Kamar Mandi di Masjid @ Suromulyo
Tepat di dinding sebelah utara beranda masjid terdapat pintu masuk menuju rangkaian petak-petak kamar. Dari pintu itulah kehidupan khas kampung dimulai. Begitu masuk pintu tersebut kesan pertama yang dirasakan adalah padat, karena jalan sebagai ruang penghubung di tiap rumah hanya memiliki lebar kurang lebih 1 meter, bahkan untuk berpapasan dua motor sekaligus tidak bisa dilakukan.
Ada dua pintu untuk memasuki lokasi tersebut. Yang pertama pintu masuk yang menempel di dinding masjid dan yang kedua sebuah jalan kecil di sebelah timur dekat sebuah gardu listrik kuno peninggalan Belanda. Pada lokasi tersebut terdapat 10 petak rumah yang dihuni oleh 8 KK. Tiap KK berisi rata-rata 4 orang seperti yang diuraikan oleh Reza, seorang mahasiswa yang tinggal di sana.
“Kira-kira 8 KK 10 rumah. Terus tiap rumah ada rata-rata 4 anggota keluarga. Kepala keluarganya itu ada Mbah Sri, Pak Nadhir, Pak Rofiq, Pak Margono, Mbah Darmini, Om Joko, Mbah Bini, Pakdhe Slamet,” kata Reza.
Sekilas bisa kita bayangkan lokasi ini seperti kost-kosan namun bangunan rumah di sini bertipe semi permanen lalu ada yang terbuat dari seng. Kamar mandi, sumur, tempat mencuci serta tempat jemuran bukanlah ranah domestik dari masing-msing rumah melainkan menjadi ranah publik. Semua digunakan secara bersama-sama oleh beragam penghuni disana. Dalam pemanfaatannya tak pernah sekalipun mereka berbenturan maupun berebutan.
“Enggak, soalnya karena udah kebiasaan jadi
kayak punya jadwal sendiri gitu. Tapi kadang-kadang pernah kalau musim hujan
gini sehari bisa bener-bener numpuk gitu. Ada yang ngalah dulu biasanya yang
terakhir nyuci itu yang terakhir jemur.” Seperti sudah ada pola-pola
tertata tentang kapan dan siapa saja yang menggunakannya.
Dapurlah yang masih menjadi ranah domestik tiap-tiap rumah.
“Dulu katane mbahku, Mbah Darmini, itu tempat buat parkir, parkir sepeda abdi dalem yang mau masuk Keraton. Jadi biasanya abdi dalem yang punya sepeda parkir dulu sebelum masuk. Sekarang dibikin rumah. Tetapi sekarang masih ada lahan yang lumayan cukuplah buat parkir sepeda motor warganya.”
Lokasi ini memang dulunya bukan diperuntukkan untuk pemukiman, tetapi sebagai lahan parkir untuk abdi dalem yang bekerja di Keraton. Itu kenapa lokasi tersebut tidak begitu luas. Tetapi seiring perkembangan zaman lokasi ini menjadi pemukiman warga. Sisa-sisa lahan sekarang sebagian dioptimalkan. Selain menjadi tempat kendaraan warga yang menetap di sana juga digunakan sebagai tempat jemuran.
Meskipun orang-orang yang tinggal di sana bukanlah berasal dari keluarga yang sama tetapi karena tipisnya sekat-sekat sosial yang ada menyebabkan mereka seperti seorang keluarga. Mereka bebas masuk rumah satu sama lain. “Buk” di sekitar pintu keluar sebelah timur merupakan salah satu ruang aktualisasi diri mereka. Di sana mereka biasa bercengkrama untuk sekedar melepaskan penat. Anak-anak mereka biasa bermain di depan masjid, tempat yang cukup luas untuk sekedar berlari-lari maupun bersepeda.
Televisi menjadi sarana utama warga di sana untuk mengisi waktu senggang mereka, terutama untuk anak-anak. Dunia sosial mereka seolah tergantikan dengan aktivitas didepan televisi. Alih-alih televisi mereka melakukan aktivitas tidur siang setiap harinya kalau memang sedang tidak ada kegiatan terutama saat hari Minggu. Kegiatan yang diadakan Keraton adalah momen yang mereka tunggu-tunggu karena mereka biasanya berbondong-bondong keluar rumah untuk menikmatinya.
Warga di sana setidaknya memiliki sebuah motor bahkan ada yang memiliki sampai tiga motor. Beberapa warga ada yang memiliki rumah di luar Baluwarti. Menurut Pak Sis, selaku ketua RW, warganya semuanya melakukan magersari kepada Keraton. Jadi mereka cukup membayar Rp 10.000 per tahun kepada Keraton sebagai biaya sewa atas tanah yang mereka tempat. Magersari bagi mereka juga sebagai wujud kasih sayang Keraton kepada rakyatnya. Itu kenapa kebanyakan warga di sana tidak mau pindah dan lebih memilih mewariskan rumahnya tersebut kepada anak-anaknya setidaknya sampai anak-anaknya mampu membeli rumah sendiri.
Tempat ini begitu menarik, bagaimana tidak, di tempat ini seolah olah modernitas serta tradisonalitas bercampur. Kita bisa melihat bangunan-bangunan kuno peninggalan Keraton. Tetapi tidak jauh dari bangunan itu kita bisa melihat mobil-mobil wisatawan berlalu lalang. Kita bisa melihat orang-orang kota dengan segala keangkuhannya. Namun di sela-sela itu kita bisa merasakan hangatnya senyuman warga sekitar yang ramah tamah di setiap sudut kampung. Kearifan lokal berupa keramahan masih tersisa di kampung kota ini.
Masjid ini berdiri megah di antara permukiman warga kampung yang berdempet-dempetan. Masjid ini menjadi gerbang masuk Kampung Suromulyo. Masjid Paromosono namanya. Bangunan ini merupakan cikal bakal nama Kampung Suronatan. Masjid yang dibangun oleh Keraton sejak masa penjajahan Belanda ini menjadi Masjid Keraton yang berada di luar lingkungan Keraton namun masih berada dalam beteng Keraton. Sehingga tidak hanya warga kampung ataupun abdi dalem saja yang boleh beribadah di tempat ini. Para pengunjung Keraton yang beragama Islam jika ingin melakukan ibadah dipersilahkan datang ke masjid ini.
Walaupun bangunan ini sepenuhnya milik Keraton namun untuk bagian pengurus diberikan seluruhnya kepada warga kampung. Termasuk dalam hal penjagaan masjid. Dulu masjid ini masih dijaga oleh abdi dalem dari Keraton, namun sekarang yang menjaga adalah warga Kampung Suromulyo.
Kata orang, masjid ini tidak berbentuk seperti masjid pada umumnya. Masjid yang menghadap ke Keraton ini tidak memiliki menara yang menjulang di antara bangunan lainnya. Namun di dalam masjid ini masih terdapat beduk kuno. Sebelum masa dualisme kepemimpinan Keraton, beduk ini masih dibunyikan setiap jam 12 malam oleh abdi dalem Keraton. Namun sekarang beduk ini sudah tidak pernah dibunyikan lagi.
Sempat pula ada cerita bahwa cagak yang menopang beduk tersebut berhasil menyelamatkan warga Kampung Suronatan dari bencana banjir. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Mbah Sri:
“Cagak beduk niku hlo mbak mas sing mbiyen sing marake ora banjir tapi kui wes diganti, cagak asline dipindah ning Keraton”.
Masjid ini memiliki 4 ruangan, ruangan utama digunakan untuk beribadah. Selain itu juga digunakan untuk pengajian warga kampung yang dilakukan setiap hari Kamis. Ruangan ini berada di tengah-tengah bangunan. Sedangkan ruangan yang sebelah Selatan digunakan untuk Tempat Pendidikan Al-Quran baik untuk anak-anak Kampung Suromulyo maupun warga kampung lain. Ruang yang berada di sebelah Utara digunakan untuk tempat penyimpanan barang-barang milik Masjid Paromosono. Sedangkan bagian yang luar (teras) dimanfaatkan oleh warga kampung untuk berbagai aktivitas. Karena rumah-rumah di kampung Suromulyo ukurannya tidak terlalu besar, maka mereka menggunakan teras dan halaman depan masjid untuk bersosialisasi satu dengan yang lain. Di tempat ini sering diadakan arisan warga kampung. Jadi warga yang tidak memiliki ruang rumah yang luas dapat menggunakan teras masjid ini untuk mengadakan acara selama tidak mengganggu kegiatan utama di masjid ini. Selain warga kampung, para pengunjung Keraton pun sering beristirahat dan beribadah di masjid ini.
Sebenarnya, jika ada rapat warga atau kumpul-kumpul warga seperti PKK, rapat rutin, arisan dan lain sebagainya, itu bisa dilakukan di pendopo. Akan tetapi, karena pendopo itu punya Keraton, maka jika pendopo sedang dipakai oleh acara Keraton, kumpul-kumpul warga tersebut berpindah ke masjid Paromosono ini. Tiap sore, di depan masjid selalu ramai. Warga Kampung Suromulyo khususnya warga Kampung Suronatan berkumpul di depan Masjid Paromosono untuk melakukan bermacam-macam kegiatan. Ini bukanlah suatu aturan yang ditetapkan oleh Keraton maupun oleh Ketua RT setempat. Hal ini terjadi karena keadaan fisik permukiman warga Kampung Suromulyo yang tidak teralu luas dan tidak memiliki ruang terbuka pribadi (halaman). Masjid adalah salah tempat yang ada di Kampung Suromulyo selain Pendopo yang merupakan ruang publik. Sehingga di dua tempat ini masyarakat sering berkumpul, baik dalam acara formal mau pun hanya untuk mengobrol, dari anak-anak sampai bapak-bapak. Anak-anak di kampung Suromulyo sering bersepeda di depan masjid. Selain itu di halaman masjid ini sering digunakan untuk parkir abdi dalem dan pengunjung pada saat acara-acara besar Keraton. Jadi selain sebagai tempat religi, Masjid Paromosono digunakan sebagai tempat bersosialisasi antarwarga Kamapung Suromulyo dan juga antarwarga dan pengunjung Keraton.
Salah satu simbol perekonomian kampung Suromulyo adalah WC umum yang terdapat di kampung Suronatan, tepatnya di depan Masjid Paromosono. WC umum ini dibangun sekitar lima puluh tahun yang lalu oleh warga Suronatan karena pada saat itu masih jarang rumah tangga yang memiliki WC pribadi. WC umum ini dapat digunakan oleh siapa saja, bukan hanya untuk warga Suronatan saja namun juga dapat digunakan untuk wisatawan Keraton Kasunanan yang hendak buang air kecil, besar, atau pun mandi.
“Menawi Keraton wonten acara, WC rame mbak, pengunjungi pun kathah. WC masjid mboten muat, antrini pun kathah.” kata Mbah Bini, penjaga WC umum.
Hingga saat ini bangunan WC umum tersebut tetap ada meskipun banyak rumah di sekitarnya yang sudah memeiliki WC pribadi. WC umum ini terletak di dalam satu bangunan yang memiliki tiga kamar kecil, yaitu satu kamar untuk mandi dan dua kamar untuk buang air besar atau WC. Dahulu, bangunan WC umum ini sangat sederhana yaitu masih menggunakan sumur genjot. Apabila ingin mendapatkan air, kita harus memompa sumur sendiri secara manual. Namun setelah direnovasi dengan dana program PNPM, sumur genjot tersebut kini telah ditutup dan digantikan dengan sumur yang baru.
“Jaman mbiyen niku nek badhe ngumbah-umbah wonten mriki genjot pompa banyu sek mbak...rame-rame podo ngumbahi...”
Selain itu, bangunan WC umum ini lebih bagus dan hingga saat ini masih terawat dan dalam keadaan yang baik. Sumber airnya pun kini sudah menggunakan sumur pompa yang menggunakan listrik dan kemudian dialirkan melalui pipa-pipa menuju ke setiap bak yang ada di setiap kamarnya. Di samping WC umum ini terdapat sebuah warung kecil yang menjual aneka makanan ringan, minuman dan sebagainya. Biasanya banyak para tukang becak duduk untuk melepas penat di warung itu. Sedangkan di seberang kanan WC umum terdapat gardu listrik PLN yang kemudian disambung dengan warung-warung makan yang ada di kampung Suronatan.
Penjaga WC umum ini adalah seorang nenek yang bernama Bini (Mbah Bini). Mbah Bini adalah warga kampung Suronatan yang bertugas untuk menjaga serta membersihkan WC umum tersebut. Setiap hari, setelah menyelesaikan kegiatan di rumah, mbah Bini pergi ke WC umum tersebut untuk membersihkan setiap kamar bahkan hingga halaman yang ada di depan WC tersebut agar tampak selalu bersih dan nyaman digunakan. Mbah Bini tidak menjaga WC umum tersebut secara terus menerus, hanya sesekali ketika beliau melihat WC tersebut kotor, maka akan beliau bersihkan. Ketika beliau merasa lelah, maka beliau akan beristirahat di rumahnya.
Setiap orang yang menggunakan WC umum tersebut tidak dipungut biaya. Namun bagi yang ingin membayar secara sukarela, disediakan kotak di samping pintu keluar dari kamar mandi. Pemasukan yang diperoleh dari kotak tersebut akan dibuka setiap bulannya atau sehari setelah adanya suatu acara besar di Keraton. Pendapatan yang diperoleh kotak tersebut sekitar tiga ratus ribu rupiah hingga lima ratus ribu rupiah setiap bulannya. Uang tersebut nantinya akan disetorkan kepada ketua RT 01 yang kemudian akan dimasukkan ke dalam kas RT. Jika kemudian ada hal-hal yang memerlukan dana, maka akan menggunakan kas RT tersebut.
Beberapa persen dari hasil kotak tersebut (setiap bulannya), akan diberikan kepada Mbah Bini sebagai uang jasa telah menjaga dan membersihkan WC umum tersebut. Memang tidak seberapa, namun Mbah Bini mengatakan bahwa beliau iklas dan berniat untuk beramal dalam melakukan pekerjaannya tersebut.
“Sakjane kulo nggeh didukani anak-anak kulo mbak, tapi kulo ikhlas lilahitaala ngresiki WC iki, mangkih balesani pun saking Gusti Allah.”
Tak jauh dari WC umun tersebut, terdapat WC yang ada di Masjid Parmosono. Kedua WC ini sama-sama mendapatkan uang secara sukarela dari orang yang menggunakannya. Yang membedakan adalah bahwa uang WC Masjid akan masuk pada kas masjid, sedangkan uang WC umum akan masuk pada kas RT. Selain itu, WC umum memiliki tingkat kebersihan yang lebih bersih dibandingkan dengan WC Masjid Paromosno walaupun keduanya sama-sama dijaga dan dibersihkan oleh seorang petugas. Meskipun demikian, pengunjung (terutama wisatawan) lebih banyak yang menggunakan WC yang terdapat di Masjid Paromosno. Hal ini mungkin dikarenakan adanya pandangan wisatawan bahwa di sekitar masjid pastilah ada WC yang gratis. Untuk warga setempat, mereka lebih suka menggunakan WC umum dikarenakan lebih bersih dan mereka tidak merasa sungkan jika tidak membayar karena merasa WC tersebut seperti WC milik pribadi.
Bagian
II:
Alfariani Pratiwi, Muh. Iqbal, Reza Eka P., Riris Rachmawati,
Woro Aryatika, Irqas Aditya Herlambang, Gunawan Wibisono