itu, kudu membayar dulu. Ada tiket tanda masuk yang mesti dibawa Mbah Precetan dengan takzim tetap disana menyaksikan kulit-kulit perubahan itu terjadi. Entah bangga, entah lara.

 

Berita Terkait