Melipat Ruang, Menghentikan Waktu: Sempalan Budaya yang Membentuk Kita

/1/ Jika kita bisa memutar waktu ke belakang, tepatnya ke Inggris pada hari Jumat, 18 April 1930, akan kita dapati satu kondisi menarik. Tak ada berita. Siaran radio sore BBC yang biasanya mengudara pada pukul 20.45 hanya mengatakan: “Selamat sore. Hari ini hari yang baik. Tak ada berita.” Lalu memutar musik selama 15 menit berikutnya.  Kita bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi pada publik di hari tanpa berita itu. Mungkin bingung, kaget, marah, atau malah senang? Teman-teman tentu bisa berandai-andai sendiri. Tapi pertanyaannya, apakah hari itu betul-betul tanpa berita?

Ketiadaan berita tidak sama dengan ketiadaan peristiwa. Selain bahwa kondisi “tak ada berita” itu merupakan sebuah berita tersendiri, peristiwa tak perlu melalui pengabaran untuk terjadi. Dari peristiwa ketiadaan berita ini kita jadi bisa berpikir ulang mengenai peristiwa apa yang sebenarnya “patut” diberitakan?

Sejak Gutenberg menciptakan mesin cetak modern pada 1440, manusia merevolusi cara-cara mendapatkan informasi. Perkembangan percetakan yang massif, memproduksi bahan bacaan dalam jumlah besar yang pada gilirannya merangsang budaya literer di tengah masyarakat Eropa. Seperti perut manusia yang membutuhkan makan, pikiran literer membutuhkan informasi. Maka selebaran berisi informasi faktual yang sekarang kita sebut dengan koran diproduksi massal, demi memberi makan pikiran manusia yang semakin literer.

Sejarah singkat ini tentu terlalu simplistik. Berita sudah disebarkan sejak zaman kuno. Akan tetapi tidak bisa kita kesampingkan bahwa terma seperti “news” dalam bahasa Inggris, “Nouvelles” dalam bahasa Perancis, atau “Neues” dalam bahasa Jerman, baru muncul pada kisaran abad ke-14, dan mulai meluas atau menyebar pada abad berikutnya, hingga sekarang.

Berita, “news”, di masa yang lebih lampau, bisa jadi tak melulu bersifat publik serta massif. Tapi budaya literer membuat berita lebih dikonotasikan dengan hal yang sifatnya publik. Koran, dan kemudian radio, televisi, hingga sosial media kita hari ini, sudah barang tentu tidak bisa memuat semua peristiwa yang terjadi, dan juga harus mempertimbangkan publik yang akan menjadi pembaca atau pendengar beritanya. 

Dalam prosesnya ada seleksi yang semakin ketat mengenai peristiwa mana yang bisa jadi berita dengan mana yang tidak, meski jumlah peristiwa yang dapat menjadi berita juga semakin meningkat, hingga di masa digital ini. Maka berita dipisahkan mana yang publik dan privat, mana yang patut dikonsumsi publik dan mana yang tidak, mana yang akan laku di pasar dan mana yang tidak.

Berita, atau mungkin dalam konteks ini lebih tepat disebut informasi, menjadi komoditas yang diperjual-belikan kepada publik layaknya cemilan di jalan-jalan. Dan informasi itu, jika kita memakai analisis Anderson, membuat manusia memiliki sense of belonging. Artinya ada ruang yang tercipta dari konsumsi atas informasi yang sama, dan membuat sesama manusia memiliki rasa “saling”.

Pada 21 Agustus kemarin secara nyaris serentak muncul gambar garuda Pancasila buram berlatar biru dengan tulisan “Peringatan Darurat” di seluruh lini sosial media, sontak kita atau paling tidak publik dunia maya, punya satu sense yang sama. Sebuah sense kedaruratan.

Rentetan peristiwa yang mengikuti seolah jadi terwakili hanya oleh satu gambar. Ada yang turun aksi, membuat puisi, menulis surat terbuka, mendesain poster dan gambar perlawanan, atau sekadar share segala peringatan kedaruratan yang menyebar di sosial media. Tapi pada dasarnya semua berangkat dari sense kedaruratan yang telah membuat satu ruang diskursus di tengah kontestasi pewacanaan publik melalui sebuah gambar.

Dari perspektif ini kita dapat memahami bahwa pada dasarnya informasi, peristiwa, dan pengalaman bisa menciptakan sebuah ruang di mana memungkinkan manusia untuk menubuh menjadi satu. Seolah ada detak jantung raksasa tak kasat mata yang membuat kita menjadi satu entitas tunggal, yang berpikir dan bertindak serupa, atau demi tujuan yang sama.

Maka, jangan-jangan, ruang dan segala diskursus yang memenuhi “keruangan” itulah yang membentuk budaya kita? Atau dalam pertanyaan yang lebih menjurus, apakah kompleksitas dalam sebuah ruang membuat kita menjadi berbudaya?

/2/ Perkaranya ruang tidak mengada dari ketiadaan. Jika kita mau berpikir lebih serius mengenai konteks ruang dalam keseharian, maka ruang itu sebenarnya tercipta, hilang, muncul atau bergeser dari ruang-ruang lain. Di sini agaknya penting bagi kita untuk memisahkan antara ruang mana yang sifatnya material dengan ruang lain yang sifatnya immaterial.

Ruang material seperti wadah yang menampung ruang-ruang immaterial. Saya sebut “ruang-ruang” secara jamak karena dalam satu ruang material dapat saja berisi ratusan, ribuan, bahkan jutaan atau tak hingga ruang immaterial. Di ruang ini saja, mungkin di samping memikirkan pidato saya yang tak terlalu penting ini, masih ada yang berpikir tentang rumah tangganya, atau rencana aksinya, atau karyanya, atau tugas kuliah dan pekerjaannya, atau postingan story Instagram terbarunya, atau proposal tesis dan skripsinya yang tak rampung-rampung. Atau berbagai macam hal lain yang membuat di dalam ruang material ini sebenarnya penuh sesak dan berjubelan antara ruang immaterial yang satu dengan yang lainnya.

Tapi hal ini juga bukan berarti ruang material tidak punya atau tidak bisa membawa pewacanaannya sendiri. Manusia amat sangat berambisi untuk membuat monumen, tugu, bangunan, patung, buku, karya seni, dan beragam bentuk material lain yang jelas membawa atau mengandung pewacanaannya sendiri.

Kepala kita juga sebentuk ruang material, sebagai wadah dari ruang-ruang immaterial yang tak terhingga banyaknya. Maka setiap individu, setiap orang, melalui perspektif ini, adalah kebudayaan tersendiri yang mandiri dan otonom.

Kiranya penting untuk melihat hal ini secara lebih mendalam. Tentu saja kompleksitas ruang immaterial di dalam kepala manusia juga berasal dari ruang-ruang material di luarnya. Begitu pula kompleksitas ruang-ruang immaterial di ruangan ini.

Sebagai contoh, apa yang ada di kepala kita mengenai apa yang ada di luar ruang ini sebenarnya membentuk suatu atmosfer “keruangan” di mana pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, pengalaman-pengalaman dari luar ruang, secara paripuna hadir dalam bentuk teman-teman sekalian, yang duduk dengan caranya masing-masing, yang berinteraksi dengan caranya masing-masing, menggunakan apa yang ada di dalam otak masing-masing. Tetapi kita melakukan interaksi dengan ekspektasi untuk menempuh pengalaman yang baru. Lalu kemudian semuanya itu bercampur baur lewat obrolan hangat yang ditemani secangkir kopi.

Artinya di ruangan ini saja, ada satu arus kebudayaan yang tercipta dari akumulasi ruang. 

Segala keruwetan dan kompleksitas yang saya sampaikan ini sebenarnya mau mengatakan bahwa akumulasi ruang itu penuh dengan ambivalensi (ambiguitas). Ruang, jangan-jangan tidak utuh melainkan terfragmentasi dan saling berhubungan secara tidak logis, yang tak mungkin bisa kita jelaskan secara lugas melalui satu-dua kalimat. 

Maka arus kebudayaan yang saya katakan berada di ruang ini tadi, selain tersusun dari hubungan antar fragmen dengan cara tak logis, juga tak utuh karena akan menjadi satu pengalaman dan pengetahuan yang terfragmentasi lagi begitu kita keluar dan memasuki ruang yang lain. Arus itu juga berarti amat plural yang menyebabkan keberadaan kita di sini sebenarnya menciptakan ruang-ruang immaterial wagu yang tak sesuai dengan proporsi manusia. 

Percakapan kita misalnya menuntun pada cara berpikir yang lebih besar atau lebih kecil dari diri sendiri, atau malah mencipta domain lain yang secara proporsi tak manusiawi. Komunikasi ruang intersubjektif yang terjadi juga mengaburkan mata dan pikiran kita dari keutuhan bentuk yang hadir. Artinya, tak ada yang bisa ditangkap secara utuh, tak ada yang bisa ditafsirkan dengan matang, kita tak punya cukup waktu dan perangkat untuk menerjemahkan apa-apa saja yang terjadi di ruangan ini.

Kita tampaknya perlu berhenti sejenak dan berpikir ulang. Jika tidak ada keutuhan yang bisa kita tangkap dari ruang ini, lantas bagaimana caranya mendefinisikan diksi “kita” yang (jika teman-teman awas dan memperhatikan) disebut sebagai entitas tunggal sejak awal pidato saya ini?

Di titik ini, ada yang disebut sebagai pengalaman subjektif. Yaitu bagaimana individu atau entitas mengalami dan menafsirkan ruang. Pengalaman subjektif menekankan bahwa pemahaman kita tentang dunia tidak didasarkan pada fakta atau realitas, tetapi pada bagaimana kita, baik secara pribadi atau kolektif, merasakan, menafsirkan, dan memberikan makna pada pengalaman. Dalam banyak bidang seperti seni, sastra, dan filsafat, pengalaman subjektif dianggap sebagai sesuatu yang penting karena ia memungkinkan ekspresi individual dan keragaman cara pandang.

Hal ini lah yang sebenarnya dapat menjelaskan perkataan saya tadi mengenai bagaimana individu bisa menjadi kebudayaan tersendiri, yang mandiri dan otonom. Di samping itu juga menjelaskan mengapa entitas kolektif dapat memiliki satu visi yang sama atau serupa. Meski keduanya tersusun dari fragmentasi ruangnya masing-masing.

Masalahnya, pengalaman subjektif yang mengizinkan kita sebagai entitas otonom untuk memahami ruang, di sisi lain juga menyebabkan reduksi dari keseluruhan kompleksitas fragmen ruang yang hadir. Kompleksitas ruang yang direduksi, tak ubahnya seperti sebuah kertas yang kita lipat sehingga dapat dimasukkan ke dalam saku baju atau celana, untuk dikeluarkan lagi ketika diperlukan. Ketika kita keluarkan, lipatan itu membuat kertas tak lagi berada dalam bentuk utuhnya.

Tapi tentu saja, lipatan itulah bentuk terbaik yang bisa kita peroleh. Ruang dalam konteks ini selalu kita definisikan dalam rangka melipatnya jadi bentuk yang mudah dipahami, sedangkan kompleksitasnya tak pernah lagi bisa kita amati kecuali dalam imaji.

/3/ Memahami ruang dalam lipatan-lipatannya tampaknya butuh perangkat tambahan. Ketika melipat ruang, kita sebenarnya juga sedang bermain-main dengan satu dimensi lain: waktu. Ruang ini misalnya, ketika kita sama-sama masuk ke dalam dan memutuskan untuk berinteraksi, sebetulnya kita sedang menghentikan waktu. Tepatnya, kita menghentikan waktu di luar ruang ini.

Ketika kita masuk ke ruang ini dan membawa fragmen-fragmen ruang dari luar, kita membekukan fragmen-fragmen itu dalam bentuk tetapan yang tak berubah. Aturan ini berlaku selama tatanan ruang yang kita tempati sekarang, juga tak berubah.

Misalnya, di luar ruang ini, seorang yang belakangan dieufimismekan sebagai Mulyono, sedang asyik dan sibuk membangun dinasti politik, menguatkan oligarki, dan menjatuhkan value demokrasi. Kita masuk ke dalam ruang ini dengan membekukan pikiran itu, dengan menghentikan waktu di luar supaya ketetapannya tetap dan sehingga dapat dibincangkan dengan seksama.

Akan tetapi, Mulyono yang berada di luar ruang ini terus bergerak dinamis di dalam lingkup ruangnya sendiri. Ia berubah, sedangkan tetapan kita tentang dia di dalam ruang ini tidak atau belum berubah. Bisa saja, saat ini Mulyono sudah insyaf dan hendak meruntuhkan dinasti dengan tangannya sendiri. Tentu hal ini baru “bisa saja”.

Jika misalnya, Mulyono saat ini memang sudah insyaf dan penginsyafan itu diberitakan secara massif. Tanpa perubahan tatanan ruang yang kita tempati, ketetapan bahwa ia sedang berusaha membangun dinasti politik tidak akan berubah.

Berbeda cerita jika ada seseorang dalam ruang ini yang membuka media sosial atau portal berita, maka tatanan ruang sudah berubah dengan bertambahnya aspek ruang baru. Kemudian terbukanya ruang baru itu menyebarkan informasi mengenai insyaf-nya Mulyono ke dalam ruang ini sehingga ketetapan di awal tadi bisa berubah. Maka waktu di luar mulai bergerak lagi.

Sebuah kisah menarik datang dari Letnan Hiroo Onoda yang merupakan seorang perwira intelegen angkatan darat Jepang dalam panggung perang Asia Timur Raya. Ketika Jepang menyerah pada 1945, Onoda justru bersembunyi di pedalaman Filipina sampai mantan komandannya datang sendiri ke sana untuk memintanya menyerah pada 1974. Selama 29 tahun Onoda melipat ruang dan menghentikan waktu dalam lokus perang dunia II meski dunia di sekitarnya sudah melampaui zaman dan mentalitas peperangan.

Kisah Onoda mungkin menjadi kisah yang dapat menunjukkan kepada kita bahwa kebudayaan, mentalitas, intelektualitas, dan pengalaman dapat berhenti, stagnan dalam ruang yang waktunya sengaja dibekukan. 

Dengan kata lain, waktu di luar berhenti saat kita memutuskan untuk melipat diri dalam sebuah ruang.

/4/ Akan tetapi, tampaknya terlalu dangkal apabila kita mengandaikan waktu sebagai sesuatu yang melulu berjalan linear. Atau dalam konteks yang telah kita bicarakan, antara berjalan linear atau berhenti.

Lewat teori relativitas Einstein, kita memahami bahwa waktu terpengaruh oleh benda-benda di sekitarnya. Jika kita meletakkan satu benda dengan massa yang besar di sebuah ruang kosong, ruang dan waktu mengalami pembengkokan. Maka waktu dapat berjalan lebih lambat tergantung pada massa dari sebuah benda. 

Waktu juga dapat berjalan semakin lambat bagi orang atau benda yang bergerak dengan kecepatan tinggi, sebagai konsekuensi bertambahnya massa menjadi nyaris tak hingga seiring dengan percepatannya. Semakin mendekati kecepatan cahaya, waktu bagi orang dan benda yang bergerak nyaris berhenti.

Saya jelas bukan Joko Priyono, fisikawan partikelir kebanggaan Solo raya, dan tidak bisa bicara banyak mengenai hukum-hukum fisika. Akan tetapi ketetapan-ketetapan fisika secara teoretis menjadi paradoksal apabila kita berimajinasi bahwa ada sebuah benda yang dapat bergerak dengan kecepatan sama atau lebih tinggi dari cahaya. 

Di titik yang sama dengan kecepatan cahaya, waktu, bagi orang atau benda yang bergerak, berhenti sepenuhnya, dan secara teoretis jika kita dapat bergerak lebih cepat dari cahaya, maka waktu mungkin saja berjalan mundur.

Teori relativitas memberikan satu prospek menarik bahwa waktu mungkin saja adalah sesuatu hal yang sifatnya nyata, dalam artian ia berwujud material atau paling tidak mengejawantahkan dirinya seperti sebuah ruang. Maka banyak fisikawan yang saat ini terobsesi untuk menemukan lipatan waktu, tempat di mana dimensi waktu menunjukkan dirinya dalam bentuk-bentuk geometris. Entah apakah ia berada di partikel sub-atomik atau malah bergerak dengan benda-benda maha besar di jagat raya. Yang jelas, pencarian terus berlanjut.

Teori relativitas paling tidak mengatakan kepada manusia bahwa kekangan waktu yang seolah terus berjalan linear tidak selamanya niscaya. Artinya, waktu bisa berjalan dalam ketidakaturan kronologis atau dalam bahasa lain, non-linear.

Pemahaman ini membawa kita kepada satu konsep menarik yang dimunculkan oleh seorang filsuf sejarah, Benedetto Croce. Ia mengatakan bahwa sejarah selalu dan akan terus mengalami kontemporerisasi. Dalam pemetaan historiografis, komtemporerisasi ini dimaknai Croce sebagai interpretasi yang selalu terkait dengan kebutuhan dan pemahaman masa kini. Maksudnya, ketika sejarah diingat, ditafsirkan atau dituliskan, ia selalu terkait dengan konteks dan nilai-nilai zaman yang dianut pada masa kini.

Konsep ini menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang peristiwa sejarah selalu diwarnai oleh perspektif kontemporer, yang berarti sejarah terus diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Croce menekankan bahwa setiap penulisan sejarah adalah bentuk dialog antara masa lalu dan masa kini, di mana masa lalu selalu dihidupkan kembali dengan cara yang baru sesuai dengan konteks zaman sekarang.

Sekilas tak ada yang aneh, tapi konsep Croce sebenarnya menunjukkan bahwa waktu berjalan secara non-linear. Melalui konsep kontemporerisasi, sejarah didekonstruksi dari kontinuitas liniernya. Sejarah dalam perspektif ini hanyalah serangkaian narasi yang saling tumpang-tindih, di mana waktu serta peristiwa yang telah berlalu terus-menerus diinterpretasikan ulang.

Ketika kita memahami waktu sebagai hal yang berjalan tidak secara linear, ia menawarkan cara pandang yang lebih kompleks, tapi fleksibel, dan sering kali lebih dekat dengan cara manusia benar-benar mengalami dan memproses peristiwa dalam hidup mereka.

Jika waktu memang dapat dikatakan bergerak secara non-linier. Ia tidak lagi bisa kita anggap sebagai sebuah entitas yang niscaya dan tak terhindarkan. Waktu, secara faktual maupun imajinatif, mungkin untuk kita manipulasi, kita hentikan, atau bahkan kita bentuk ulang.

Tentu, apakah itu bisa diwujudkan atau tidak, merupakan sebuah soal lain. Akan tetapi dalam pemikiran kebudayaan, konsep ini penting untuk melihat konteks-konteks samar yang sering kali membuat kita terjebak pada lipatan ruang.

/5/ Jika kita kembali lagi ke Inggris pada hari Jumat 18 April 1930, kondisi ketiadaan berita pada pukul 20.45 itu maka menjadi sebuah fenomena berlapis. Publik Inggris dibentuk ruangnya oleh ketiadaan informasi selama paling tidak beberapa jam ke depannya, yang menyebabkan mereka tereksklusi dari dunia luar.

Dalam ruang eksklusif itu publik Inggris tentu tetap berkembang dinamis dengan menghentikan waktu dari apa-apa yang berada di luar ruangnya, sampai ada ruang baru terbuka yang memungkinkan mereka menggerakkan kembali waktu di luar ruangnya.

Publik Inggris selama masa tanpa berita itu, tidak tahu mengenai serangan atas Gudang senjata Chittagong di provinsi Bengal yang dilancarkan oleh Surya Sen, seorang revolusioner India, yang dilakukan pada 18 April 1930, dan menyebabkan darurat militer diberlakukan. India, koloni mereka, di mata dan imaji publik Inggris masih terjebak pada bayang-bayang penahanan 27 nasionalis India termasuk Mahatma Gandhi sehari sebelumnya, pada 17 April 1930, karena melanggar hukum garam bentukan kolonial Inggris.

Akan tetapi, ruang yang terlipat bagi publik Inggris pada 18 April 1930, dan waktu yang berhenti mengenai India dalam imaji mereka, memungkinkan mereka secara kultural punya lokus untuk berkembang dinamis dari pemahaman dan pengalaman mengenai India yang telah ada sebelumnya, ke arah yang berbeda dari jika berita itu disampaikan.

Misalnya, gerakan nasionalis India masih dibicarakan dalam nada-nada swadeshi (tidak mau memakai produk luar negeri) dan ahimsa (melawan tanpa kekerasan. Perspektif ini berbanding tebalik dengan wacana penyerangan dan darurat militer yang jika diberitakan, gerakan nasionalis India bisa saja lebih dibicarakan sebagai gerombolan tak bernalar. Artinya nada pembicaraan, arah pewacanaan, semua diatur oleh dinamika ruang-waktu.

Berangkat dari hal ini kita bisa bertanya-tanya. Apakah sebenarnya konteks-konteks ruang dan waktu yang pada akhirnya membentuk kita sebenarnya hanya berupa sempalan-sempalan yang menjejali ruang apapun yang sedang kita tempati? Jangan-jangan bukan “kebudayaan” atau “budaya” yang membuat kita memiliki identitas, atau kebiasaan, atau sense of belonging tadi, melainkan sempalan dari lipatan ruang dan pembekuan waktu yang masuk ke dalam relung material dan imaji kita sehingga kita punya sense “berbudaya”?

Kalau begitu, apakah kita bisa berkata bahwa budaya manusia apapun bentuknya, merupakan sempalan? Perspektif ini jangan-jangan berlaku universal, dari kehendak untuk berkuasa, dominasi aparatus kekuasaan, gerakan-gerakan perlawanan, karya seni, ilmiah dan bangunan, gagasan keadiluhungan, struktur dan sistem masyarakat, hingga gerak tubuh dan cara bertutur. Semuanya hanya sempalan dari sebuah gagasan besar tentang “kebudayaan”?

Pertanyaan ini tentu tak perlu dijawab cepat-cepat.

/6/ Sekarang, mari kita berpikir ulang. Budaya kita, apapun bentuknya, sekalipun hanya sempalan, diperlukan untuk menggeser ruang dari lipatannya dan menggerakkan waktu dari hentinya. Sempalan inilah yang sebenarnya membentuk kita, pun juga sempalan lah yang mengubah kita.

Ketika berbicara tentang sejarah, saya kerap mengatakan bahwa satu-satunya hal yang tidak berubah dalam sejarah adalah perubahan itu sendiri. Dari perspektif yang telah kita bahas, perubahan tak mungkin terjadi tanpa kita menggeser ruang dan menggerakkan waktu. Sehingga sempalan-sempalan yang beku bisa dibahas dengan matang, dan sempalan lain yang bergerak dinamis dalam konteks ruang kita, bisa berevolusi semakin maju atau menuju ke arah lain.

Teman-teman yang baik, Jika menyadari konteks keruangan dan kewaktuan yang kita hadapi bersama-sama ini, kehadiran ruang material yang memungkinkan kita secara personal maupun kolektif menghentikan waktu dan membuat lipatan ruang yang lebih presisi, sangat penting nilainya.

Maka kita hari ini, di ruang ini, sama-sama menyayangkan penutupan Warung Pejalan sebagai sebuah ruang kebudayaan. Tetapi saya kira, kita jangan sampai merespons peristiwa ini sebagai sebentuk kemalangan. 

Mas Sidik—pembuat kopi paling ahli se-jagad tepi kota—rupanya perlu untuk bergerak, membawa sempalan-sempalan yang, kota ini dan kita serta waktu menahun yang dihabiskannya di tepi kota, jejalkan ke genggaman tangannya, menuju ruang baru, untuk bergerak, berjalan di ranah yang baru. Kita yang masih tinggal juga perlu bergerak, berjalan, mungkin ke arah lain, ruang lain, waktu lain, supaya tak mati dalam lipatan ruang serta hentian waktu.

Kita juga perlu ingat bahwa perubahan besar dalam sejarah panjang kebudayaan umat manusia selalu datang dari tepi, dari lipatan ruang-ruang yang dianggap pusat sebagai sepi dan waktunya terhenti. Dari gang-gang sempit, dari jalan-jalan kampung, dari pematang sawah, dari pinggir sungai, puncak gunung, dan tepi kota ini lah, kebudayaan Indonesia akan berevolusi.

Mungkin itu sebabnya pula warung ini dinamakan “pejalan”. Karena pada hakikatnya perjalanan itu sebentuk gerak yang membawa dan terus mengumpulkan sempalan lain di sepanjang jalan. Perjalanan itu pasti merangsang perubahan, dan perubahan pada gilirannya tak akan terjadi dari pikiran dan tubuh yang diam.

Sebagai penutup saya teringat dengan satu puisi dari Taufik Ismail berjudul Mimbar (1992) yang sebenarnya ia tulis untuk mengingatkan kembali tentang kebebasan mimbar akademis di dalam kampus. Ironisnya, puisi itu jadi terlalu membuai jika kita kaitkan dengan konteks hari ini. Kampus menjelma menjadi lembaga demagogis yang justru menghalangi kebebasan. 

Saat kampus mati, mimbarnya konon dicuri Mas Sidik dan ditaruh di Warung Pejalan ini | Maka izinkan saya membacakan puisi Taufik Ismail sebagai bentuk penghormatan kepada ruang ini: Mimbar | Dari mimbar ini telah dibicarakan | Pikiran-pikiran dunia | Suara-suara kebebasan | Tanpa ketakutan | Dari mimbar ini diputar lagi | Sejarah kemanusiaan | Pengembangan teknologi | Tanpa ketakutan | Di kampus ini | Telah dipahatkan | Kemerdekaan | Segala despot dan tirani | Tidak bisa dirobohkan | Mimbar kami | Sampai bersua di tepi kota, sampai bersua di mana saja!

Oleh Fatih Abdulbari
 
 

Berita Terkait