Surakarta & Memori Kuliner Yang Tak Lekang (2)
Makan, menurut Stephen Mennell (1987) dapat ditelusuri melalui dua poin, nafsu makan, dan rasa lapar. Rasa lapar menurut Mennell merupakan dorongan biologis yang secara wajar dirasakan oleh manusia. Sedangkan nafsu makan cenderung, dipengaruhi aspek psikologis manusianya. Mennell, membahasakan David Cappon (1973), nafsu makan merupakan kondisi kesadaran mental seseorang yang merujuk pada rasa lapar dan mendorong orang itu untuk mengkonsumsi nafsu makan. Dengan kata lain, makan dalam konteks nafsu makan menjadi bukan pemenuhan biologis yang wajar. Namun justru menjadi pemenuhan – bahkan pelampiasan – psikis seseorang. Maka dari itu, dari nafsu makan berlebihan, orang dapat mengalami obesitas. Pola makan, yang berujung pada obesitas tersebut bisa jadi karena hasil konstruksi kapital, dalam kasus ini, rumah makan cepat saji seperti KFC, McDonald, dan Pizza Hut.
Makanan dan Budaya Kita
Dalam sebuah artikel di New York Times, ditemukan korelasi antara tren berkembangnya rumah makan cepat saji, dalam kasus ini KFC, dengan meningkatnya kasus obesitas di Ghana, Afrika Barat. Dalam artikel tersebut dapat dilihat bahwa ada anggapan bahwa mengkonsumsi makanan di rumah makan cepat saji tersebut menempatkan mereka (konsumen) sebagai bagian dari masyarakat kelas atas. Maka dari itu muncul logika bahwa negara yang masyarakatnya memiliki akses mudah dalam mengkonsumsi makanan cepat saji tersebut merupakan negara yang ekonominya kuat (makmur). Anggapan-anggapan tersebut jelas memengaruhi konsumen dalam memaknai makanan yang mereka konsumsi.
Selain konstruksi dari industri kapital, konstruksi makann juga dapat ditemukan di media. Dalam tulisan Ikma Citra Ranteallo dan Immanuella Romaputri Adilolo (2017),, makan sendiri juga dapat dikonstruksi melalui peran media. Dalam tulisannya, Ranteallo dan Adilolo mengutip Hartley (2012) mengungkapkan bahwa peran media sangatlah krusial dalam konstruksi makanan dalam berbagai wilayah, salah satunya merupakan wilayah wisata kuliner. Konstruksi ini kemudian diimplementasikan ke dalam programprogram televisi yang memiliki daya untuk mengajak penonton untuk berpartisipasi secara langsung.
Kegiatan makan yang dikonstruksi media, dapat disandingkan dengan penjelasan mengenai makanan dan kuliner. Pengertian kuliner sendiri muncul dalam ranah pariwisata. Menurut Kivela dan Crotts (2016) yang saya kutip dari tulisan Ranteallo dan Adilolo, kuliner adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan makanan dalam konteks gastronomi seperti makanan khas suatu negara atau daerah. Selain itu, dari tulisan Jeou-Shyan Horng & Chen-Tsang (Simon) Tsai (2010), mengutip dari Ignatov & Smith (2006), istilah kuliner merupakan bentuk adjektif dari cuisine (yang berarti dapur dalam bahasa Prancis) tetapi istilah ini lebih fokus ke urusan praktis, gaya penyajian, dan konsumsi makanannya, serta konteks sosial makanannya (bagaimana diperoleh, Istilah ‘kuliner’, maka dari itu, dapat merujuk pada bahan-bahan yang digunakan, penyiapan/penghidangan makanan (prepared foods) , minuman (beverages), sektor produksinya (food productions), struktur institusinya (institutional structures), dan sektor wisatanya (culinary tourisms). Lalu apa itu culinary tourism? Kapan istilah itu muncul? Culinary Tourism atau Wisata Kuliner menurut penjelasan Long (2004) yang saya kutip dari Ranteallo & Adilolo dan Horng & Tsai, merupakan istilah yang muncul pada tahun 1998 dan merujuk pada wisatawan mancanegara yang berwisata dengan premis ingin mencoba pengalaman kuliner dan tradisi yang berbeda dan eksotis.
Cara mengartikulasikan konsepnya yakni dengan pengalaman bertemu langsung dengan kebudayaan lokal melalui makanan khas atau lokal dan aktivitas yang berkaitan dengan makanan tersebut. Dari penjelasan Long (2004), dapat dilihat bahwa ada konteks sosial dan budaya yang dilibatkan dalam wisata kuliner. Bahkan, Ignatov & Smith juga mengatakan bahwa wisata kuliner merupakan bagian dari wisata budaya yang tidak hanya berwisata sambil icip-icip, namun juga mengalami langsung kultur kuliner di sebuah daerah dan juga menemukan ‘local knowledge’ secara langsung. Konstruksi makan melalui negara dapat diamati melalui politik pangan Soekarno melalui Mustika Rasa. Di buku Jejak Rasa Nusantara, selain penyebutan Mustika Rasa sebagai salah satu bentuk politik pangan yang muncul di Indonesia, wacana ‘Empat Sehat Lima Sempurna’ juga termasuk dalam bentuk politik pangan Indonesia. ‘Empat Sehat Lima Sempurna diwacanakan oleh Soedarmo pada tahun 1950-an.
Wacana ini dimulai pada saat Soedarmo mencanangkan propaganda pembiasaan minum susu untuk anak-anak. Akan tetapi, dalam program ini, Soedarmo justru lebih menitik beratkan konsumsi Susu Kedelai atau saridele (sari kedelai) daripada susu sapi. Dalam buku Jejak Rasa Nusantara, diungkapkan bahwa, “…susu sapi lebih mahal dan tidak terbeli oleh kebanyakan masyarakat.”. Dari kutipan di atas, pola pendisiplinan seperti yang diungkapkan Mennell dapat terlihat jelas. Lebih lagi, propaganda Soedarmo ini lantas menjadi inspirasi Soekamto dalam penyusunan buku Ilmu Makanan pada tahun 1951 yang lalu pada tahun 1952 diperbaharui atas saran Soedarmo dan didistribusikan ke muridmurid sekolah. Dari contoh propaganda Soedarmo dan Soekamto di atas, dapat terlihat bahwa ada pemasangan standar untuk rakyat. Ada anjuran tentang makan yang seimbang dan yang sehat. Obsesi pemerintah terhadap pola makan yang beragam namun seragam ini, jadi muncul kontradiksi-kontradiksi yang menarik untuk diamati.
Sebelum memulai mengaitkan urusan identitas dalam ranah kuliner, perlu ada pemahaman mengenai konsep identitas. Apa itu identitas? Seperti apa praktek identitas dalam realitanya? Dalam tulisan Sheldon Stryker dan Peter J. Burke (2000) , dijelaskan bahwa Identitas menurut Calhoun (1994), merujuk pada kebudayaan sebuah kelompok dan tidak membedakan antara identitas dan etnisitasnya. Sedangkan menurut Tajfel (1982), identitas merujuk pada common identification (identif kemiripan) yang ditemukan secara kolektif pada sebuah kelompok. Dari sini, dapat ditemukan common culture (kemiripan budaya) di dalam relasi antar individu dalam kelompok. Gagasan ini juga dapat ditemukan dalam gerakan-gerakan aktivis (Snow dan Oliver 1995).
Gagasan common identification di atas memang menarik untuk diulas lebih panjang. Akan tetapi, akan menjadi bermasalah apabila membayangkan identitas itu sama saja bahkan dalam sebuah komunitas karena pada dasarnya tiap individu memiliki cara ekspresi identitas yang beragam. Selain itu, pengertian bahwa identitas itu cair juga mendorong seorang individu merancang strategi dalam tatanan sosial yang berlapis-lapis dan memungkinkan identitas individu tersebut untuk bergerak dinamis. Gagasan mengenai imajinasi identifikasi yang serupa juga dapat ditemukan dalam ‘komunitas terbayang’ Ben Anderson (1991).
Ben mengungkapkan bahwa ekspresi nasionalitas seseorang disatukan melalui gagasan pemersatu, yakni bahasa, yang dibayangkan. Dalam segi bahasa, gagasan lingua franca yang dicetus oleh James Siegel (2009) menjadi solusi pemersatu imajinasi-imajinasi tersebut, terutama dalam konteks kemerdekaan Indonesia. Gagasan dari Ben dan Siegel tersebut digunakan untuk mengidentifikasi dan menjabarkan peran kata-kata (bahasa) dalam narasi identitas produk kuliner di Yogyakarta. Akan tetapi, ekspresi identitas nasional atau daerah seseorang tidak melulu diungkapkan melalui bahasa dan juga seringkali menjadi konsumsi pribadi. Sebagai contohnya, kita dapat kembali membicarakan Geertz dengan konteks ritual dari Victor Turner (1969). Turner mengungkapkan bahwa ritual merupakan tindakan simbolis, yang dapat berupa objek benda mati, aktvitas-aktivtas khusus, ungkapan-ungkapan (jampi-jampi), perayaan-perayaan khusus, tempat-tempat sakral, dan gestur tertentu. Tindakan simbolis tersebut dirayakan sebagai devosi khusus terhadap hal-hal yang melampaui kekuatan manusia (mistis). Tindakan ritual inilah menjadi salah satu contoh ekspresi identitas seseorang. Maka dari itu, makanan dapat ditempatkan dalam konteks Turnerian.
Konsep ekspresi identitas yang selalu terpatri dalam memori dan terus dibayangkan juga muncul dalam penelitian Almerico (2014). Dalam tulisannya, mengutip Kitter, Sucher, dan Nems (2012), Makan merupakan tindakan afirmasi ulang hariann oleh seseorang dengan identitas budaya tertentu. (Almerico, 2014). Melalui kutipan ini, Almerico ingin mengungkapkan bahwa yang namanya individu selalu ingin mengaitkan dirinya dengan identitas kebudayaannya. Hal ini mungkin berkaitan dengan memori masa kecilnya atau unsur nostalgianya. Maka dari itu, yang dia makan itu merupakan bagian dari jati dirinya. Almerico mencontohkan dengan pengalaman dirinya sendiri sebagai seorang Italian-American, bahwa apa yang dia makan, dan bagaiamana dia makan pada waktu kecil membentuk jati dirinya. Hal yang sama juga diungkapkan Patrizia La Trecchia (2012).
La Trecchia, yang juga seorang Italian-American, mengungkapkan bahwa identitas dirinya dibentuk melalui pembelajaran yang dia temukan di dapur. Dari pemilihan bahan makanannya, hingga tata cara makannya. Pembentukan identitas dari aktivitas di dapur ini membuat dia menghindari mengkonsumsi makanan Italia di luar kampung halamannya karena dia merasa bahwa kualitas bahan-bahan yang ditemukan di Amerika Serikat jauh dibawah bahan-bahan yang ditemukan di kampung halamannya. Dalam tulisannya ini, La Trecchia mengaitkan kenangan, makanan dan identitasnya dengan menarik. Dari kedua contoh di atas, kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa yang namanya identitas, dalam makan sekalipun, adalah konstruk sosial. Setidaknya konstruk yang dialami secara domestik. Urusan kuliner, maka dari itu, tak lepas dari konstruksi identitas nasional. Gagasan mengenai kuliner yang memiliki keterkaitan dengan identitas dan politik nasional disampaikan oleh Atsuko Ichijo dan Ronald Ranta (2016). Dalam bukunya, Ichijo dan Ranta menantang gagasan-gagasan ‘nasionalisme sehari-hari’ (everyday nationalism) yang dianggap banal (Banal Nationalism) yang kerap dimunculkan dalam kajian-kajian kuliner.
Nasionalisme yang banal tersebut dapat ditemukan dalam pembicaraan yang berkutat pada keaslian atau asal muasal produk kuliner tersebut. Gagasan nasionalisme tersebut, menurut Ichijo dan Ranta, menjadi rumit apabila dikaitkan dalam membaca produk kuliner seperti Pasta Gaya Jepang (Japanese-Style Pasta).. Membaca produk kuliner tersebut menurut Ichijo dan Ranta perlu dimulai dari pertanyaan konstruksi anatomi (bahan-bahan) yang memunculkan ke-Jepang-an (Japaneseness) dari Pasta Gaya Jepang tersebut. Maka dari itu, perlu pembedahan konstruksi makanan Jepang dan konstruksi Pasta yang hadir di masyarakatnya (konsumen, dan tukang masaknya).
Kemunculan inovasi bernuansa lokal tapi global menjadi bukti arah inovasi kuliner yang pada akhirnya tidak mem-banal-kan nasionalisme, tapi justru merayakannya dalam skala global. Akan tetapi, identitas nasional masih sangat dibutuhkan karena seseorang (sebuah produk kuliner daerah) perlu memiliki keunikan sendiri agar dapat menonjol di tengah masyarakatnya. Dalam memahami masyarakat Indonesia, terdapat tulisan mengenai Middle ‘Indonesia’ yang ditulis oleh Gerry van Klinken (2014). Gagasan ‘Middle Indonesia’ merupakan pembacaan dari isu-isu kelas menengah di kota-kota provinsi di Indonesia. Menurut Van Klinken, kelas menengah merupakan komunitas in-between (antara), atau liminal (antara borjuis dan proletar). Dalam ke-antara-anya tersebut, mereka (kelas menengah Indonesia) memiliki hasrat untuk tampil secara borjuis, dan juga sebagai pengontrol antar kelas masyarakatnya. Maka dari itu, kelas menengah Indonesia secara terang-terangan berusaha untuk memisahkan diri dan membuat jarak dengan masyarakat lainnya serta berusaha untuk mengekslusifkan diri. Dalam menganalisis kelas menengah Indonesia, van Klinken menawarkan identifikasi melalui tiga poin karakter kelas menengah Indonesia.
Pertama, kelas menengah Indonesia merupakan titik mediasi dari gagasan metropolis ke pedalaman secara geografis. Mediasi yang dimaksudkan adalah proses sosial baik informal (melalui lembaga resmi pemerintah atau swasta, dan informal (organsisasi) Kedua, kelas menengah memiliki peran dalam penyampaian pesan dari pemerintah ke sebagian besar masyarakat lainnya. Ketiga, kelas menengah hadir sebagai reaksi dari keinginan untuk perlindungan diri mereka dari kekuatan kelas kapitalis, dan juga pergerakan kelas bawah. Maka dari itu, kelas menengah menurut van Klinken, bekerja sebagai intermediary agent, dan tidak pernah dapat naik maupun turun kelas. Tetapi, tetap menjadi ‘penyambung’ suara penguasa negara. Gagasan kelas menengah Indonesia ini, maka dari itu, dapat membantu penelitian ini dalam penjelasan perubahan perilaku kelas menengah, khususnya dalam perubahan pemaknaan kuliner masyarakat yang dugaan saya berbanding lurus dengan perubahan perilaku konsumsi. Terlebih dengan perilaku konsumen kelas menengah tersebut, memberi gambaran mengenai posisi perajin kuliner tradisional dalam konteks global.
Oleh Siti Zunariyah/Sosiologi FISIP UNS