Saya, Kampung dan Ruang

Budiawan Dwi Santoso

Antara tahun 1990-2000, dua puluh kilometer lebih dari pusat kota Solo, seorang anak masih bisa bermain-main bersama teman-temannya di jalan gang kecil, yang samping kanan-kirinya dipenuhi rumah berdempet rapi, dan serupa. Orang-orang menyebutnya perumahan. Mereka pun, terkadang bermain di pekarangan setiap rumah, tanpa harus permisi, tanpa harus buka pintu pagar, bahkan belum ada pagar. Mereka masih sempat bermain betengan, layangan, dan delikan baik di jalan kecil itu maupun di pekarangan. Ketika bermain delikan, setiap anak dengan leluasa mencari tempat persembunyian di tiap pekarangan rumah-rumah. Maka, salah satu dari mereka yang bertugas sebagai pencari teman-teman yang ndelik, juga dengan polosnya langsung masuk ke tiap-tiap pekarangan tersebut. Salah satu anak yang mengalami hal itu, saya.

Realitas ruang, lingkungan, dan gerak dalam kehidupan saya itu, kini jarang, atau bahkan tak lagi kutemui. Semuanya berubah. Tak ada pekarangan, kebun, pohon-pohon yang mengakar ke tanah langsung. Pekarangan menjadi garasi mobil atau pelebaran ruang yang berkeramik, bersemen, dan berarsitektur modern. Begitu pula dengan keadaan di pinggir jalan raya yang dekat di kampung saya. Yang dulunya masih ada rawa-rawa, dan tersekat dengan beberapa rumah saja, kini mulai hilang tergantikan rumah, toko kecil, bengkel, dan warung makanan. Suatu perubahan [terutama perubahan ruang] yang tak bisa saya tolak.

Perubahan ruang itu sepertinya turut menentukan perubahan orang-orang di sekitar kampung, tak terkecuali saya. Dulunya, setiap anak atau setiap orang bisa masuk dan bermain ke masing-masing rumah tetangga dengan leluasa, kini harus memencet tombol bel rumah, mengetuk besi pintu pagar, memanggilnya dari luar, atau bahkan menelepon/sms pada yang di rumah [orang yang menghuni di rumah] sebelum masuk langsung. Ini telah memberi kesan pada kita bahwa ada jarak sosial. Semacam ada ijin prosedural sebelum bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain.

Dan, memang betul. Pintu-pintu pagar tersebut telah menjauhkan segala kecairan, keakraban, dan keingintahuan setiap orang. Perubahan ruang yang semakin privat dan nampak modern dikarenakan dengan dalih demi keamanan rumah. Sebab, yang dulunya, mobil, kendaraan, televisi, komputer, atau barang-barang mewah lainnya belum ada, kini telah ada. Mereka menjadi pengganti interaksi antartetangga; pengganti permainan tradisional, dan pengganti status sosial.

Jalan nampak lengang, anak-anak yang bermain di sore hari dan di luar rumah semakin jarang terlihat, dan bapak-bapak atau ibu-ibu yang dulu ikut melebur bersama alam di lingkungan sekitar serta anak-anak yang sedang bermain, jarang lagi saya lihat dan jumpai. Keberadaan mereka, sepertinya hanya dapat dijumpai dan dirasakan ketika ada acara peringatan 17 Agustus, perayaan hari raya, rapat RT, beribadah, dan pengajian besar di masjid.

Mata pencaharian, seperti PNS, karyawan di sebuah instansi/ mal, dan buruh di pabrik yang masih tetap dipilih orang-orang sekarang, yang hasil dari pekerjaan tersebut, selain untuk mewujudkan kebutuhan papan, sandang, pangan yang primer, juga untuk mencukupi kebutuhan tersier—dan tentunya, hal ini yang menentukan tiap orang merubah ruangan. Dimana, dalam skala lebih besar, pemerintah daerah tentu turut menata dan merubah ruang, yang dikarenakan, di daerah kampung saya, mulai menjamur supermarket-supermarket, mal, hotel, tempat hiburan lain, seperti di desa Langenharjo, daerah Solo Baru.

Ruang publik seperti itu yang turut mengganti ruang bermain dan kebersamaan yang ada di kampung-kampung, tak terkecuali di tempat saya. Ini sejalan dengan tesis Agus Sudibyo (2012), dimana, ruang publik bukan lagi ruang solidaritas atau kebersamaan, melainkan ruang untuk melindungi kepemilikan pribadi dan proses kumulasi modal. Ruang publik hanya digunakan untuk memproteksi properti dari pemilik properti itu sendiri. Akhirnya, ruang publik yang kita sambangi itu sebenarnya ruang yang menyekap kebebasan kita. Apa yang kita alami semacam kebebasan semu.

Penulis dan tinggal di Sukoharjo

 

Berita Terkait