Catatan Ingatan Mei 1998
Momentum perubahan tatanan politik nasional yang mengusung slogan Reformasi berdampak luar biasa. Rangkaian peristiwa politik yang menyertainya berawal dari hasil Pemilihan Umum 1997 yang memastikan minimnya tawaran perubahan rezim Orde Baru. Gelombang penolakan yang membesar kemudian bersamaan dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR pada Maret 1998, yang juga diiringi dengan krisis ekonomi yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar akibat kenaikan nilai tukar rupiah yang tak terkendali pada periode April 1998. Beragam aksi protes muncul diberbagai kota yang mengajukan tuntutan Reformasi mundurnya Soeharto, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, pencabutan paket UU Politik, dan penurunan kebutuhan sembako menjadi simpul isu yang mengikat semua gerakan mahasiswa dalam satu agenda.
Demonstrasi berulang kali dilakukan oleh mahasiswa dan semakin membesar karena tindak kekerasan sebagai respon rezim atas kritik mahasiswa. Berbasis kampus, gerakan mahasiswa menjalar diberbagai kota, baik di Jakarta, Bandung, Makassar, Yogyakarta, tak terkecuali di Surakarta. Di Kota Surakarta, gelombang demonstrasi mahasiswa Solidaritas Mahasiswa Peduli Tanah Air (SMPTA) setidaknya terdapat di kampus Kentingan Universias Sebelas Maret dan kampus Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan kampus sebagai basis gerakan seringkali memicu ketegangan dengan aparat keamanan yang kian hari kian meningkatkan semakin sering menggunakan pendekatan represif. Tindakan kekerasan aparat menyebar secara luas lewat tayangan berita nasional yang bisa disaksikan lewat media cetak maupun siaran televisi.
Momen penembakan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta (12/5/1998) lalu memicu ekskalasi demonstrasi massa dan solidaritas yang lebih besar baik dari mahasiswa maupun masyarakat sipil. Situasi tersebut berdampak secara langsung di Surakarta ekskalasi demonstrasi juga mengalami kenaikan sehingga beberapa insiden berupa bentrokan terjadi baik di Kentingan maupun Pabelan. Momen-momen kritis kemudian berlanjut dengan pada 14-15 Mei 1998, ketika aksi demonstrasi mahasiswa yang diagendakan di Pabelan UMS berujung pada bentrokan. Ketegangan diarea kampus pada akhirnya melebar bersamaan dengan aksi massa yang bergerak dibanyak tempat dan memasuki kota Surakarta. Kerusuhan kemudian menyebar dipenjuru kota, bersamaan dengan gerak massa yang mulai merusak, membakar dan menjarah sebagian besar titik perekonomian Surakarta.
Puluhan toko otomotif, dealer mobil dan motor, hingga kawasan perekonomian modern toko dan mall menjadi sasaran amukan massa dalam jumlah yang tak terbatas (M. Hari Mulyadi dkk, 1999: 489-531). Siang yang terik menjadi latar bagi gerak massa yang menyebar diberbagai tempat menyasasar berbagai titik selalu dimulai dengan rombongan kecil yang menarik massa lainnya untuk berkumpul, berteriak, melempar batu dan pada akhirnya membakar seraya menjarah berbagai barang yang tersisa. Dari arah Kartasura, Toserba Mitra, showroom Sumber Motor, Sun Motor dan Citra Klasik Furniture hancur diserang massa yang datang bergelombang. Memasuki kawasan Purwosari hingga tengah kota yang padat pertokoan di Coyudan kemudian membara. Kantor-kantor Graha Wisata, Supermarket Luwes, Super Ekonomi Beteng Plasa, Bank BHS, Lippo, Danamon, Bumi Artha, BCA hingga Singosaren Plasa juga tak luput dari amukan massa dengan cara dirusak dan dibakar. Bara api juga melanda kawasan Mesen ke Sudiroprajan hingga yang padat toko maupun rumah harus mengadapi kenyataan luluh lantak oleh api.
Kawasan toko-toko di Jebres, dimulai Dealer Asia Motor, Hotel Asia hingga pabrik Ban Bridgestone di depan kampus Kentingan hancur oleh gerak massa yang massif yang memenuhi jalan dengan motor, mobil hingga bus umum milik POS Muncul, Po Raya dan PO Safari yang terjebak kerusuhan massa, tak luput juga dibakar dengan beringas. Surakarta penuh bara dan mencekam karena jalan-jalan dipenuhi oleh massa yang penuh amarah hendak meluluh lantakkan kota dalam waktu yang teramat singkat. Kerusuhan tersebut menjadi tragedi kemanusiaan karena melebar menjadi berbagai masalah baik ekonomi, agama, ras, budaya hingga politik. Dimana aparat sama sekali tidak berperan untuk mengantisipasinya dan melahirkan asumsi bahwa kerusuhan tersebut memang disengaja diciptakan sebagai bagian dari transisi kekuasaan. Jalan-jalan disepanjang Surakarta khususnya jalan Slamet Riyadi dipenuhi gelombang massa yang mempunyai ragam ekspresi.
Kota serta merta riuh oleh massa baik yang dengan agenda demontrasi yang telah berjalan berhari-hari sebelumnya. Tapi kerumunan dijalan-jalan tidak juga berkurang karena gelombang massa yang merusak dan menjarah berbagai pertokoan menjadi pusat perhatian. Api yang menjalar diberbagai sudut kota tidak menyurutkan massa untuk terus melakukan aksinya dan pada saat bersamaan aparat yang kehilangan kemampuan untuk merespon situasi tersebut. Menjelang malam lampu-lampu dipadamkan untuk menghindari dampak yang lebih luas namun tidak menyurutkan aksi massa yang terus melakukan kerusuhan. Hari-hari yang mencekam bagi seluruh warga kota, khususnya warga Tionghoa yang banyak menjadi korban dan menjadi sasaran massa. Akibat kerusuhan tersebut, kerugian fisik yang dialami oleh kota Surakarta, terhitung Rp. 457 M, bangunan fisik yang terbakar 159,758 M/persegi, kerusakan bangunan fisik 119,388 M/persegi dan mematikan 214 unit usaha (Solopos, 1998; M. Hari Mulyadi dkk, 1999: 532-537).
Jejak-jejak kerusuhan serta merta tidak mudah untuk dilupakan namun peristiwa tersebut setidaknya menjadi titik balik bagi Kota Surakarta sekaligus dinamika warga kotanya. Dampak krisis ekonomi dan kerusuhan massa pada Mei 1998, dalam konteks nasional PDB melambat menjadi 4,7%/1997 dan 13,1%/1998, yang merupakan kinerja terburuk yang pernah tercatat. Penurunan terjadi pada semua sektor, paling buruk adalah konstruksi –36,4%, diikuti oleh perdagangan, keuangan, real estat dan usaha jasa –26,6%, serta hotel dan restoran –18% (World Bank, 2003). Di Surakarta neraca keuangan tahun 1998/1999 tercatat pada angka -5% dari APBD -18.5%. Indikator ekonomi pada periode 1997-1999, melemah dan pertumbuhan hanya mengalami fase -2.68% dan kerusuhan Mei 1998 memberi dampak secara langsung pada merosotnya ekonomi Surakarta mencapai -13.93%.
Situasi yang sulit oleh sebab dampak panjang krisis ekonomi 1997 dan kerusuhan sosial 1998 sangat terasa, dimana antrian kebutuhan bahan pokok dengan mudah bisa ditemui dalam aktivitas keseharian warga Surakarta. Gejala paling mudah bisa ditemui adalah munculnya aktivitas warga untuk berjualan disepanjang jalan-jalan utama kota. Menjadi pedagang kaki lima merupakan respon warga yang paling banyak dilakukan sebagai upaya keluar dari situasi perekonomian yang sulit. Situasi yang tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan cepat bersamaan proses transisi politik nasional yang belum jelas ujungnya. Untuk itu momentum Reformasi, dengan spirit demokratisasi dan desentralisasi kemudian menjadi pondasi baru bagi tatanan berbangsa dan awaran untuk mengelola keberagamam dalam konteks desentralisasi menjadi kunci untuk mendorong proses demokratisasi.
Pelaksanaan Pemilihan Umum 1999 sebagai salah tuntutan perubahan yang ada, dilaksanakan menjadi agenda politik perdana pada Orde Reformasi (4 Juni 1999). Di Kota Surakarta momen Pemilu menjadi ekspresi dari proses demokratisasi ditingkat lokal, yang selama ini ekspresi tersebut dimaknai sebagai bentuk resistensi atas kekuasaan yang memusat di bawah kontrol Orde Baru. Lewat mandat UU No. 3/1999, Pemilu 1999 menjadi moment politik yang luar biasa karena menjadi luapan ekspresi politik warga yang tertahan karena politik represif yang sangat panjang. Kampanye terbuka serta merta didiisi dengan gelombang pendukung partai politik yang memadati semua ruas jalan-jalan di Surakarta. Dominasi pendukung dengan latar ideologi nasionalis muncul dan memenuhi riuhnya agenda demokrasi yang secara reguler digelar setiap 5 tahun. Sebuah penegasan yang sudah dibisa diidentifikasi sejak Pemilu 1997, berupa munculnya kelompok massa Mega Bintang menjadi sorotan karena anomali politik ditengah kekuatan Orde Baru yang massif.
Oleh Akhmad Ramdhon/Sosiologi FISIP UNS