Merayakan Senja dan Gelap

Selepas Covid yang berkepanjangan dan membatasi berbagai aktivitas dan berkaitan dengan jadwal aktivitas kampus yang juga memasuki sesi pembelajaran yang mulai berjalan secara offline. Kedua momen tersebut menjadi dasar untuk menginisiasi acara sederhana yang bisa menjadi momen bagi perjumpaan anak muda maupun momen merayakan berjalannya proses belajar mengajar secara langsung di kampus. Momentum tersebut sepertinya juga harus menunggu agenda pelaksanaan Pemilu 2024. Ada sangat banyak diskursus yang kita saksikan bersama, ada banyak catatan yang mesti diingat dan menjadi koreksi dari rangkaian pelaksanaan berbagai tahapan pemilihan umum dipenghujung dua dekade Reformasi. Dan pada akhirnya, berbagai perdebatan yang hadir diranah publik pada akhirnya menggumpal pada beberapa persoalan yang mendasar. Mulai dari problematika yang diwariskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, keputusan Komisi Pelaksanaan Umum yang menyisakan banyak pertanyaan, polemik praktek politik berbasis keluarga (dinasti). Hingga didalamnya kita disajikan berbagai fakta tentang politik bantuan sosial jelang pemungutan suara, ketidak netralan presiden, kabinetnya maupun aparat termasuk praktek in konsistensi dalam berbagai pelaksanaan pemungutan suara. Sepertinya ada persoalan yang mesti dipahami bersama, bahwa demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi yang dipantik dari kebutuhan perubahan selama dua dekade terakhir harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan. Resiko dengan berbagai tindakan yang melemahkan praktek demokrasi tentu saja akan menjadi ancaman serius bagi tata kelola kekuasaan bernegara ke depan.  

Untuk itu, menginisiasi perjumpaan anak muda dengan agenda Merayakan Senja dan Gelap di bengkel LPTP Surakarta, yang mengambil latar mesin-mesin untuk memproduksi teknologi sederhana dan tepat guna di pedesaan. Dimulai dengan sesi membicarakan buku Shindhunata yang berjudul Ratu Adil, Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik (2024) menjadi pemantik untuk membuka ruang obrolan anak-anak muda, bersama Akhmad Ramdhon (Sosiologi FISIP UNS) dan difasilitasi M Fatih Abdulbari (ISI Yogyakarta). Penampilan Kalpika (Teater ISI Surakarta) dengan narasi stand up nan kritis menjadi sesi yang mencairkan obrolan buku yang terasa berat pada sesi sebelumnya yang kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari Yogi Afria (Pasca ISI Surakarta) yang menafsirkan pidato-pidato presiden dari masa-masa ke masa dengan gerak yang dinamis memanfaatkan ruang panggung didepan penonton, seraya diakhiri dengan break sore.

Selepas break, sesi pertemuan dilanjutkan dengan penampilan monolog oleh Nur Jannah (Teater ISI Surakarta) yang menampilkan sisi gelap perasaan seorang Marsinah yang harus menjadi korban kekerasan apparat negara. Sisi emosi yang dieksplorasi untuk menampilkan beban dan harapan seorang perempuan yang tetap menuntut keadilan terasa pekat bersama lampu temaram diantara bayang-bayang mesin-mesin tua yang membisu. Penampilan Yusuf and Benny (Surakarta) kemudian menghadirkan ambigu lain dari anak muda yang terus menggembara mencari dan mencoba memahami apa yang terjadi dan berubah disekitarnya.  Penampilan Wayang Rajakaya dari Herlambang Bayu Aji (Berlin) lalu mengisi ruang-ruang kosong bengkel malam itu dengan tuturan ilustratif ala George Orwel ketika menampilkan percakapan penuh konflik antar hewan disebuah peternakan. Wayang berlatar hewan dan tehnik siluet nan warna-warni menampilkan kisah persahabatan dan kebersamaan yang ada pada akhirnya rentan oleh kepentingan sepihak. Konflik yang membelah persahabatan berujung pada hadirnya anjing sang penjaga yang kemudian mengambil alih semua kendali pada semua hewan. Tak ada lagi canda dan tawa antar sapi, ayam dan kuda sebagai bagian dari kebersamaan karena ancaman akan keteraturan menjadi cara bekerja anjing sang penjaga. Musikalisasi Bagus Dwi Danto (Yogyakarta) dengan lagu-lagu kritis nan liris menjadi penutup malam yang mulai gelap untuk dirayakan. Bersama Yasmin beberapa duet menjadi lebih romantis bersama gema senar gitar yang dipetik Danto, yang memantul diantara mesin-mesin yang menyebar dan memenuhi bengkel. Bersama pameran fotografi Serut Podomoro Festival (Fotografi ISI Surakarta) yang menyebar merespon ruang-ruang didalam dan diluar bengkel sekaligus menandai koneksi ruang tersebut dengan keberadaan Desa Ngringo, dimana lokasi agenda tersebut dilaksanakan.

Oleh Akhmad Ramdhon

Berita Terkait