Tarung Bebas Pasar Adat, Pasar Tradisional dan Minimarket

Nazrina Zuryani

Pasar rakyat di kotamadya Denpasar tersebar di penjuru angin; utara, barat, selatan dan timur yang jumlahnya sekitar 59 Pasar (tercatat 17 buah pasar adat/desa pakraman yang merupakan keunikan kota Denpasar, sisanya adalah pasar tradisional) dan 295 minimarket entah berizin ataupun bodong. Maraknya pertarungan antara layanan tradisional (transaksi tawar menawar) di Pasar dengan gerai minimarket yang harganya serba pasti, telah diteliti Adnyana (2013) dengan mengkritisi proses marginalisasi pedagang kecil akibat pertumbuhan minimarket Circle K di kota Denpasar. Tidak hanya Circle K yang menyebar keseluruh pelosok kota tetapi juga gerai Indo Mart, Alfa Mart, Coco Mart, Alfa Midi, M Juice, Lawson dan Seven Eleven dengan perangkat sejenis café tempat nongkrong anak muda maupun orang dewasa, serta nama minimarket lain seperti Nadi Mart, Q-Mart, Mini Mart dll. Selain minimarket ini, beragam Department Store, Mall dan Hypermart menawarkan aneka produk konsumtif di seantero kota Denpasar.

Di tengah kota yaitu wilayah Denpasar Barat, setidaknya 8 Pasar tradisional menawarkan objek wisata yang unik khas rakyat namun tetap memenuhi selera wisatawan. Lokasi ke delapan pasar ini tidaklah sangat berjauhan terutama Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, (termasuk pasar Senggol Kumbasari),  saling berdekatan dipisahkan oleh sungai (Tukad Badung) dengan jembatan yang menghubungkan kedua pasar adat dan pasar tradisional ini. Pasar Badung terletak di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Kawasan Gajah Mada yang merupakan salah satu kawasan perdagangan ‘Suci’ dengan gaya klasik toko-toko emas kota Denpasar.  Pasar Badung juga merupakan salah satu pasar rakyat terbesar di Denpasar, masih ramai dikunjungi masyarakat yang ingin berbelanja dari pagi hingga sore hari. Malam hari-pun pasar ini dipenuhi mobil-mobil pick up yang membawa hasil bumi. Masyarakat tidak merasa enggan mengunjungi Pasar Badung. Mereka menganggap Pasar Badung merupakan salah satu pasar tradisional yang menyediakan kebutuhan rumah tangga yang lengkap. Selain itu juga harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau. Tradisi tawar menawar masih terlihat alamiah, baik masyarakat yang berbelanja maupun para wisatawan mancanegara dan domestik pun tidak enggan untuk berbelanja Pasar Badung.

Bersebelahan dengan pasar Badung terdapat pasar seni Kumbasari yang menjual produk seni khas Bali, Pasar Badung dan Pasar Seni Kumbasari merupakan ikon pasar rakyat yang terkenal sejak dahulu kala. Adanya Bangunan yang bertingkat membuat Pasar Badung dan diseberangnya Pasar Seni Kumbasari tidak terlihat kuno karena masih menyimpan gaya kontemporer arsitektur Bali. Menyeberang ke Jalan Sumatra, toko-toko tekstil beraneka ragam menuju ke arah taman Puputan yang berseberangan dengan kediaman Gubernur Bali. Taman Puputan ini dikenal sebagai alun-alun taman kota yang dilengkapi dengan Pura Jagatnata sebagai Pura terbesar di kota Denpasar.

Konsep Triangga dalam penataan bangunan Bali adalah tiga batang tubuh; atas, tengah dan bawah yang selaiknya membuat Pasar Badung semakin terlihat modern. Jiwa tradisonalnya terletak pada perilaku transaksi konsumen dan model pembelanjaan barang yang beraneka ragam tersedia termasuk berbagai bentuk sesaji (sajen atau banten) untuk para Dewa. Sayangnya bagi sebagian masyarakat Bali urban, menilai bahwa pergi ke pasar rakyat dewasa ini menjadi hal yang membosankan dan kurang efisien. Tanpa mereka sadari bahwa mereka mulai terhegemoni oleh gerai-gerai modern. Adanya super market, hypermart dan gerai-gerai modern membuat sebagian masyarakat menjadi enggan untuk datang ke pasar tradisional. Memang pasar modern (super market, hypermart, minimarket) menyediakan tempat yang lebih bersih, nyaman, modern dan  penataan barangnya dibuat agar konsumen mau membeli karena mendapat potongan dengan kartu anggotanya.  Namun tanpa konsumen sadari bahwa mereka telah dihegemoni oleh gerai  modern tersebut. Kuota yang dipersyaratkan oleh Walikota dengan Perwali No. 9 tahun 2009 telah dilanggar dan merebaknya jumlah gerai minimarket bak jamur di musim hujan telah  membuat masyarakat lebih memilih berbelanja ke super market/minimarket dari pada ke  pasar adat ataupun pasar tradisional.

Penganut agama Hindu di kota Denpasar menyadari salah satu kelemahan dari Super Market/gerai modern yaitu pasar modern yang sedang ngetrend ini belum mampu menyediakan sarana dan prasarana upacara. Pasar Badung mampu menyediakan sarana dan prasara upacara yang cukup lengkap. Mau tidak mau masyarakat tetap akan berbelanja ke Pasar Badung, karena sarana dan prasaran upacara yang lengkap ada di Pasar Badung.  

Dari segi organisasi dapat dilihat bahwa Pasar Badung memiliki organisasi yang terstruktur dilihat dengan adanya pengelola PD Pasar Badung. Dengan demikian jelaslah bahwa Pasar Badung sudah masuk struktur organisasi pemerintahan kotamadya Denpasar. Organisasi tersebut yang mengatur mekanisme yang ada di Pasar Badung. Walaupun Pasar Badung merupakan Pasar tradisional namun didalam hal pengelolaaannya Pasar Badung termasuk modern karena aparat pemerintahan kotamadya mengatur tata kelola Pasar Badung tersebut.

Aspek etik  yaitu masyarakat kota Denpasar tidak semuanya mengetahui bagaimana mekanisme organisasi yang ada di Pasar Badung. Kebanyakan mereka tidak mengetahui secara pasti bagaimana pengelolaan Pasar Badung. Perilaku konsumen pasif membatasi keingintahuan bahwa Pasar Badung memiliki organisasi yang terstruktur. Sebagai bagian dari masyarakat perkotaan, mereka tidak mengetahui dengan persis bagaimana organisasi yang ada memutar laju pengelolaan Pasar Badung.  Hal tersebut dikarenakan juga sikap acuh dan cuek masyarakat yang tidak mau mencari informasi dan memahami bagaimana organisasi yang ada di dalam Pasar Badung. Mereka hanya datang ke pasar Badung untuk membeli sesuatu yang mereka butuhkan, tanpa mengetahui mekanisme pasar yang ada di dalamnya.

Aspek emik bahwa para pedagang dikenakan pungutan atau iuran setiap harinya. Pungutan yang dikenakan oleh petugas ialah berbeda-beda setiap harinya. Dari wawancara yang kami lakukan kepada para  pedagang, ada pedagang yang mengatakan bahwa pungutan tersebut dilakukan perhari, perbulan dan pertahun. Para pedagang disamping harus membayar kiosnya selama setahun namun juga harus membayar setiap harinya berbeda besarannya dan setiap bulannya juga berbeda.  Pedagang yang berjualan di Pasar Badung tidak semuanya memakai kios. Pedagang yang berada di kawasan gedung yang bertingkat, rata-rata menyewa kios. Namun ada beberapa diantara mereka yang berjualan hanya dengan menggunakan sarana meja saja. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pengelolaan Pasar Badung tidak sepenuhnya berjalan optimal, karena masih ada beberapa para pedagang yang tidak memiliki tempat khusus untuk berjualan.

Aspek estetika yang dapat dilihat  ialah adanya tawar menawar yang dilakukan diantara pedagang dan pembeli. Proses interaksi yang dilakukan antara pedagang dan pembeli tersebut menimbulkan adanya aspek estetika dalam komunikasi antar personal. Para pembeli yang terkadang menggunakan bahasa Bali didalam menawarkan suatu barang, agar mendapatkan barang tersebut dengan harga yang lebih murah. Adanya fenomena tersebut terlihat bahwa adanya keunikan yang terjadi di Pasar Badung. Tanpa pembeli sadari telah melakukan interaksi sosial dengan pedagang melalui proses tawar menawar yang dilakukannya. Dengan adanya proses interaksi tersebut, membuat sedikit keuntungan yang didapat oleh para pedagang. Mereka bisa sekalian mengajak para pembeli tersebut sebagai langganan mereka. Pedagang terkadang menyetujui tawaran harga yang diajukan oleh pembeli, walaupun mereka memperoleh untung yang sedikit. Hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah bagi pedagang, yang penting mereka mendapatkan langganan yang tetap sehingga dagangan mereka bisa laku terjual karena telah saling mengenal.

Fenomena kemiskinan juga dapat dilihat di Pasar Badung.

Aspek Etik yang dapat dilihat secara kasat mata adalah banyaknya anak-anak yang dibawah umur yang harus ikut bekerja sebagai “Tukang Suun”. Tukang Suun adalah pekerja dengan menyediakan keranjang untuk belanjaan yang akan dijunjung di atas kepala. Untuk jasa menjunjung belanjaan ini, setiap anak mendapat upah antara Rp 3000 hingga Rp 10 000. Adanya tukang suun merupakan salah satu fenomena kemiskinan yang ada di Pasar Badung. Fenomena tersebut berasal dari urbanisasi  anak dari keluarga miskin yang tidak mampu membayar biaya pendidikan. Mau tidak mau mereka harus membantu orang tua untuk menghidupi keluarga mereka. Hal yang bisa mereka lakukan ialah sebagai tukang suun.

Diusia antara 7 hingga 15 tahun yang tergolong masih muda tersebut seharusnya anak-anak bermain bersama teman-teman sepermainan mereka dan menempuh jenjang pendidikan. Tapi apa daya kehendak alam berkata berbeda, anak-anak itu harus membantu orang tua mereka untuk mencari nafkah bagi kelangsungan hidup keluarga mereka. Memang tidak hanya anak-anak dibawah umur saja yang menjadi “tukang suun”. Orang dewasa, khususnya perempuan dan remaja pun banyak yang menjadi tukang suun. Latar belakang merekapun sama halnya dengan anak-anak yang menjadi tukang suun. Faktor ekonomi dan kemiskinan struktural yang membuat mereka mau tidak mau harus bekerja menjadi tukang suun.

Aspek Emik dari para pedagang yang ada di Pasar Badung, terekam rasa kasihan kepada anak-anak yang bekerja sebagai tukang suun tersebut. Mereka menilai bahwa anak-anak itu seharusnya menikmati masa kanak-kanaknya bermain bersama teman-temannya, bukan malah dipekerjakan untuk membantu mencari nafkah bagi kelangsungan hidup keluarga mereka. Selain itu juga pedagang sedikit mengeluhkan bahwa masyarakat kini sudah mulai berkurang minatnya datang ke Pasar Badung. Mereka menilai bahwa hal tersebut terjadi karena masyarakat lebih memilih berbelanja di pasar modern ketimbang pasar tradisional. Mereka kawatir bahwa dagangan mereka tidak akan habis, karena berkurangnya minat pembeli. Hal tersebut membebani para pedagang, belum lagi mereka harus membayar iuran setiap harinya. Pedagang semakin merasa terbebani oleh hal tersebut.

Aspek estetika yang dapat dilihat ialah fenomena tukang suun merupakan fenomena unik yang ada di Pasar Badung. Banyaknya tukang suun yang ada membuat Pasar Badung memiliki keunikan tersendiri nan menyamarkan aspek estetis kota Denpasar. Di tengah era globalisasi ini ternyata masih adanya layanan tukang suun tersebut. Tuntutan ekonomi yang membuat anak-anak mengambil segala jenis pekerjaan. Tukang suun menjadi salah satu pilihan pekerjaan anak, remaja dan kaum perempuan disamping bagi orang dewasa menjadi pedagang sun (berdagang dengan menjungjung di kepala).  Fenomena ini tidak dapat ditemukan didaerah lain yang ada di luar Bali.

Dapat disimpulkan bahwa banjirnya berbagai ragam rupa minimarket di kota Denpasar, tidak menisbikan kehadiran pasar adat dan pasar tradisional. Pasar Badung masih merupakan salah satu pasar tradisional terbesar yang ada di Kota Denpasar. Pasar Badung kini sudah menjadi salah satu objek pariwisata karena lokasinya berdekatan dengan pasar seni Kumbasari. Pasar Badung memiliki oraganisasi pengelolaan yang diatur dalam tata kelola perkotaan. Walaupun Pasar Badung berada di tengah Kota Denpasar, namun dapat dilihat adanya fenomena kemiskinan. Pemerintah seharusnya tetap menjaga eksistensi Pasar Badung. Pemerintah memang sudah membuatkan sarana parkir yang lebih luas di Pasar Badung untuk menampung kendaraan pengunjung. Namun perlu ditingkatkan lagi upaya tersebut agar masyarakat kembali lagi ingin datang ke Pasar Badung. Pemerintah perlu memperbaiki Pasar Badung sehingga terlihat lebih menarik. Walaupun Pasar Badung merupakan pasar tradisional namun bukan berarti penataannya terkesan seadanya dan semrawut. Selain itu juga tidak hanya pemerintah yang berperan disini, masyarakat pun memiliki kontribusi untuk menjaga warisan budaya agraris ini. Mayarakat seharusnya tetap menjaga keunikan Pasar Badung agar tetap eksis ditengah arus modernisasi dan globalisasi maraknya gerai-gerai modern entah itu minimarket ataupun super market.

 

Nazrina Zuryani- Dosen FISIP-Sosiologi, Universitas Udayana

 

Berita Terkait