Tembok Kampung Kratonan
Sekilas tampak biasa saja, kampung dengan jalan, rumah dan pagar. Kratonan sebuah kampung dengan tembok-temboknya yang besar, menjulang tinggi dan menyimpan banyak hal yang menjadi pertanyaan. Kondisi tersebutlah yang terlihat, dengan segenap seluk beluk dan tembok yang mengitari setiap jatuhnya pemandangan mata kita saat memasuki kampung Kratonan.
Kratonan ini berlokasi di kota Surakarta, tepatnya masuk wilayah kecamatan Serengan dan berada dibawah pemerintahan kelurahan Kratonan. Perbatasan wilayah Kratonan sebelah utara dibatasi oleh jalan Rajiman, untuk sebelah timur dibatasi oleh jalan Yos Sudarso, lalu sebelah selatan dibatasi oleh jalan Veteran dan sebelah barat Kratonan dibatasi oleh jalan Honggowongso. Kampung Kratonan ini termasuk dalam RW 2 dan terdiri dari 7 RT. Setiap RT ini memiliki luas wilayah yang berbeda. Jalan-jalan di Kratonan ini biasa dilalui oleh kendaraan dan pejalan kaki. Jalannya memang tidak terlalu lebar hanya muat untuk satu mobil. Jika kita berkeliling di kampung Kratonan yang tidak begitu luas ini, yang terlihat saat berkeliling hanya tembok dan tembok lagi. Hampir setiap rumah di sini bertembok tinggi.
Seperti biasanya, Kratonan ini juga memiliki beberapa got yang menyeruakkan bau sampah dan air tergenang. Di sepanjang jalan terdapat got yang sebagian sudah tertutup dan sebagian lagi belum. Mungkin banyak anak kecil yang membuang sampah di dalam got sehingga ada seonggok sampah di sana. Suasana di Kratonan tidaklah ramai, meskipun Kratonan sendiri berada di wilayah kota dan dekat dengan jalan raya. Kampung ini agak sepi. Hanya pada jam tertentu warga beraktivitas di sini dan sebagian lagi mungkin berada di rumah masing-masing.
Kata orang Kratonan ini dulunya bekas Keraton, ternyata bukan. Kratonan ini adalah lokasi yang memang berdekatan dengan Keraton Surakarta atau boleh dikatakan selurus dengan Keraton Surakarta. Kratonan dulunya merupakan tempat tinggal para abdi dalem Keraton Surakarta.
“Kratonan ini memang bukan kawasan keraton Surakarta, tapi namanya jadi Kratonan itu ya karena di sini jadi tempat para abdi dalem dari dulu terkenal seperti itu”, begitulah kata Pak Slamet yang menceritakan apa arti nama Kratonan.
Sebenarnya tidak ada sejarah yang pasti tentang asal-usul nama Kratonan, hanya saja kebiasaan orang jaman dahulu yang memanggilnya Kratonan, maka sampai sekarang nama itu tetap digunakan di sana. Pak Slamet ini tinggal di rumah bersama cucunya, dan kegiatannya sehari-hari, selain beliau ini menjadi Ketua RT 3, adalah mengantarkan cucunya ke sekolah. Sapaan akrab cucunya adalah Paijo.
Pak Slamet sudah lama mengabdi di Kratonan menjadi ketua RT. “Saya jadi ketua RT untuk yang pertama kali, dulu menggunakan piagam jabatan dari Balai Kota waktu tahun 1983, setelah itu saya menjabat agak lama karena belum diberlakukan aturan jabatan 5 tahun untuk ketua RT “.
Kehidupan di kampung erat dengan rasa kekeluargaan, sama seperti di Kratonan pada sekitar tahun 1980an. Masyarakatnya masih dengan sukarela mengabdi untuk Kampungnya. Jabatan ketua RT saja misalnya selama orang yang bersangkutan ini masih bersedia mengabdi, maka dia akan diberi kesempatan untuk melanjutkan kiprahnya, dan saat dia ingin diganti, maka diadakan musyawarah untuk mencari penggantinya. Pak Slamet bercerita cukup banyak dengan rentang tahun yang beliau jelaskan bahwa pada tahun 1983 beliau pertama kalinya diangkat menjadi ketua RT. Dulu sistemnya dengan piagam yang diberikan oleh Balaikota sebagai bukti bahwa orang yang bersangkutan memiliki wewenang menjadi ketua RT.
“Selama saya jadi RT itu baru sekali saya mendapatkan piagam pada waktu tahun 1983 itu,” kata Pak Slamet. Piagam ini merupakan tradisi yang diberikan kepada seorang ketua RT yang menjabat lebih dari 5 tahun, sebagai ucapan terima kasih dari pemerintah, sehingga ini hanya sebagai simbol atas pengabdiannya menjadi ketua RT. Tapi pemberian piagam ini juga tidak selalu diberikan kepada pengurus RT, tergantung dari pemerintah setempat memberlakukan piagam lagi atau tidak. Pak Slamet mengatakan bahwa tradisi semacam ini sekarang sudah jarang sekali dilakukan karena sudah ada peraturan tentang masa jabatan untuk ketua RT selama 5 tahun.
Pada sekitar tahun 1970 penduduk Kratonan ini mayoritas adalah masyarakat Jawa dan sebagian besar beragama Islam. Dan masyarakat Kratonan rata-rata penduduknya berprofesi sebagai pedagang dan wirausaha. Hal itu menjadi daya tarik bagi kaum Tionghoa untuk berinvestasi didaerah Kratonan. Mulai tahun 1970–2000 masyarakat Kratonan mulai didatangi etnis Tionghoa yang rata-rata dari luar kota dan membeli tanah di Kratonan serta dibangun dengan arsitek yang megah. Kratonan kini hadir dengan wajah yang berbeda, dimana dahulu para warga dapat melihat tetangganya sedang memasak dari luar karena pagarnya yang tidak terlalu tinggi, sekarang tembok besar begitu banyak mengitari tiap gang di Kratonan dan menutup tiap rumah dengan begitu tinggi menjulang.
Dulu masyarakat itu bekerjasama dan bergotong royong dengan sukarela, tetapi kemudian sekarang uang menjadi orientasi yang dipegang oleh masyarakat.
Hal ini mulai terjadi sekitar tahun 1980 an ke atas. “Di sini itu sekitar tahun 1980 an itu gotong royongnya masih ada artinya tidak ada pengaruh dari uang, beda dengan sekitar tahun setelah itu masyarakatnya mulai berorientasi ke uang, misalnya saat kerja bakti seperti warga keturunan itu bisanya mereka tidak mau kerja, jadi mereka hanya menitipkan uang kebersihan saja,” kata Pak Slamet.
Lambat laun, Kratonan juga mengalami perubahan, bukan hanya pada interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Semula masyarakatnya gotong royong kemudian mulai berkurang. Masyarakat yang dulu masih tradisional sekarang jadi semakin modern.
Aspek sosial di Kratonan ini tidak seperti selayaknya kampung yang biasanya ramai dengan suasana kebersamaan yang hangat, di Kratonan ini justru sepi dan terkesan tertutup. Ditambah dengan arsitektur kampung yang notabene bertembok tinggi membatasi komunikasi dengan tetangga maupun warga sekitarnya. Ini bukan hal yang menjadi kehendak masyarakat di sana, namun ini terjadi dengan berbagai faktor yang melingkupinya.
Masyarakat Kratonan sejak mulai mengembangkan kariernya dalam dunia wirausaha menjadi awal yang membawa dampak positif di mana rata-rata pendapatan masyarakat meningkat tetapi di samping itu berdampak pula pada hubungan sosial masyarakatnya. Individualisme mulai tumbuh yang menjadikan kampung ini sepi dari interaksi warga, bersama hanya untuk mengobrol santai. Tapi tidak serta merta kampung ini mati karena masyarakatnya yang mulai individualis. Kratonan tetap memiliki sisi kebersamaan yang ditampilkan dalam beberapa kesempatan. Ada beberapa titik yang digunakan sebagai ruang berinteraksi masyarakat Kratonan.
Beberapa titik tempat warga berkumpul, ada yang berada di dekat masjid, di buk untuk duduk bersama dan bercerita dengan santai. angkringan tak kalah ramai menjadi tempat bercengkrama warga dari berbagai kalangan umur sambil menikmati jajanan khas Jawa. Tidak hanya itu, pos kamling yang semula sebagai tempat untuk mengawasi keamanan kampung menjadi tempat favorit bertemunya bapak-bapak yang bersantai dan berbincang tentang sepakbola, olahraga, politik pemerintahan, dan obrolan ringan tentang lingkungan rumah tangga. warga yang berkumpul ini meliputi bapak-bapak, ibu-ibu, kakek, nenek, anak-anak kecil, dan remaja, seperti lebur menjadi satu mereka saling bercerita dan bernostalgia seraya memberikan sedikit wejangan kepada generasi muda tentang kehidupan.
Sempat kami temui beberapa warga yang kebetulan sedang duduk di buk sore hari. Buk menjadi tempat berkumpulnya warga Kratonan untuk berbincang di sore hari. Buk hanya kursi yang terbuat dari beton dan biasanya menempel pada pagar atau halaman depan rumah. Tempat sederhana ini sudah ada sejak dahulu dan menjadi tempat favorit warga Kratonan untuk berkumpul bahkan dari semua kalangan umur. Ada banyak cerita yang tercetus di tempat itu, mulai dari ibu-ibu yang membicarakan tentang masakan hari ini, anak-anak yang merengek meminta mainan, atau mungkin ibu dan bapak yang membicarakan tentang usaha masing-masing.
Dari penampakan pagar yang tinggi di Kratonan itu sedikit banyak mencerminkan bagaimana karakteristik masyarakatnya. Masyarakat Kratonan ini terdiri dari masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang dari luar daerah yang notabene masyarakat Tionghoa. Rumah-rumah di Kratonan ini tergolong megah, tetapi keadaannya begitu sepi, jarang ada interaksi yang terlihat di sana dan hanya beberapa titik saja, misalnya di mushola. Biasanya di sana berkumpul beberapa ibu-ibu di sore hari untuk menyuapi anaknya yang makan dan ditambah anak-anak TPA yang mengaji setiap sore.
Aktivitas di sore hari saat diadakan TPA, di masjid Al-Muslimien ini akan ramai dengan anak-anak untuk mengikuti TPA yang dilaksanakan setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu sekitar pukul 16.00-17.00 WIB. Peserta TPA ini biasanya berasal dari warga kampung sendiri. Mereka berjalan kaki menuju masjid. Ada pula yang diantarkan oleh orang tuanya, karena agak jauh. Setidaknya hal ini menjadi pemandangan khas kampung Kratonan yang masih terjaga hingga saat ini. Anak-anak ini meneruskan apa yang diwariskan, ilmu agama untuk pegangan mereka. Ustad atau guru yang mengajar ngaji juga berasal dari warga kampung itu sendiri. Akan ramai sekali waktu TPA berakhir, karena anak-anak dengan berbagai cerita tentang mainan, PR, dan pengalaman saat di sekolah mereka akan dibicarakan di sini. Masjid sebagai ruang untuk bertemu sebelum mereka terpisahkan oleh gang sepi dan tembok-tembok besar yang membuat mereka tidak lagi saling berkelakar dari rumah ke rumah karena terhalang rumah mewah. Pemandangan yang tidak asing untuk dilihat dalam konteks kampung, begitu pula di Kratonan, meskipun jarang terlihat suasana tersebut.
Selain kehidupan Kratonan yang sepi, kegiatan di kampung ini berjalan sesuai dengan kebutuhan kampung tersebut. Ada beberapa kegiatan yang berjalan di Kratonan, ronda, arisan, senam sehat, posyandu, puskesmas, pengajian, TPA, sumarah, kerja bakti, 17 Agustus-an, dan ada banyak kegiatan yang kami sajikan dalam buku ini tentang Kratonan. Jika kita berbicara mengenai keamanan misalnya, maka kita ketahui bahwa poskamling ini menjadi tempat untuk mengawasi keamanan lingkungan. Dan kegiatannya bernama ronda istilah itu sudah sangat akrab di telinga sebagai suatu gembaran yang sangat umum ada di kampung-kampung pada umumnya.
Tapi lain halnya dengan di Kratonan. Di sini kegiatan ronda tidak terlalu aktif, hanya ada plakat atau simbol berupa poskamling yang setelah sekian tahun lamanya masih bertahan sebagai perwujudan amannya kampung tersebut. Untuk menjaga keamanan kampung Kratonan dilakukan dengan sistem kunci gerbang, kampung Kratonan ini memiliki 4 gerbang yang kesemuanya itu memiliki petugas kunci dan dikunci setiap pukul 23.30 WIB.
Kondisi tersebut yang dilakukan oleh masyarakat Kratonan untuk menjaga keamanan kampung. Sudah menjadi hal yang biasa saat Pos Kampling ini sepi oleh petugas ronda, karena memang hal itu kini jarang sekali dilaksanakan oleh warga, mereka menyadari bahwa ancaman kejahatan tetap saja ada, bahkan gaya rumah berpagar tinggi yang tampak di Kratonan ini salah satunya adalah karena mempertimbangkan faktor kramanan.
Seperti yang diungkapkan oleh bapak Winoto, “Bagi saya, rumah berpagar itu lebih kepada untuk tujuan keamanan.
Karena di Kratonan ini memang agak rawan pencopetan, pencurian. Dulu pagar
rumah saya pernah dibobol maling, jadi saya pagar permanen saja biar lebih
aman. Tapi kalau menurut saya, para penduduk pendatang yang rumahnya berpagar
tinggi itu agak berlebihan, malah menimbulkan kecurigaan, tapi ya itu urusan
masing-masing sih,
saya gak bisa ikut campur.”
Kegiatan malam di Kratonan memang cukup jarang. Suasana sepi terasa ketika waktu menjelang malam, sekitar jam 8 malam warga sudah jarang keluar rumah. Perbedaan suasana yang sangat mencolok antara wilayah Kratonan yang berada di dalam dengan di pinggir jalan raya. Kratonan dalam identik dengan kesunyian, suasana seperti ini dikarenakan waktu malam hari oleh warga Kratonan digunakan untuk beristirahat dan berkumpul dengan keluarga. Selain itu, Wedangan juga enggan buka pada malam hari karena sepinya suasana. Tetapi terkadang ada juga pedangan makanan keliling di kampung. Tengah malam, sekitar jam setengah 12 malam semua gerbang menuju perumahan di Kratonan sudah ditutup semua, dan hanya satu yang dibuka. Karena faktor tersebut mengakibatkan kondisi Kratonan sangat sepi di malam hari.
Bagian
I:
Tia Anindya, Avista Wahyunintyas, Ardhina Kusuma W., Dani Bina Margiana,
Moh. Meidianto, Adrian Amurwonegoro, Fahmi Jafar, Sangaji Wida Sakti