Balada Empon-Empon Di Tengah Pandemi
Krisis kesehatan saat ini telah menimbulkan berbagai kepanikan dan kecemasan dikalangan masyarakat. Bukan hanya pemerintah yang mencoba mencari solusi untuk melindungi populasinya dari dampak wabah ini, namun di tengah masyarakat sendiri pun bisa kita lihat berbagai upaya personal yang sifatnya untuk melindungi diri. Seperti yang bisa kita baca di berbagai media nasional maupun lokal di Indonesia yang memberitakan adanya kelangkaan empon-empon di berbagai daerah di Indonesia, yang dipercayai mampu melindungi dari serangan virus COVID-19 tersebut. « Harga empon-empon melonjak tinggi dan mulai langka », begitu salah satu judul berita yang di muat di Kompas TV pada 05 Maret 2016. Fenomena ini muncul bukan hanya karena aspek sosiologis yang mempercayai khasiat dari empon-empon bagi kesehatan, namun juga ditambah adanya pemberitaan media yang memuat pendapat sejumlah kelompok ilmuwan Indonesia yang mensaintifikasi kandungan tumbuhan-tumbuhan lokal ini berpotensi untuk menangkal penyebaran virus COVID-19.
Pandemi, Kepanikan dan Ilmuwan
Pendapat saintifik dari sekelompok akademisi ini semakin menyebar cepat dan luas di masyarakat dan sangat dipercaya, terlebih setelah beberapa pengambil kebijakan merujuknya sebagai dasar pertimbangan keputusan penanganan penyebaran virus Corona. Seperti yang dilakukan oleh Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur, yang mengunggah status Instagramnya pada 18 Februari 2020, menyebutkan “Seorang peneliti dari Universitas Airlangga Surabaya berhasil menemukan penangkal Virus COVID-19” yang notabene berbahan dasar empon-empon. Dan yang terjadi setelah itu adalah perburuan empon-empon yang merajalela di kalangan masyarakat.
Fenomena maraknya formula-formula anti-virus di tengah pandemi ini cukup menarik untuk cermati. Bukan sekedar seputar bahan yang dipergunakan, namun juga karena formula-formula tersebut merupakan hasil ‘temuan’ dari para ilmuwan yang, tentu saja, oleh masyarakat tidak diragukan lagi integritas dan kapasitas keilmuannya. Seperti yang bisa kita lihat pemberitaan bagaimana Gubernur Sumatera Selatan yang siap akan memproduksi secara masal anti-virus yang berwujud gula temuan dari seorang profesor akademi kebidanan.
Kontroversi keilmuan di tengah pandemic Fenomena yang hampir sama juga bisa kita saksikan di Perancis. Didier Raoult, seorang profesor mikrobiologi spesialis penyakit menular Universitas Aix-Marsaille yang mendadak menjadi terkenal di seluruh dunia setelah mengumumkan penemuan anti-virus COVID-19. Raoult mengklaim bahwa penggunaan obat hydroxychloroquine pada pasien Corona memberi peluang besar kesembuhan. Pernyataannya tersebut seketika memicu polemik berbagai kalangan. Mengingat, hydroxychloroquine merupakan obat yang tersedia di pasaran dan telah digunakan untuk menyembuhkan penyakit Malaria. Sejumlah dokter yang sepaham dengan Pr. Raoult menerapkan pengobatan hydroxychloroquine kepada pasien-pasiennya.
.Permintaan menggunakan pengobatan ini meningkat di beberapa wilayah di Perancis, terlebihsetelah beredar pengakuan sejumlah artis Perancis yang terjangkit Corona sembuh berkat metode pengobatan ini. Di level yang lain, para politikus oposan Perancis menggunakan polemik ini untuk mengkritik pemerintah. Mereka menuding pemerintah tidak transparan, merencanakan skandal dalam penanganan krisis kesehatan. Politisi yang memberi dukungan Pr. Raoult, mendesak pemerintah mengaplikasikan hasil percobaannya pada pasien Corona di seluruh Perancis.
Pemerintah Perancis sangat berhati-hati menanggapi tekanan ini. Pemerintah tidak menginginkan terjadinya kepanikan di masyarakat. Komisi keilmuan sebagai penasihat resmi pemerintah telah mengungkapkan keraguan mereka pada kaidah/langkah-langkah ilmiah yang digunakan Pr. Raoult. Selain itu, di kalangan ilmuwan juga mengkhawatirkan adanya efek samping yang berbahaya akibat pengobatan hydroxychloroquine bagi pasien COVID-19. Namun, ironisnya Presiden Macron tetap bertemu Pr. Raoult pada 09 Maret 2020 dengan diam-diam . Pesan pertemuan Macron dan Raoult sangat jelas. Pemerintah ingin memberi ketenangan kepada publik. Selain itu, pemerintah juga ingin menunjukkan dukungannya kepada seluruh ilmuwan yang saat ini sedang bekerja/berusaha menemukan obat atau vaksin yang tepat agar jumlah korban Corona dapat semakin dikurangi. Walaupun akhirnya pertemuan tersebut malahan menjadi polemik, karena masyarakat sudah terlanjur percaya pada sifat kontroversi dari Pr. Raoult.
Integritas Keilmuan yang Ternegosiasi
Kasus empon-empon di Indonesia dan pengobatan hydroxychloroquine di Perancis membuktikan bahwa kondisi darurat kesehatan ini telah memprovokasi sejumlah ilmuwan melampaui integritasnya. Para ilmuwan mengetahui apa yang kebanyakan orang tidak ketahui, bekal keilmuan (reputasi), pengalaman dalam bidangnya adalah hal-hal menggiring intuisinya, yang mungkin mengandung kebenaran. Namun sangat disayangkan jika intuisi tersebutkemudian tidak terjustifikasi secara baik keilmuannya. Alih-alih untuk tetap berhati-hati dan bertanggungjawab secara keilmuan, terkadang mereka malah (terburu-buru) mentransaksikannya untuk mendapatkan keuntungan dan popularitas pribadi belaka dengan memanfaatkan momentum kemanusiaan ini.
Integritas para ilmuwan tetaplah harus sama, baik dalam situasi normal maupun situasi darurat. Penerapan prosedur ilmiah yang ketat tetap menjadi keutamaan untuk menghasilkan sebuah kebenaran yang teruji. Selain itu, para peneliti hendaknya mengkomunikasikan hasil pekerjaannya kepada sesama peneliti untuk membuka ruang kritik, masyarakat dan pengambil kebijakan melalui media maupun jaringan sosial secara bertanggung jawab, profesional dan transparan. Komunikasi tersebut berguna untuk membangun kepercayaan sesama peneliti ; melindungi masyarakat dari interpretasi dangkal para peneliti dan menghindari timbulnya kepanikan di masyarakat. Hendaknya pengambil kebijakan dan komunitas ilmuwan sendiri segera menyadari potensi bahaya dari hasil penelitian yang tidak memenuhi aspek integritas keilmuan ini.
Ditambah lagi, dalam situasi darurat ini, terjadi peningkatan jumlah berita palsu (hoak) yang beredar di masyarakat, dimana salah satu sumber pemberitaannya sering berawal dari argumen picisan para ilmuwan tanpa integritas ini. Pengambil kebijakan dan media juga memiliki peran dan tanggung jawab sosial esensial untuk meredam kepanikan masyarakat yang ditimbulkan dari berita-berita (yang mungkin) palsu ini. Sangatlah mudah dan wajar, pengambil kebijakan maupun jurnalis merujuk pendapat ahli pada masa pandemi ini untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Namun perlu diingat, prioritaskan pada ilmuwan yang berintegritas, bukan ilmuwan populis yang hanya sekadar membuat kegaduhan yang tak berfaedah.
Tantangan bagi Dunia Penelitian Indonesia
Sebuah upaya baik yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menekan berita palsu (hoaks) dengan meluncurkan sejumlah aplikasi terkait pencegahan dan deteksi terhadap penularan Covid-19. Namun sayangnya masih banyak pendapat para ilmuwan kualitas (maaf) empon-empon beredar di masyarakat yang berpotensi menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Hal ini terjadi (mungkin) karena absennya (atau kurang optimalnya) keberadaan komisi ilmuwan ataupun asosiasi antar peneliti yang kredibel dalam memberi masukan kepada pemerintah untuk meredam kecemasan, memberikan kepastian dan membangun optimisme publik dalam menghadapi pandemi COVID-19 di Indonesia.
Di sisi lain assosiasi ini yang juga diharapkan sebagai wadah diskusi yang mengiring sebuah ide penelitian ke sebuah hasil yang sahih dan yang bersifat ajek. Seperti dalam kasus empon-empon, bukan berarti kita anggap mengandung ketidakbenaran mutlak, namun perlu diingat bahwa secara epistimologi pengetahun, kebenaran itu dibangun dari sebuah proses dialektik. Hasil awal yang sudah didapatkan para peneliti emponempon atau yang dianggap anti-virus lainnya bisa menjadi pemantik perdebatan ide ilmiah dalam kerangka assosiasi tersebut. Sehingga hasil akhir yang akan diperoleh dapat benar-benar bermanfaat bagi kemanusiaan dan pengembangan ilmu pengetahuan « penemuan ».
Pengambil kebijakan saat ini sangat membutuhkan kontribusi dari para peneliti melalui hasil-hasil penelitian yang dilakukan secara cermat, teliti dan berhati-hati yang menerapkan kaidah penelitian yang benar. Penelitian dalam bidang kesehatan dan teknologi memang dipandang sangat penting dalam penanganan wabah yang sedang berlangsung. Namun penelitian di bidang ilmu sosial dan humaniora juga tidak bisa diabaikan pentingnya untuk mengamati segala dampak sosial dan ekonomi dari wabah ini dan untuk melihat bagaimana kehidupan sosial di masa dan pasca pandemi ini. Kita bisa berkaca dari pernyataan Presiden Emanuel MACRON “segala tindakan kita ini berdasarkan hanya pada satu prinsip yaitu ilmu pengetahuan”
Dalam situasi darurat pandemi corona ini, secara nyata menunjukkan kepada kita bagaimana beban berat ilmu pengetahuan menemukan solusi bagi masalah kemanusiaan. Seluruh aspek kehidupan manusia terancam dengan adanya penyebaran virus ini. Umat manusia menunggu dengan tidak sabar hasil kerja ilmu pengetahuan. Penemuan anti-virus mutlak diyakini dapat membantu membebaskan umat manusia keluar dari krisis kesehatan ini. Ilmu pengetahuan juga hendaknya dapat membantu dalam pengambilan sebuah keputusan evaluative yang terukur dan relevan untuk memahami dan mengantisipasi perubahan yang cepat. Namun situasi ini juga ibarat « dua mata pisau » bagi komunitas peneliti Indonesia, yaitu di satu sisi bisa menjadi momentum yang tepat untuk membuktikan kualitasnya atau malahan semakin tenggelam dalam pragmatisme populis yang mengiring pada ketidakpercayaan publik terhadap lembaga ilmu pengetahuan. Hal ini juga telah diserukan oleh berbagai organisasi dan lembaga peneliti dunia, yang menghimbau para peneliti untuk tetap berhati-hati. Bagaimana kejujuran pada kode etik dan penerapan prosedur ilmiah yang ketat para ilmuwan tergoda untuk bernegosiasi dengan pragmatisme dan desakan situasi darurat. Akhirnya, kita bisa tanggapi pandemi ini sebagai sebuah tantangan sekaligus peluang bagi dunia penelitian di Indonesia.
Oleh Agung Wibowo
Anthropologi Sosial-Budaya, Ecole doctorale EUCLIDE 618, La Rochelle Université
Catatan : Tulisan diadaptasi untuk bisa diarsip dan bagikan sesuai ijin penulis
Sumber gambar : https://travel.kompas.com/read/2020/03/20/230000927