Solo Kota Layak Anak (?)

Akhmad Ramdhon

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, semenjak tahun 2006 merancang dan mengujicobakan program pengembangan Kota Layak Anak [KLA] di Indonesia. Program KLA menjadi sebueah realisasi atas komitmen negeri ini unutk mengedepankan arus utama  dan kesadaran atas pentingnya anak sebagai investasi atas masa depan. Kota Layak Anak sendiri merupakan program mengupayakan kebijakan untuk memberikan pelayanan, perlindungan dan upaya penyejahteraan bagi anak dalam beberapa aspek : pendidikan, kesehatan, sosial, hak sipil-partisipasi, perlindungan hukum, ketenagakerjaan, dan infrastruktur. Kebijakan tersebut pada awalnya diujicobakan di beberapa tempat, sebagai upaya awal untuk melakukan rintisan.

Selain Surakarta di Propinsi Jawa Tengah, kota-kota lain seperti Sidoharjo, Kutai Kertanegara, Gorontalo dan Jambi menjadi pelaksanaan uji coba tersebut.  Semenjak periode 2006, Surakarta telah mencanangkan sebagai Kota Layak Anak yang berarti akan menempatkan semua kebijakan yang ada akan orientasi pada komitmen untuk memberi jaminan bagi pengembangan kota yang ramah akan anak. Dalam perkembangannya, propinsi Jawa Tengah kemudian juga melakukan terobosan untuk merespons antusiasme program KLA dengan menargetkan 12 kota/kabupaten di Jawa Tengah sebagai daerah yang mampu memenuhi hak-hak anak yakni hak hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak mendapat perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi. dalam lima tahun kedepan.

Dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015, pengembangan program yang mengutamakan hak-hak anak ke dalam perencanaan pembangunan mulai ditetapkan. Salah satunya adalah skema pelaksanaan Kota Layak Anak yang kemudian menjadi strategi-implementasi dari komitmen negara yang tertuang dalam UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas merupakan target penting bagi negara untuk mewujudkan kewajibannya. Oleh karenanya program Kota Layak Anak merupakan upaya untuk memberikan pengakuan atas martabat yang melekat dan tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk anak-anak. Anak-anak wajib dijamin hak-haknya untuk hidup, memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan hak untuk menyatakan pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupannya, merujuk Pasal 28B Ayat 2 UUD 1945 [KLA, Unicef : 2008].

Sebagai sebuah kebijakan nasional yang mempunyai relevansi dengan skema global maka program Kota Layak Anak prioritas dengan beberapa ukuran yang menyertainya. Selain hak dasar pendidikan, kesehatan, sosial, hal sipil-partisipasi, perlindungan hukum, ketenagakerjaan, dan infrastruktur tak luput dari perhatian dan komitmen untuk mewujudkan kawasan yang ramah terhadap anak. Berbasis skema kebijakan global, yang juga telah dikembangkan di beberapa negara lain maka tida ada alasan bagi untuk mengupayakan apa-apa yang menjadi semangat dari KLA tersebut. Tuntutan ini, mesti diikuti dengan tawaran-tawaran kebijakan yang simultan, sinergi satu dengan lainnya dan terintegrasi dalam sebuah semangat untuk mengarus utamakan hak anak. Anak mesti menjadi target untuk memfokuskan kebijakan dari berbagai persoalan, seperti dana, keterbatasan waktu maupun kuantitas anak dari sisi jumlah [Pengarusutamaan Hak Anak, Kementrian PP : 2009]. Turunan kebijakan tersebut juga disusul dengan komitmen pemerintah pada level daerah untuk memberi daya dukung berupa regulasi pendukung, komitmen, dana hingga sumber daya manusia yang ada. Sebagai sebuah kebijakan maka pelibatan semua stakeholder yang tersedia menjadi penting dan kerja-kerja ke depan semestinya dibuat instrumentasi dari kebijakan yang ada.  

Pertanyaan yang bisa diajukan kemudian, bagaimana dengan implementasinya.  Bila di Surakarta, jumlah anak 0-4 tahun sebanyak 24.565 anak/2010) dan jumlah anak usia 0-19 tahun adalah 145.758 anak/2010). Dengan semua program Kota Layak Anak yang ada, baik yang terimplementasi dalam jaminan bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan harus menggunakan pendekatan restorative justice, pelayanan pendidikan hingga pada level anak usia dini, infratsruktur Kelurahan seperti keberadaan taman-taman cerdas, zona aman anak sekolah, kasus-kasus eksploitasi seks komersial anak, hingga anak-anak jalanan yang sampai hari ini belum terkelola dengan baik. Hari ini, kita hanya melihat pekik riuh semua pihak untuk urusan-urusan yang terkait dengan pemilukada, pariwisata, pembangunan pasar, hingga mobil esemka. Tak ada lagi memori kemeriahan anak-anak  seperti ketika kota ini melaunching kepeduliannya tentang anak. Ritual warga kota kemudian kembali lagi layaknya sebelum kota ini mendeklarasikan Kota Layak Anak. Yang tersisa hanya, kendaraan yang tetap melaju kencang sekalipun memasuki zebra cross di zona aman sekolah, taman-taman cerdas yang sepi senyap karena tak leluasa diakses, sekolah-sekolah paud yang asal-asalan  kehidupan malam yang tetap menghadirkan kejahatan bagi anak, media yang penuh dengan konten tak edukatif, dan tak ada lagi partisipasi anak dalam ruang-ruang kota yang pengap.

Semoga, komitmen atas anak tidak hanya seremoni bersama deklarasi yang digembar-gemborkan. Semoga, komitmen atas anak benar-benar menjadi komitmen bersama semua warga kota dan semoga kesangsian perasaan saya salah. Semoga ..

anak-anakku seperti puisi,                                                                                                     
ada yang terbuang ada yang berpesta                          
namun semuanya kurindukan hingga menjelma irama kangen                                                                                 
Sosiawan Leak-Song of Poems, 2002

 

 

Berita Terkait