Jogopanjaran, Interaksi Etnis

Jogopanjaran terdapat di kelurahan Purwodiningratan yang terdiri dari 12 RW, yang mana setiap RW-nya terdiri dari 3 RT. Purwodiningratan memiliki 1.260 KK dari 130.277 KK yang ada di kota Surakarta. Dari 1.260 KK tersebut dikembangkan lagi yang total penduduknya mencapai 4.031 dari 460.197 penduduk yang berdomisili di kota Surakarta. Terdapat 919 rumah penduduk di Purwodiningratan ini, diantara 98.116 rumah yang ada di kota ini.

Kampung ini dapat dikatakan kampung yang strategis yang berada di pusat kota Surakarta. Banyak akses-akses yang dapat ditemui di sini. Di sebelah barat Purwodiningratan adalah Pasar Gede, ke arah Utara sedikit juga Pasar Legi, Rumah Sakit Unit Daerah (RSUD) dan Stasiun Balapan juga berada di sebelah Utara. Akses pendidikan pun tak kalah mudahnya, kampung ini sangat mudah menjangkau sekolah yang dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, sampai Sekolah Menengah Atas dapat diakses di sini. Perguruan Tinggi juga terdapat lebih dari satu yang dapat di akses dari Purwodiningratan.

Kampung Jogopanjaran terdiri dari 3 RT yang mayoritas penduduknya adalah orang beretnis Tionghoa, sedangkan penduduk aslinya (Jawa) sendiri cenderung lebih sedikit. Agama yang dianut oleh masyarakat mayoritas adalah Nasrani, dan terdapat pula agama Konghucu. Di Kampung Jogopanjaran ini hanya terdapat satu tempat ibadah, yaitu klenteng sebagai tempat peribadatan untuk umat Konghucu. Kampung Jogopanjaran saat ini sangat berbeda dengan masa yang lalu. Mulai dari ruang atau wilayah, dan juga masyarakatnya. Pada awalnya, kampung ini adalah sebuah kampung yang para penduduknya adalah para jogo panjaran atau para sipir dari Keraton Surakarta sejak zaman penjajahan Belanda. Kampung ini merupakan tempat tinggal para jogo panjaran beserta para keluarganya. Sehingga para penghuni kampung ini adalah orang-orang Jawa asli, terutama yang masih berdarah Surakarta. Para jogo panjaran ini merupakan para abdi keraton yang selalu setia dengan rajanya.

Setelah kemerdekaan diperoleh Indonesia, fungsi para jogo panjaran mulai sedikit demi sedikit memudar dan justru malah hilang. Dahulu, rumah warganya tidak terlalu besar, namun setiap rumah selalu disertai dengan pekarangan atau kebun, sehingga ada pemanfaatan lahan di sekitar rumahnya. Lahan-lahan kosong juga masih banyak terdapat di kampung ini dahulunya. Pada awalnya kampung ini merupakan tanah yang luas, di mana hanya ada seorang penghuni saja. Sehingga ia mengajak teman ataupun orang-orang lain untuk ikut tinggal di Jogopanjaran bersama dengannya. Pada zaman dahulu penempatan tanah sebagai tempat tinggal bukan menggunakan metode jual-beli ataupun sewa-menyewa, akan tetapi mereka hanya tinggal menempatinya saja dan itu menjadi hak miliknya atau pemakai sampai dengan pada anak cucunya.

Seiring perkembangan zaman, pola pikir masyarakat mulai berkembang dan mereka menginginkan sesuatu yang lebih dari yang ia miliki pada saat itu. Tepatnya pada tahun 80-an tanah mereka banyak yang dijual kepada para warga etnis Tionghoa. Sehingga para penduduk asli ini banyak yang melakukan bedol desa atau berpindah ke Pucang Sawit. Tidak hanya di kampung ini saja, melainkan juga kampung lain yang masih termasuk ke dalam area Purwodiningratan. Mereka semua juga melakukan bedol desa ke Pucang Sawit. Sehingga para penduduk Pucang Sawit ini kebanyakan adalah penduduk berasal dari Purwodiningratan pada awalnya.

Bedol desa ini terjadi pada awalnya ketika mereka menjual tanah dan bangunannya yang dia tempati di kampung Jagapanjaran ini. Peristiwa itu tepatnya pada tahun 1982, para warga ini menjual tanah dan bangunannya kepada orang lain dan memilih untuk pindah ke daerah lain namun masih di daerah sekitar Purwodiningratan, yaitu Pucang Sawit, Sangkrah, maupun Rejosari. Entah kebetulan yang disengaja atau tidak, semua pembeli dari rumah-rumah warga tersebut adalah warga etnis Tionghoa.

Warga etnis Tionghoa ini tidak segan-segan membeli banyak rumah dalam setiap orangnya. Warga etnis Tionghoa bisa membeli lima rumah sekaligus untuk dijadikan satu rumah dalam satu pekarangannya. Sehingga lima rumah beserta pekarangannya milik warga dulu dijadikannya satu rumah yang dapat dikatakan sangat besar. Seperti yang dapat kita lihat sekarang ini, kampung Purwodiningratan ini memang nampak tidak terlalu berjubel (rumah-rumah yang terlalu berdekatan). Namun bangunan setiap rumahnya nampak sangatlah besar, dengan rumah yang tinggi dan dibarengi dengan tembok rumah yang tingginya hampir sama dengan tinggi rumah itu sendiri.

Kondisi dahulu dengan sekarang juga sangat berbeda, salah satunya karena banyaknya pendatang ini. Jumlah para pendatang sangatlah banyak dibanding dengan penduduk aslinya. Penduduk asli yang memang benar-benar dari kampung ini di RW 1 ini hanya tinggal Mbah Sartini saja beserta anak cucu dan kerabatnya. Beliau menempati satu pekarangan, di mana satu pekarangan ini dibagi sesuai dengan jumlah anaknya dan didirikanlah rumah di situ sebagai tempat tinggalnya. Sedangkan penduduk yang lainnya merupakan warga keturunan Tionghoa.

Kalau dulu itu di sini masih banyak kebunnya, di sana, di sana, di sana itu kebun semua (sambil menunjukkan arah dengan tangannya). Tapi ya sekarang sudah jelas beda dari dulu sejak banyak orang-orang Tionghoa yang beli tanah di sini. Dahulu lima rumah sekarang cuma jadi satu rumah saja. Dulu masih banyak orang-orang itu ngumpul cerita-cerita, rasan-rasan soal ini soal itu. Tapi ya sekarang ndak. Orang-orang Tionghoa ini tiap pagi keluar naik mobil, kerja, pulang langsung masuk rumah. Ya udah gitu-gitu aja,” tutur Mbah Sartini, sesepuh kampung yang hanya tingga beliau saja.

“Dulu tahun ’72-an itu di sini belum kayak gini mbak. Kalau cerita yang saya tahu ya dulu itu di sini itu adalah kampungnya para jogo panjaran dari Keraton Surakarta. Yang saya tahu itu di sini dulu itu cuma ada 1 orang yang menempati kampung ini, namanya orang kan ya ga berani hidup sendiri, apalagi dulu di sini masih berupa tanah yang kayak hutan itu. Ya dia cari teman, dulu pakai tanah itu bukan pakai beli atau nyewa, tapi ya mereka pakai tanah itu sebagai rumah ya itu sudah menjadi hak miliknya sampai pada anak cucunya nanti. Namanya orangkan pengen mengubah nasibnya, kehidupannya pengen berubah lebih baik lagi, itu tepatnya tahun ’82-an. Para penduduk asli sini itu pada menjual tanahnya, tapi bukan para jogo panjaran-nya, melainkan cucu-cucunya. Mereka menjual rumah dan tanahnya, dan kebetulan yang membeli semuanya itu adalah orang-orang etnis, terus penduduk yang dulu pada bedol desa ke Pucang Sawit. Tapi gak cuma di Jogopanjaran saja, tapi kampung-kampung lain di Purwodiningratan yang lainnya juga pada bedol desa semua. Makanya di kayak yang mbak bilang itu, semuanya penduduknya orang-orang etnis,” tutur Pak Margono, yang masih kerabat Mbah Sartini.

Percakapan dengan Mbah Sartini dan Pak Margono tersebut dapat menggambarkan bagaimana perubahan yang terjadi pada kampung ini yang sangat nampak jelas kasat mata. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat begitu saja, tanpa ada proses yang panjang. Namun perubahan yang terjadi secara cepat dan secara besar-besaran. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan bagi para penduduk asli yang berada di sekitar rumah-rumah besar tersebut. Mereka merasakan bagaimana perasaan mereka dalam membedakan kehidupan mereka dulu yang penuh dengan suasana kebersamaan dan kekerabatan yang terjalin diantara anggota masyarakatnya. Namun sekarang hal tersebut sangat berubah cukup drastis menjadi sikap individualistis dan tertutup yang membentuk kepribadian dari masyarakat yang menimbulkan rasa ketidakpuasan warga asli dan keminderan terhadap kampung lain yang masih menanamkan rasa kebersamaan di dalam lingkungan masyarakatnya.

Nama Jogopanjaran juga memiliki sejarah dan beberapa kali terdapat pergantian nama. Dari awal berdirinya memang kampung ini bernama Kampung Jogopanjaran yang karena penghuninya adalah para jogo panjaran di Keraton Surakarta. Namun seiring berjalannya waktu nama Jogopanjaran ini diganti untuk menyetarakan nama di dalam kelurahan. Jogopanjaran diganti dengan nama Purwodiningratan RW 1, namun tidak bertahan lama. Bapak Margono dan Bapak Halim yang merupakan warga asli di sini dengan Bapak Yahya yang merupakan pendatang warga etnis Tionghoa menginginkan pergantian nama kampung tersebut menjadi nama semula.

Gapura kampung merupakan bangunan baru atas prakarsa dari bapak-bapak tersebut (Bapak Halim, Bapak Margono, dan Bapak Yahya). Bapak Yahya yang sebagai warga pendatang sangat berperan penting di dalam pembangunan ini. Beliaulah yang mendanai pembangunan gapura ini, dan menyerahkan pembangunannya pada Bapak Margono dan Bapak Halim. Sehingga beliau berdua langsung membuat sketsa dari gapura tersebut dan langsung mulai membangunnya. Berdirinya gapura ini sekaligus menggantikan nama Purwodiningratan di kompleks RW 1 menjadi kampung Jogopanjaran.

Nama Purwodiningratan RW 1 ini tak lantas tergantikan begitu saja. Nama Purwodiningratan ini masih tetap terpakai pula. Jogopanjaran ini dipilih kembali menjadi nama kampung ini karena mereka yang sebagai warga asli ini merasa rindu dengan suasana kampung pada waktu-waktu yang dahulu. Sehingga mereka mengembalikan nama ini dengan harapan agar suasana seperti dahulu kembali muncul, meskipun hal tersebut tidak mungkin lagi.

 

Bagian I:
Lintang Praharying S., Sayyidah Azizah R., Muh. Juliarahman,                   
Priscillia Widyastuti, Indah Noor Kumalasari, Suada Budi Setyawan,                                        
 
Aji Pribadi Gumilar, Nico Pratama

 

Berita Terkait