Kampung Tugu : Warisan Masa Lalu Portugis

Masyarakat Tugu juga dibantu oleh penduduk sekitar untuk mengamankan Kampung Tugu dari serangan para laskar, salah satunya adalah tokoh betawi bernama Haji Maksum. Haji Maksum adalah seorang putra berasal dari sungai Begok yang dikenal sebagai jagoan Tugu dan sekitarnya, serta memiliki ilmu bela diri dan ilmu kebal (Frieda, 1995; 34). Sehingga, pada saat itu Haji Maksud menjadi sosok yang paling disegani di Kampung Tugu dan sekitarnya. Haji maksumlah yang telah berjasa dalam melindungi dan menjaga keamanan kampung Tugu serta orang-orang Tugu. Haji Maksum bersama anak buahnya ikut mengamankan Kampung Tugu mulai dari pintu masuk dan pintu keluar Kampung Tugu, tetapi ia dan anak buahnya tidak bisa berjaga hingga 24 jam. Saat Haji Maksum dan anak buahnya lengah, maka para laskar memiliki kesempatan untuk menculik masyarakat Tugu.

Namun, seiring perkembangan zaman, para kaum mardijkers mulai berkurang populasinya di Kampung Tugu. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh perubahan lingkungan fisik Kampung Tugu. Pada saat itu gubernur Ali Sadikin membangun infrastruktur jalanan dari Kampung Tugu menuju Plumpang, diikuti oleh jalan Tanjung Priok sampai Cakung, sehingga pada saat itu harga jual tanah di Kampung Tugu semakin naik. Di samping itu, masyarakat Kampung Tugu yang pada mulanya rata-rata berprofesi sebagai petani, berpindah profesi menjadi buruh pabrik. Fenomena tersebut akhirnya berdampak terhadap sawah-sawah milik orang Tugu, sawah-sawah menjadi terbengkalai akibat banyaknya orang Tugu beralih profesi. Karena 1 keluarga di Kampung Tugu memiliki tanah yang luas, maka otomatis pajak yang dibayarkan juga mahal. Sehingga, masyarakat Kampung Tugu memilih untuk menjual tanahnya kepada para pengusaha. Terlebih pada tahun 1974 saat Gereja Tugu diresmikan menjadi cagar budaya, membuat harga jual tanah di Kampung Tugu semakin naik harganya, diikuti oleh kenaikan pajak.

Selain penjualan tanah, berkurangnya populasi masyarakat mardijkers di Kampung Tugu disebabkan oleh semakin banyaknya perkawinan campuran antara masyarakat mardijkers dengan masyarakat pribumi. Hal tersebut membuat sebagian masyarakat mardijkers meninggalkan Kampung Tugu dan hidup di luar Kampung Tugu bersama pasangannya.  Tetapi, dahulu Kampung Tugu memiliki norma khusus bagi perempuan Tugu (mardijkers). Perempuan tersebut dilarang untuk meninggalkan Kampung Tugu setelah menikah dengan laki-laki yang berasal dari luar Kampung Tugu. Tujuannya adalah agar laki-laki yang berasal dari luar Kampung Tugu ikut menetap di Kampung Tugu dan membangun Kampung Tugu. Laki-laki yang menikahi perempuan mardijkers secara tidak langsung akan diberdayakan untuk membangun Kampung Tugu. Tetapi norma tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku, perempuan mardijkers yang menikah dengan laki-laki di luar Kampung Tugu saat ini sudah diperbolehkan untuk tinggal di luar Kampung Tugu.

Hiburan dari perpaduan alat musik Frunga dan Machina terus dimainkan oleh masyarakat mardijkers setiap harinya. Kemudian, semakin lama masyarakat Betawi, Belanda dan masyarakat lainnya ikut menyaksikan dan mengenali permainan alat musik yang dimainkan oleh masyarakat mardijkers. Setelah hanya menyaksikan, lama kelamaan mereka ikut bergabung dan memainkan alat musik yang mereka bawa dari rumah. Masyarakat betawi kemudian membawa rebana, sedangkan orang-orang Belanda membawa biola, selo, kontrabas, suling dan juga gitar untuk dimainkan bersama. Adanya perkembangan dari permainan alat musik tersebut, maka terbentuklah sebuah genre baru dan grup musik bernama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe di tahun 1925 oleh Joseph Quiko. Penamaan keroncong sendiri berasal dari suara alat musik machina yang terdengar “crang crong”, kemudian orang-orang Betawi yang mendengar suara dari alat musik frunga dan machina menyebutnya sebagai alat musik keroncong. Setelah terbentuknya Orkes Poesaka Krontjong Moresco, musik keroncong menjadi terkenal di luar Kampung Tugu pada abad ke-19.
 
Tetapi yang perlu diketahui adalah permainan musik keroncong di Kampung Tugu memiliki ciri khas dalam memainkan alat musiknya. Dalam keroncong Tugu, gaya bermain yang ditampilkan adalah ceria, sehingga gaya bermain alat musiknya cepat. Pada keroncong Jawa atau langgam Jawa, tempo bermainnya lambat dan juga cara bermain ukulele pada langgam Jawa dipetik, sedangkan pada keroncong Tugu alat musik ukulele dikerok. Kalau keroncong Betawi gaya bermain alat musik frunga dan machina nya dibalik, jadi frunga di keroncong Betawi itu sedikit dipukul, sedangkan dalam keroncong Tugu frunganya tidak dipukul, tetapi yang dipukul sedikit adalah Machina.

Selain itu, keberagaman budaya di Kampung Tugu bukan hanya meliputi tradisi dan budaya kesenian saja, tetapi Kampung Tugu juga memiliki kebudayaan kuliner. Kuliner di Kampung Tugu sendiri meliputi makanan ringan dan makanan berat. Ketan unti merupakan makanan ringan dan memiliki keunikan tersendiri bagi orang Tugu. Berbeda dibandingkan dengan kue-kue lainnya yang umumnya disajikan ketika sedang ada acara hari-hari besar, seperti natalan dan lebaran. Ketan unti justru disajikan ketika ada orang Tugu yang sedang berduka atau ada yang meninggal. Karena telah menjadi tradisi bahwasannya ketika ada anggota IKBT yang sedang berduka, maka anggota IKBT lainnya berkumpul di rumah keluarga tersebut dengan tujuan untuk menghibur, biasanya tradisi ini dilakukan selama 1 minggu pasca kematian. Dalam penghiburan tersebut, anggota IKBT lainnya akan begadang di rumah anggota keluarga yang berduka. Selama begadang, maka sajian makanannya adalah ketan unti. Alasan dijadikannya ketan unti sebagai menu utama ketika ada anggota IKBT yang sedang berduka atau meninggal, karena dalam pembuatannya ketan unti tidak memerlukan waktu lama dan bahan dasar pembuatannya cukup mudah dicari. Ketan unti sendiri bahan dasarnya adalah ketan, kemudian diaron hingga matang dengan santan, setelah matang kemudian diberikan kelapa yang telah dicampur dengan gula merah.

Selain ketan unti, kue lainnya yang menjadi ciri khas dari kuliner Kampung Tugu adalah kue pisang udang. Kue pisang udang merupakan kue khas asal Kampung Tugu yang dibuat dengan bahan dasar tepung beras, tepung sagu, pepaya dan juga udang atau ebi. Kue pisang sendiri merupakan kue yang memiliki rasa unik, karena perpaduan rasa manis dan gurih ketika dimakan. Keunikan lainnya juga tidak ada buah pisang di dalam isian kue pisang udang, pengambilan nama pisang sendiri diambil karena memakai bungkusan daun pisang. Selain itu, bentuknya seperti kue nagasari (kue pisang) menjadi penguat bahwasannya pemilihan kata pisang, bukan berarti terdapat buah pisang di dalam kue pisang udang, akan tetapi karena dibungkus menggunakan daun pisang dan bentuknya sama seperti kue nagasari (kue pisang).
 
Oleh Derajat Mukhamad Putra Bangsa

Berita Terkait