Sepenggal Wajah Kota

Akhmad Ramdhon

Tanggal 16 Juni 1946 menjadi tonggak awal bagi bermulanya narasi baru tentang kota Surakarta. Dengan sebuah lambang yang dijadikan identitas bagi keberadaan Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadia Surakarta, bertuliskan Rinaras Dadi Terus Manunggal  : dengan gambar perisai yang berarti perjuangan, tugu lilin yang berarti keterbangunan, keris yang melambangkan kejayaan serta kebudayaan, jalur mendatar yang menggambarkan Bengawan Solo, bintang yang berarti kejayaan, bambu runcing yang menggambarakan perjuangan rakyat, kapas-padi yang melukiskan pakaian dan kemakmuran serta motif batik Sidomukti yang menjadi latarnya mempunyai makna keluhuran. Konflik berkepanjangan tentang bagaimana kekuasaan dikelola serta merta selesai dan masa-masa kepemimpinan kota dengan figur seorang Walikotapun dimulai dengan realisasi Pembangunan Lima Tahun I (Pelita I) dan pembenahan DPRGR selepas konflik serta melakukan pembenahan berbagai peraturan sekaligus melaksanakan Pemilihan Umum.

Pembenahan kota secara bertahap kemudian mulai bisa dilakukan selepas kepemimpinan R. Koesnandar (1968-1975) yang langsung melakukan pembenahan pemerintahan dalam kerangka kebijakan dan kepemimpinan Orde Baru. Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada 3 Juli 1971 (menjadi yang ke II dalam sejarah pemerintahan di Indonesia) menempatkan 20 anggota Golongan Karya, 7 anggota Partai Nasional Indonesia, 3 anggota Partai Muslimin Indonesia dan masing-masing 1 anggota untuk Partai Katolik, Partai Nadhatul Ulama dan Partai Kristen Indonesia serta dengan tetap memberi alokasi bagi perwakilan ABRI sebanyak 6 kursi, dari 39 kusi bagi anggota DPRD yang ke-VII di Surakarta. Pada fase inilah kewenangan daerah untuk memilih dan menentukan kepala daerahnya mulai direalisasikan namun dengan tetap memperhatikan kebutuhan akan terciptanya stabilitas politik yang menjadi tumpuan politik Orde Baru. Figur Soemari Wongsoprawiro (1975-1980) yang terpilih sebagai Walikota kemudian langsung menetapkan beberapa program pembangunan dengan dasar pembangunan infrastruktur bagi pengembangan kota. Pembangunan kota secara awal dimulai dengan penetapan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1974 tentang Rencana Induk Kota, pembangunan terminal Tirtonadi seluas 2.3 Ha, normalisasi kali Pepe hingga perencanaan terhadap pengembangan pendidikan ; dan berhasil mencapai klimaks pada 11 Maret 1976 dengan didirikannya Universitas Sebelas Maret.  

Agenda pembangunan Orde Baru yang menjadi motor bagi semua agenda pembangunan nasional tak terkecuali kemudian menjadi bagian dari agenda utama pembangunan. Kerangka kebijakan yang meletakkan pertumbuhan sebagai akhir, melahirkan berbagai upaya rehabilitasi dan stabilisasi perekonomian nasional. Rancang bangun pembangunan yang ditetapkan adalah penetapan untuk produksi pangan, perbaikan infrastruktur (tentunya dengan bantuan modal dari luar negeri), perluasan kapasitas produksi seiring dengan mulai masuk dan derasnya investasi langsung dari luar negeri -yang didominasi oleh pengembangan sektor pertambangan dan manufaktur- sebagai titik tekan tahapan pembangunan yang pertama. Catatan pertumbuhan ekonomi di Surakarta pada periode 1968-1973 : pada sektor industri tercatat 3.144 perusahaan industri ringan dan kerajinan dengan jumlah tenaga kerja mencapai 9.157 orang. Sedangkan untuk jenis usaha pangan, tercatat 350 jenis usaha yang bergerak dengan tenaga kerja mencapai 2.545 orang. Perkembangan proses industrialisasi lain, yang bergerak dan menyerap tenaga kerja juga terdapat pada sektor-sektor makanan hingga kerajinan seperti sepatu, meubel maupun kerajinan tangan. Pertumbuhan ekonomi kota secara berlahan tumbuh dengan pasti. Masyarakat dalam kota-pun mulai aktif menggunakan listrik sebagai bagian dari kebutuhan sehari-hari, bahkan tercatat jumlah pelanggan listrik meningkat secara penuh dari 22.191 pelanggan pada 1966 menjadi 22.557 pelanggan pada tahun 1968, termasuk peningkatan penggunaan listrik untuk usaha. Sehingga tercatat oleh PLN cabang terjadinya peningkatan penggunaan listrik sebanyak 1.626.592 menjadi 1.702.947 KWh.

Periode perkembangan kota pada fase berikutnya, menjadi awal bagi industrialisasi yang lebih besar dimana investasi atas industrialisasi mulai menjadi bagian dari fakta perekonomian masyarakat Surakarta. Investasi yang tercatat sebanyak 11 penanam modal yang mengivestasikannya dalam sektor usaha tekstil baru (yang 7 usaha diantaranya) mempunyai kapasitas produksi 505.252 m/bulan atau bila dihitung pertahun mampu memproduksi 6.063.012 m/tahun. Efek langsung dari keberadaan investasi ini adalah terdorongnya perkembangan industri lain dalam kapasitas sedang dan rendah antara lain : 346 perusahaan industri sandang (produksi riil mencapai 72 % : 5.350.000 m/tahun untuk tenun, 8.5 % tenun tangan dan 9.6 % printing), kemudian 168 industri pangan (40 perusahaan roti, 27 perusahaan kembang gula, 26 memproduksi mie, 9 perusahaan teh, 16 perusahaan bergerak di industri rokok), 159 perusahaan industri ringan dan 5 industri kerajinan, yang kesemuanya mampu menyerap  tenaga kerja hingga 7.620 orang. Keberadaan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) memberi dampak pada perubahan pondasi perekonomian nasional secara makro sekaligus memberi motor bagi pergerakan ekonomi di Surakarta. Pergeseran pada kebijakan kemudian mengalami perubahan yang mendasar terjadi selepas tahapan pembangunan yang pertama selesai dan memasuki tahapan pembangunan kedua, yang bertepatan dengan efek dari naiknya harga minyak dunia. Tema peningkatan kesejahteraan kemudian menjadi jargon pembangunan yang senantiasa didengung-dengungkan.

Di Surakarta, konteks pembangunan kemudian diimplementasikan dalam bentuk peningkatan agenda-agenda pengembangan kota yang dilanjutkan oleh Soekatmo Prawirohadisebroto (1980-1985) dengan program dikenal secara luas oleh masyarakat yaitu K5 ; Kebersihan, Keindahan, Kesehatan, Ketertiban dan Ketetapan. Beragam kegiatan serta merta digalakkan sebagai upaya pembangunan kota secara kolektif lewat slogan-slogan pembangunan seperti Gersitin (Gerakan Kebersihan Rutin), Gersila (Gerakan Kebersihan Berkala) hingga Gersimmum (Gerakan Kebersihan Umum). Program yang kurang lebih sama juga dihadirkan oleh R. Hartomo (1985-1995) yang melanjutkan kepemimpinan kota lewat program pembangunan perkotaan yang Bersih, Sehat, Rapi dan Indah (Berseri) guna mengantisipasi masalah utama Kotamadia Surakarta yaitu kebersihan dan keindahan serta masalah-masalah pokok perkotaan lainnya menuju Sala Kuncara : bersinar. Capaian atas program tersebut tampak dengan perolehan penghargaan dari pemerintah pusat berupa Adipura (sebanyak 8 kali ; beberapa diantaranya Adipura Kencana) dan capaian yang lain adalah tumbuh kembangnya kota secara massif. Catatan pertumbuhan pada penggunaan alat transportasi misalnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, jika pada 1986 hanya terdapat 20.203 kendaraan bermotor maka pada tahun 1996 total jumlah kendaraan bermotor mencapai 39.625 (dengan kesiapan infrastruktur jalan yang mencapai 288.689 km ; jalan beraspal mengalami peningkatan 57.78 %). Perkembangan dan ketersediaan berbagai infrastruktur tersebut diikuti pula dengan berkembangnya sektor jasa yang makin meluas dan menjadi salah satu alternatif atas pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat luas. Bahkan signifikansi pertumbuhan sektor jasa dari periode 1986-1996 mampu mencapai nilai jasa sebesar Rp.134.194.581.000,- atau 4.33 kali lebih besar dari fase-fase sebelumnya. Jumlah pasar sebagai bagian dari aktivitas ekonomi mengalami peningkatan menjadi 32 lokasi dengan jumlah kios/warung/toko yang juga mengalami peningkatan pertumbuhan 1.8 %/tahun sekaligus memberi kontribusi bagi PDRB kota Surakarta dari sektor perdagangan sebanyak 19.49 %. Program-program pembangunan menuju Sala Kuncara yang purna bangun lalu mengagendakan pembangunan kota Surakarta yang : menjamah perubahan dan pembangunan seluruh lapisan penduduk, memberi prioritas yang tinggi kepada pengembangan sumber daya manusia, keterlibatan dan partisipasi dalam proses pembangunan dengan menentukan orientasi kepada penciptaan lapangan kerja serta memberi kesejahteraan kepada semua orang dan menciptakan keadilan sosial, dicoba untuk mulai dicanangkan.

Semua program tersebut kemudian menjadi titik tolak bagi kepemimpinan Imam Soetopo (1995-1999) sebagai Walikota pada fase berikutnya. Penegasan atas gagasan Tri Krida Utama (yang telah dimulai sejak 1985) menegaskan kembali : Sala sebagai Kota Budaya, Pariwisata dan Olahraga yang mulai direalisasikan secara massif. Unsur-unsur program Tri Krida Utama yang kemudian diimplementasikan menjadi 5 Krida Utama dalam agenda pembangunan daerah untuk Sala Kuncara :  Krida Pertama bidang Pariwisata ; Krida Kedua : bidang Kebudayaan ; Krida Ketiga : bidang Perdagangan ; Krida Keempat : bidang Industri Kecil/Kerajinan Rakyat ; Krida Kelima : bidang Pendidikan/Keterampilan. Keberadaan lokus-lokus budaya di kawasan kota dan sekitarnya kemudian menjadi titik tolak bagi nilai jual sekaligus daya tarik bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat secara lebih luas. Keberadaan keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, taman Bale Kambang, taman Sriwedari, Taman Satwa Taru Jurug serta dengan berbagai ritus kebudayaan yang hadir seperti Sekaten, Grebeg keraton hingga Maleman Sriwedari menjadi daya tarik sekaligus memberi efek domino pada terjadinya transaksi perekonomian yang luas baik penginapan, transportasi, perdagangan hingga kerajinan. Tercatat laju PDRB pada tahun 1993-1994 mengalami peningkatan sebesar 8.54 %. Dimana sumbangan sektor perdagangan terhadap pembentukan PDRB mencapai 19.14 % dan dengan pendapatan/perkapita yang pada tahun 1993 (Rp 1.620.689) meningkat menjadi Rp 1.851.609 pada tahun 1994. Kondisi (income perkapita yang cukup tinggi) tersebut menjadi alasan bagi tumbuhnya konsumsi dalam jumlah yang tinggi oleh  masyarakat memberi dampak bagi investasi dalam bidang pemenuhan hasrat konsumsipun menuai keuntungannya. Super-market/mall/swalayan seperti Matahari Dept. Store, Beteng Plaza, Matahari Singosaren Plaza, Prabu Dept. Store, Super Ekonomi Purwosari Plaza, Sinar Baru Dept. Store, Luwes Baru, Sami Luwes, Luwes, Ratu Luwes, Asia Baru dan Gelael semakin marak tumbuh ditengah-tengah kota sekaligus menjadi pusat aktivitas sosial konsumsi bagi masyarakat kota. Sedangkan perkembangan usaha kecil juga tumbuh mengimbangi, tercatat 733 unit usaha kecil formal dan 7935 unit usaha kecil non-formal yang tersebar diberbagai wilayah kota, dengan kemampuan menyerap tenaga kerja sebanyak 11.613 orang.

Berita Terkait