Tantangan Kampung-Kota, Bertahan dalam Perubahan
Srawung Kampung-Kota yang dikelola oleh Kampungnesia dan Prodi Sosiologi FISIP UNS hadir secara online melalui beberapa sesi untuk menunjukkan berbagai macam isu dinamika kampung-kota yang bisa didiskusikan dan mampu mereproduksi pengetahuan lebih luas. Acara ini dikemas dengan pemaparan dari berbagai ahli studi ilmu yang beragam dan duduk bersama untuk menyuarakan pengalaman di kampungnya masing-masing.
Pengalaman tersebut tertuang dalam perkembangan kampung-kota dari tahun ke tahun, misalnya Kampung Maspati Surabaya yang disampaikan pada sesi pertama oleh Guru Besar Unair, Purnawan Basundoro. Purnawan mendefinisikan bahwa kampung-kota merupakan sebuah ruang yang dikurung dalam aspek kegotongroyongan dan keguyubrukunan. Hal tersebut patut dipertahankan karena menjadi daya tarik tersendiri bagi khalayak umum.
Kampung Maspati merupakan kampung yang sangat eksis dari tahun 1677 sampai sekarang. Hubungan masyarakatnya kental karena dipengaruhi oleh kultur agraris, dan detik ini Kampung Maspati berada di tengah kota dan pertokoan. Kampung ini dijadikan kampung wisata karena ke-tua-an, sejarah, dan kebudayaannya merupakan salah satu contoh dalam modal sosial, maka dari itu disebut sebagai Kampung Lawas Maspati.
Menurut Sabar, Ketua RW Kampung Maspati, awal kampung ditawarkan dimulai dari lomba green and clean yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya dan diikuti kampung-kampung di Surabaya. Kampung menjadi ruang yang sangat penting di perkotaan karena aspek budaya kampung yang terdiri dari gotong royong, tepo seliro, dan mengacu pada hunian agraris harus tetap ada dan dimodifikasi dengan baik.
Beberapa kegiatan yang diadakan adalah menghadirkan kembali dolanan dan pengetahuan tempo dulu salah satunya tulisan Jawa. Kedua kegiatan tersebut harus dilakukan secara berkala untuk melestarikan hal-hal yang sudah hampir terlupakan. Dari berbagai aktivitas di Kampung Maspati, ada beberapa hal yang dinilai mampu menjadikan kampung sebagai suatu ruang yang mampu menghadirkan kembali romantisme masa lalu yang hampir hilang.
Pertama, mendorong keberhasilan dari kekompakan antar warga. Kedua, kerjasama dengan pemerintah. Ketiga, kerjasama dengan media. Keempat, kerjasama dengan komunitas. Kelima, profesionalisme. Kampung menjadi bagian penting dari sebuah kota, di mana saat kota bekerja, kampung akan selalu menjadi bagian dari kerja-kerjanya.
Dua Entitas yang Tidak Terpisah
Sementara menurut Bobi Setiawan, Guru Besar Planologi UGM, mestinya seorang arsitektur berpendapat bahwa kampung dan kota adalah dua entitas yg tidak bisa dipisahkan. Selama puluhan tahun, misalnya di Kampung Rawamangun terdapat stagnasi atau kemandekan. Kita sedang dihadapkan padai urbanizing world, dunia yang semakin mengkota.
Menurut data, pada tahun 2045, 60-70 persen penduduk Indonesia sudah menjadi penduduk perkotaan. Ingin tidak ingin, urbanisasi harus mampu dilewati. Keberhasilan kita mengelola kampung-kota merupakan kunci penting dalam mengelola bumi kita. Kampung diharapkan menjadi inklusivitas dan aman terhadap bencana. Hal tersebut sejalan dengan prinsip SDGs. Prinsip SDGs menilik tentang kota menuju inklusi, hak atas rumah supaya tidak terjebak dalam Poverty Trapped (lingkaran kemiskinan), kota inklusif, perumahan informal, dan 70-75 persen warga kota di Indonesia tinggal di kampung.
Kampung menjadi bagian penting dari kota. Kampung ‘tradisional’ merupakan bagian atau elemen istimewanya kota. Kota tidak hanya dipandang dengan kelebihannya, namun terdapat beberapa masalah, yaitu sistem sarana dan prasarana yang kurang memadai, komersialisasi atau privatisasi ruang, modal sosial atau gotong royong memudar, ketahanan lokal kurang menonjol, status yg tidak jelas, dan inkonsistensi kebijakan.
Sedangkan jika ditilik lebih lanjut mengenai kampung, kampung akan terus memasok kebutuhan utama perumahan kota, ketidakjelasan status kampung memang problematik, tetapi formalisasi dan legalisasi di lahan kampung tidak selalu bermanfaat, kampung dapat menjadi media jebakan-kemiskinan poverty trapped lingkaran kemiskinan dan kampung mempunyai potensi untuk membentuk kota yang khas Indonesia.
Harapannya ada local leadership dan kekuatan organisasi warga kampung yang justru bisa meningkatkan masa depan kampung. Pada akhirnya, pengetahuan tentang kampung-kota tidak terhenti pada sebatas diskusi dan pemikiran-pemikiran penting, bahwa senyatanya butuh aksi untuk membuat kampung menjadi daya tarik dan mampu dikembangkan dengan baik.
Migrasi dan Permasalahan yang Melingkupinya
Pada sesi kedua, diskusi ini dimulai dari pemaparan Dian Irawaty, Geography Department University of California. Ia mengemukakan bahwa keamanan bertempat tinggal dan solusi menuju perpindahan warga merupakan hal tidak kalah penting untuk dibahas. Menurut data, pada tahun 2017 terdapat 4,5 juta jiwa mengalami dampak penggusuran. Hal tersebut terjadi karena adanya modernisasi dan perubahan lingkungan (penggusuran hijau).
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi modernisasi di perkotaan, adalah terjadinya neoliberalisasi, aspirasi kota kelas dunia, kelas menengah yang muncul, dan sektor real estate yang menguntungkan sebagai peluang investasi. Menurutnya, warga yang tinggal di sepanjang sungai sering kali menjadi kambing hitam terkait adanya kemunduran pada kualitas lingkungan. Selain itu, penggusuran yang terjadi di wilayah perkotaan terjadi pada warga yang mengalami siklus perekonomian yang rentan.
Berbicara mengenai penggusuran hijau memiliki dua narasi yang berasumsi bahwa orang yang tinggal dalam slum area mengakibatkan banjir, pembangunan kota yang semrawut, menuduh kaum miskin kota sebagai penyebab dari masalah perkotaan. Narasi ini dilanjut dengan intensifikasi stigma yang berkonotasi negatif, sehingga kampung tidak dipahami sebagai ruang hidup atau pressure (tekanan) dari hadirnya modernisasi.
Pendekatan terhadap kampung di Jakarta tidak mengalamatkan pada keamanan hak atas rumah. Hal ini sejalan dengan pembangunan Kampung Susun Akuarium yang akan rampung pada tahun 2022, menginterpretasikan bahwa kampung bisa dijadikan rusunawa, namun menghilangkan unsur-unsur kampung. Sehingga evolusi strategi yang Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRKM) lakukan adalah dengan mengadakan demonstrasi, mengembangkan konsep desain alternatif (muara baru), mengadakan kontrak politik (bersepakat dengan pemimpin yang berpihak pada warga), lobby dan tekanan warga.
Akumulasi dari membangun kampung akan tetap terjaga yaitu dengan cara melakukan Kolektif Ownership (kepemilikan bersama) untuk mencari cara keamanan bermukim secara permanen melalui koperasi. Berbeda dengan Erwin Nugraha dari University of Twente yang melihat kampung dari sudut pandang perubahan iklim. Program Kampung Iklim (ProKlim) merupakan suatu program yang menegosiasi bentuk perubahan iklim bias dalam siklus perkotaan.ProKlim sebagai upaya perubahan iklim dalam unit spasial. Kampung dari sudut pinggiran atau batas perkotaan, bukan sebagai posisi absolut, tetapi relatif. Erwin mencoba memahami bahwa batas perkotaan itu bisa menentukan logika krisis iklim.
Misalnya, habituasi di Lampung dan Semarang bahwa kampung-kampung di perkotaan yang rentan terhadap perubahan iklim, mereka hidup dalam habituasi yang ambiguitas. Sedangkan ProKlim dibentuk dalam mekanisme pasar sebagai institusi sosial maka penting untuk bisa melihat evolusi dan mekanisme disiplin diterapkan dari kampung (intervensi negara) juga berhubungan dengan logika kampung dan pemerintah nasional yang dibingkai dalam relevansi kampung dan perubahan iklim. Kehadiran iklim dan pengetahuan perkotaan dalam kewirausahaan kampung menjadi krisis iklim di wilayahnya.
Nilai Kesenian
Semakin banyak khazanah pengetahuan yang didapat tentang kampung-kota, menurut Agung Wibowo dari La Rochelle menegaskan bahwa kita bisa menilai relasi sosial antara kampung-kota dalam sebuah pertunjukan kesenian Ludruk Jawa Timur. Jawa Timur memiliki keragaman budaya dan etnis, salah satunya adalah Jawa dan Madura. Sejak zaman kolonial, Ludruk pernah dilarang. Selain itu juga, pada saat Orde Lama dan Orde Baru juga dilarang karena bermuatan unsur politik.
Teater di dalam masyarakat memiliki hubungan yang kuat. Sejalan dengan pendapat Marcel Mass, seni merupakan fakta sosial bahwa kota harus mempertimbangkan segala aspek yang ada di masyarakat. Teater dapat dipahami sebagai refleksi sosial. Ludruk memiliki pertunjukan yang sangat kompleks susunannya dan setiap bagian terpisah. Kedua, improvisasi pembagian peran, penonton juga melakukan improve. Waria adalah aktor dominan yang mengisi panggung dan menunjukan sikap ambiguitasnya, satir, lucu kepada penonton, serta memiliki ikatan kuat dengan penonton.
Ludruk bisa menjadi ritual atau sesajen dalam perayaan komunal. Selain itu, terdapat istilah Napel dan Tapel yang memperlihatkan relasi sosial yang terjalin di masyarakat. Napel dapat diartikan memberi atau memprovokasi untuk memberi saweran, menghargai aktor, memberi kesempatan untuk menunjukan dirinya dan uang menjadi kesempatan atau media yang terlihat. Sedangkan Tapel merupakan bentuk penerimaan saweran tersebut. Kesenian memiliki suatu kehalusan. Panggung masyarakat sebagai fakta sosial total bahwa masyarakat merupakan sebuah kesatuan dalam masyarakat.
Oleh Ika Agustina Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS