Etnis, Tahu dan Imaji Identitas Kediri

Etnis Tionghoa yang hidup dan berintegrasi di kota Kediri pada umumnya adalah suku Khek atau Hakka yang berasal dari provinsi Kwangtung (Canton). Etnis Tionghoa yang berdomisili di kota Kediri khususnya ialah orang-orang migrasi dari negeri Tiongkok yang telah hidup selama empat hingga lima generasi. Dengan kata lain, etnis Tionghoa yang tinggal di Kediri merupakan Tionghoa asli yang hidup dan berkembang dimana asal-usul akarnya belum begitu banyak yang telah bercampur dengan etnis lain seperti suku Hok Kian, Hai Nan dan Kong Hu. Namun demikian, secara budaya mereka sama-sama dari Tiongkok. Etnis Tionghoa dari suku Khek di Kediri lebih banyak daripada suku Hok Kian, Hai Nan, Kong Hu dan suku Tionghoa lainnya. Mereka memiliki nenek moyang yang sama namun berbeda etnis, bahasa daerah dan dialek (Puspitosari, 2008). Etnis Tionghoa hidup dan berkembang sebagaimana masyarakat Nusantara yang lainnya. Hidup dan kehidupannya berkecimpung dalam dunia bisnis. Sejarah kedatangan, kehidupan dan hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat yang ada di Kediri dapat dilihat dan ditelusuri dari asal muasal bagaimana mereka melakukan kontak dengan orang Kediri, hubungan atau diplomasi politik, dagang maupun hubungan kerjanya. Sebenarnya hubungan etnis Tionghoa dengan etnis Jawa, khususnya Kediri telah terjadi sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun, di sini penulis akan menjelaskan bagaimana gambaran mengenai migrasi besar-besaran etnis Tionghoa di Kediri saat pemerintahan Kolonial Belanda kala itu. Alasan penulis menitik beratkan kedatangan masal etnis Tionghoa di Kediri ialah untuk mempertajam kajian yang hendak di bahas pada bagian-bagian selanjutnya.
 
Migrasi besar-besaran etnis Tionghoa ke Kediri didorong oleh adanya pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1600-an. Penduduk Tionghoa di Kediri meningkat beberapa ribu jiwa setelah adanya berita mengenai hubungan politik dagang pemerintah kolonial yang dianggap menguntungkan. Seperti yang telah kita ketahui pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik dagang yang melibatkan etnis Tionghoa, Jawa dan mereka sendiri di seluruh pulau Jawa. Seperti halnya yang ada di Kediri, politik dagang yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai distributor barang-barang produksi dan orang Jawa sebagai produktornya seakan mampu untuk mewabahi etnis Tionghoa negeri Tiongkok yang masih bertalian darah dengan etnis Tionghoa perantauan Kediri untuk turut berpartisipasi dalam hubungan kerja yang menguntungkan ini, namun tetap dengan persetujuan Kolonial Belanda. Konon, ketika berperan sebagai distributor barang-barang yang diproduksi oleh warga lokal kepada pemerintahan kolonial, mereka tak ragu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya (Puspitosari, 2008). 
 
Selain itu, akibat dukungan pemerintah Hindia Belanda terutama dalam membantu ekspedisi dan kelancaran hubungan dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemeritahanan kolonial.  Banyaknya pekerja yang berasal dari etnis Tionghoa yang datang dan dimotori oleh Belanda ketika itu sangat membantu pemerintah terutama sebagai mitra dagang daun tembakau serta hasil perkebunan yang lainnya di sekitar Kota Kediri. Hubungan Tiongkok dengan Kediri sebenarnya telah dimulai pada abad ke 9, akan tetapi secara besar-besaran kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia khsusnya di Kediri terjadi pada abad ke 19. Abad ke 19 merupakan arus masuk yang deras dari sejumlah besar buruh imigran Tiongkok ke Hindia Timur Belanda untuk bekerja di pertambangan-pertambangan dan perkebunan-perkebunan, suatu penyimpangan dari aktivitas tradisional mereka yang komersial. Orang Tionghoa telah memainkan peran ekonomi kunci di koloni Belanda sebagai orang-orang perantara yang mengumpulkan hasil bumi, ekspor; sebagai pedagang eceran; dan sebagai operator berijin untuk garam, candu serta monopoli-monopoli lain yang mendatangkan penghasilan. Tetapi posisi ekonomi mereka walaupun penting, tidak mencegah mereka dari kebinasaan, sebagaimana yang sebenarnya terjadi pada tahun 1740 ketika sejumlah besar Tionghoa di Jawa mengalami konflik dengan kepentingan kolonial.

Pemukiman Etnis Tionghoa di Kediri
Selepas kedatangan etnis Tionghoa ke kota Kediri secara berombongan yang diakomodir oleh Hindia Belanda, terjadilah suatu jaringan di antara etnis Tionghoa Kediri itu sendiri. Pada awalnya, etnis Tionghoa berdatangan ke nusantara hanya untuk berdagang. Kedatangan etnis Tionghoa ke Kediri adalah sebagai teman dalam berbisnis dan saling menjaga satu sama lain. Terjadinya hubungan diplomatik yang dirintis sejak jaman dahulu kala membuat banyak berdatangan etnis Tionghoa ke Kediri sebagai pedagang sehingga dalam ungkapan filosofi kehidupan orang Kediri disebut Cina Toke atau Cina sebagai Tauke. Artinya, etnis Tionghoa yang senang berdagang dan merantau tersebut tidak dibenci dan juga tidak dimusuhi karena mereka adalah saudagar. Dengan adanya Toke, masyarakat dapat bekerja pada mereka. Toke dalam artian selain dapat membeli barang-barang hasil dari kerajinan sekaligus, sejak dahulu etnis Tionghoa memang sudah menjalin kerjasama dengan etnis Jawa (Kediri), entah itu dalam hubungan kerja dalam bidang perdagangan dimana biasanya Toke Cina memiliki usaha sembako dan bahan pangan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, terciptalah suatu pemukiman yang terletak di tengah-tengah kota. Berkaitan dengan pembentukan pola pemukiman di atas.
 
Coppel (1994: 27-28) menyebutkannya sebagai berikut: banyak orang, baik orang luar maupun orang Indonesia sendiri, menggambarkan orang Tionghoa sebagai kelompok daerah kota yang paling menonjol. Berbicara tentang Indonesia secara keseluruhan, barangkali akan lebih tepat mengatakan bahwa golongan pribumi Indonesia lebih banyak terpusat di daerah pedesaan dan golongan penduduk Tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota daripada yang sebenarnya. Namun tahun 1930 bukanlah tahun yang khas. Sejak pemukiman paling awal dari pedagang Tionghoa di kota-kota pelabuhan yang terletak di pantai utara itu, orang Tionghoa di Jawa selalu cenderung berkumpul dan berkelompok sendiri di kota-kota. Bagi orang Tionghoa hal ini tidaklah aneh. Kasus yang terjadi di Kediri bisa dibilang sama dengan apa yang telah diulas di atas. Tatanan kota pada tahun 1900-1930an secara sistematis terletak di Pecinan Kediri bagian barat yang kini bernamakan jalan Yos Sudarso (Pakelan) dimana bisa kita temukan Kelenteng di sana. Banyak etnis Tionghoa yang memilih tinggal di pusat kota atau di tempat yang banyak orang. Disamping itu sebelum kemerdekaan banyak etnis Tionghoa yang tinggal di pelabuhan-pelabuhan karena lebih mudah mencari informasi dan pelabuhan merupakan tempat untuk melakukan transaksi perdagangan sehingga memudahkan mereka dalam berbisnis. Kebutuhan untuk berdagang dan tuntutan menghasilkan uang sebanyak- banyaknya membuat etnis Tionghoa cenderung bertempat tinggal dengan kelompoknya sekaligus dapat dengan leluasa membuka usahanya.
 
Demikian halnya ketika kita memandang sebuah tatanan kota yang pernah ada di Kediri, disebutkan bahwa struktur pusat kota memang dahulu terletak pada suatu daerah yang terdapat banyak kegiatan ekonomi terutama transaksi bahan-bahan pangan. Sejalan dengan itu, tipe-tipe pemukiman etnis Tionghoa memang banyak ditemukan di daerah pinggir pelabuhan dan bantaran sungai. Ada dua alasan yang bisa penulis sajikan untuk menganalisis mengapa mereka lebih memilih untuk bermukim di daerah seperti di atas. Pertama, filosofi dari negeri moyang mereka yang pernah tinggal di bantaran Sungai Kuning, dimana sebuah realitas sejarah akan perjuangan, kehidupan untuk menuju peradaban dibangun. Realitas ini tertaruh pada sendi-sendi kehidupan mereka hingga arti tentang aliran air yang membawa keberuntungan dan berkah melekat pada budaya mereka di manapun mereka membawanya. Sehubungan dengan etnis Tionghoa kota Kediri yang telah hidup ratusan tahun, mereka terbiasa tinggal di daerah yang mayoritas beragama Islam. Akan tetapi kehidupan etnis Tionghoa berlangsung sebagaimana di daerah lainnya. Dengan kata lain, pola pemukiman yang telah biasa hidup berkelompok tersebut terkonsentrasi di Jalan Yos Sudarso (Pakelan) hingga lanjut kearah Timur di Jalan Pattimura (Jagalan dan Pandean). Pola pemukiman mereka terkonstrasi di tempat keramaian dan tempat orang-orang berbisnis, terutama dalam bidang pangan dan oleh-oleh khas kota Kediri. Jalan Yos Sudarso lanjut ke timur jalan Pattimura merupakan perkampungan etnis Tionghoa. Di sepanjang jalan Yos Sudarso dan Pattimura bisa dikatakan sebagai pusat transaksi bisnis yang sudah berdiri sejak pemerintahan Hindia Belanda dan hampir semua pertokoannya dimiliki oleh etnis Tionghoa itu sendiri.
 
Etnis Tionghoa dan Tradisi Tahu
Berdiri di negeri orang bukan berarti harus melupakan identitas muasal yang menjadi akar budaya mereka. Bukan hanya sekedar mencari ruang untuk terlibat dalam kehidupan sosialnya, namun juga sebagai pegangan ketika ruang sosial yang mereka hadapi tidak memiliki kesesuaian dengan tradisi mereka. Ya, makan Tahu, inilah yang merupakan tradisi kuliner warga Tionghoa yang telah mengalami akulturasi dengan ruang- ruang yang ada di Indonesia. Siapa yang tidak kenal Tahu? Tahu telah berabad-abad menjadi salah satu makanan pokok di negeri ini. Bahan dasarnya yang berasal dari kedelai membuat makanan ini sangat dekat sekali dengan penduduk Indonesia yang pada umumya sangat mengenal salah satu tanaman pangan ini. Etnis Tionghoa memang dekat dengan bahan-bahan makanan yang berasal dari kedelai, sepeti halnya Tahu. Tradisi makan Tahu sendiri merupakan sebuah pola yang terjaga sejak Etnis Tionghoa masuk ke Indonesia. Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian, tauhu (Hanzi: hanyu, pinyin, doufu) yang secara harfiah berarti kedelai yang difermentasi. Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun yang lalu. Pen emunya adalah Liu An yang merupakan seorang bangsawan, cucu Kaisar Han Gaozu, Liu Bang, yang mendirikan Dinasti Han. Liu An adalah ilmuwan dan filosof, penguasa dan ahli politik. Ia tertarik pada ilmu kimia dan Meditasi Tadiom. Para ahli sejarah berpendapat bahwa kemungklinan besar Liu An melakukan pengenalan makanan non daging melalui Tahu. Kemungkinan besar Liu An memadatkan Tahu dengan nigari atau air lant dan menjadi kental seperti Tahu saat ini (Shutleff dan Aoyagi, 2011: 291)
 
Menurut opini para pakar sejarah, sebenarnya tidak dokumen resmi yang memungkinkan pada tahun berapakah Tahu sebagai makanan pertama kali tersebar di nusantara. Mau tak mau kita hendaknya berpijak pada cerita mulut ke mulut yang diwabahi oleh warga kota Kediri yang menyatakan bahwa Tahu pertama kali datang ke kota mereka oleh pasukan Kublai Khan tahun 1292 Masehi. Sebagaimana yang telah dikonfirmasi oleh riwayat sejarah bahwa cerita ini bermula ketika Kublai Khan menuntut upeti dari raja Kertanegara dari Singosari, namun sang raja menolak untuk memenuhi permintaan seorang Kublai Khan. Sementara utusan Kublai Khan yang dikirim ke Jawa pada tahun 1289 Masehi, merasa terhina oleh Kertanegara yang kemudian dicacati rautnya. Hal ini membuat Kublai Khan geram dan serta merta mengirim pasukan yang terdiri dari dua puluh ribu tentara untuk memberi pelajaran pada sang raja. Bersamaan dengan itu, Jayakatwang, raja kerajaan Kediri telah menguasai Singosari dan membunuh Kertanegara (DuBois, Tan dan Mintz, 2008:197)
 
Raden Wijaya, menantu Kertanegara menyerukan perang dendam atas kekalahan ayah mertuanya tersebut. Bukanlah hal yang kebetulan jika kapal ekspedisi Mongol berlabuh di Surabaya yang bernama Jong Biru dipertemukan dengan raden Wijaya yang memiliki visi yang sama untuk menuntut balas. Dengan melintasi arah selatan daerah aliran sungai Brantas mereka berlabuh di anjungan dan memimpin pasukan dalam sebuah peperangan hebat, dan mendirikan kerajaan Majapahit yang termasyur. Tempat kapal Mongol berlabuh di Kediri disebut Jong Biru yang kini diadopsi menjadi nama derah di Kelurahan Semampir, kota Kediri. Kapal Kublai Khan memiliki dapur di dalamnya; ini nampaknya merupakan asumsi yang masuk akal bahwa ada beberapa alat-alat yang digunakan untuk membuat Tahu (DuBois, Tan dan Mintz, 2008:198). Hal semacam ini tak semata berhenti begitu saja, waktu yang kian menjawab pertanyaan atas ruang dan waktu lambat laun membawa melahirkan peradaban baru yang bermula dari peperangan di atas. Tentu kita mengenal tahun-tahun di mana kepedihan yang dalam turut mendera bangsa selama kurang lebih tiga setengah abad akibat pendudukan Hindia Belanda. Karena berdagang, tak sedikit pula yang menyiakan kesempatan ini termasuk etnis Tionghoa yang kemudian berbondong-bondong bermigrasi di Nusantara termasuk Kediri untuk turut terlibat di dalamnya. Bukan juga kebetulan yang melatarbelakangi mereka untuk melakukan akulturasi dengan lingkungan yang memiliki identitas berbeda. Termasuk pula Tahu yang menyimpan legenda kuliner besar yang tidak sebentar menjalani prosesnya agar diterima di masyarakat. Semenjak itulah Tahu mulai melembaga dalam kehidupan masyarakat Kediri setelah melalui proses akulturasinya yang banyak membawa nuansa peperangan dan permusuhan di kelas elit. Walau tak banyak orang Kediri yang Tahu muasal dari mana makanan khas kota mereka, tak begitu saja membuat mereka ragu untuk tetap mengkonsumsinya. Tahu banyak ditemukan di gerai-gerai di berbagai tempat di Kediri, Tahu yang paling terkenal di kota Macan Putih ini adalah Tahu Takwa, Tahu yang berwarna kuning dan padat.

Legitimasi: Perusahaan Tahu Pertama Kota Kediri
Orang Kediri menyebutnya Bah Kacung adalah seorang Cina keturunan yang sudah lama tinggal di Kediri. Nama aslinya Lauw Soe Hoek. Bah Kacung dikenal sebagai orang pertama yang membuka gerai Tahu di Kediri sejak tahun 1912. Tokonya dulu terletak di sepanjang jalan Pattimura yang merupakan pusat kegiatan ekonomi serta kompleks pecinan yang ramai. Dalam kelangsungannya berdagang Tahu, tentu tak semata berdiri sendiri untuk membuat usahanya berjalan hingga generasi ketiga dewasa ini. Bila dihitung, usaha yang telah digeluti oleh generasi ke tiga Bah Kacung ini telah mencapai satu abad lebih. Perusahaan Tahu yang pertama kali dibuka di jalan Pattimura yang mana disebut oleh sejarah kota Kediri sebagai pusat kegiatan ekonomi yang sangat ramai dan padat kini semakin termasyur. Kaitan pernyataan ini ialah bagaimana ketika Bah Kacung sebagai orang pertama yang membuka pcrusahaan Tahu, menjadi pusat perhatian masyarakat kota Kediri dalam sepanjang legenda kuliner yang telah melembaga di dalamya, memberikan pengaruh yang signifikan pada tatanan struktur masyarakat yang homogen yakni pecinan itu sendiri.
 
Pengaruh yang dibawa oleh agen dalam hal ini Bah Kacung ialah pengaruh yang berasal dari alokasi sumber daya yang dimilikinya berupa materi nampak yakni produksi Tahu. Ada beberapa warga Tionghoa lainnya merasa tertarik untuk turut memproduksi Tahu ketika perusahaan Bah Kacung memberikan gambaran keramaian serta animo masyarakat yang kian menggemari Tahu dengan buatan resep Tiongkok asli. Beberapa perusahaan yang akan dipaparkan di bawah hanya akan dipaparkan beberapa saja karena kesangkut-pautan dengan Bah Kacung sangatlah kental. Bisa dibilang mereka berasal dari ikatan kekerabatan yang sama. Pertama adalah perusahaan Kau Long yang merupakan perusahaan kedua di Kediri setelah perusahan Bah Kacung berjalan selama 27 tahun yakni dirintis pada 1949. Kau Long diambil dari nama keluarga. Perusahan Tahu Kau Long merupakan substitusi dari perusahaan Bah Kacung di jalan Pattimura ketika Bah Kacung memilih pindah dari jalan Pattimura ke jalan Trunojoyo dengan alasan kemandirian. Sehingga rumah yang kini dihuni oleh keluarga Kau Long ialah rumah yang sebelumnya ditempati oleh Bah Kacung yang kemudian diperjualbelikan.
 
Kedua adalah perusahaan LYM yang merupakan perusahaan Tahu ke tiga setelah perusahaan Tahu Kau Long. Perusahaan ini berdiri tepatnya pada tahun 1950. Bila keluarga Kau Long memilih jalan Pattimura sebagai lahan usahanya, berbeda dengan keluarga Liem yang lebih memilih jalan Yos Sudarso untuk melanggengkan usaha. Selain jalan Pattimura, jalan Yos Sudarso merupakan kompleks pecinan yang dekat dengan rumah ibadah mereka, yaitu Kelenteng. Di sini juga tak sedikit warga Tionghoa yang bermukim. Jarak antara jalan Pattimura dan jalan Yos Sudarso tidaklah jauh, sekitar 50 meter saja. Tujuan keluarga Liem mendirikan perusahaan Tahu di sini ialah untuk memberikan pelayanan kuliner di tempat yang berbeda. Perusahaaan Tahu LYM bisa dikatakan sebagai reaksi lain daripada proses kekuasaan yang terlegitimasi oleh sokongan sumber daya. Tidak menutup kemungkinan kebedaraan ruang dan waktu juga menjadi dukungan terhadap pelanggengan pengaruh yang mampu membentuk pola praktek-praktek sosial yang rekursif sehingga terciptalah suatu proses sosial berbasis etnisitas.
 
Sejak perusahaan Bah Kacung, Kao Loung dan LYM mulai dikenal luas warga Kediri dan sekitarnya, pengaruh besar atas tindakan mereka direalisasikan ketika kemudian banyak orang-orang Tionghoa yang tinggal di sekitar mereka turut memberikan sokongan atas pengaruh yang mereka sebarkan sendiri, yakni mendirikan perusahaan Tahu. Kini, di kota Kediri ada sekitar dua puluh lima dengan lebih anak cabang perusahan dengan yang berdiri guna melengkapi kebutuhan pasar akan animo cindera mata para wisatawan baik luar kota maupun luar negeri. Seperti halnya yang dikenal di Kediri selain tiga perusahaan Tahu di atas ialah perusahaan Tahu POO, Mikimos, LTT, LTH, Soponyono, LKK, MING dan lain sebagainya.  Sejalan dengan hal di atas, rupanya tak satu pun para pengusaha Tahu etnis Tionghoa di kota ini yang tidak melihat apa itu "pasar". Dalam melihat pasar tentu mereka tidak sembarangan dalam mengidentifikasinya. Ada beberapa indikasi yang hendak saya jelaskan di bawah ini. Etnis Tionghoa perantauan di mana pun lebih tertarik berbisnis guna menghidupi keluarganya daripada bekerja sebagai pegawai swasta atau pegawai pemerintah. Demikian juga di beberapa negara, etnis Tionghoa sekedar dianggap sebagai perantau sehingga tidak berpeluang masuk dalam suatu sistem masyarakat atau institusi pemerintahan. Di samping itu, di Asia Tenggara sebelum abad ke 20, negara-negara Melayu masih didominasi oleh pemerintah kolonial Belanda maupun Inggris. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa selama masa pemerintahan kolonial, pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia mengganggap etnis Tionghoa sebagai kelas menengah karena berdagang, sehingga dalam masyarakat terbentuklah suatu kasta dan masyarakat menjadi terpisah antara etnis Tionghoa, kaum pribumi maupun bangsa Eropa (Usman, 2009:229).
 
Dalam mengidentifikasi pasar, etnis Tionghoa yang mendirikan perusahaan Tahu di kota Kediri memiliki tradisi sendiri besadarkan kebudayaan mereka yang terkenal dengan berdagangnya. Bagi mereka pasar merupakan hubungan kausalitas antara output maupun input yang harus ditentukan dalam berdagang. Umumnya konsentrasi perdagangan etnis Tionghoa yang terutama mendirikan perusahaan Tahu ialah dalam lingkungan yang sama, Hal ini tentu saja akan terkait dengan bagaimana mereka mambangun jaringan dan juga melakukan tindakan loby pada sesama pengusaha maupun pekerjanya. Realitas sejarah mengenai pola pemukiman yang digambarkan oleh peneliti di atas merupakan salah satu alasan yang bisa dibilang akurat dalam mcnelisik akar permasalahan mengapa etnis Tionghoa Kediri dalam berdagang berkonsentrasi pada struktur masyarakat yang sama dengan mereka. Menurut catatan sejarah pola perekonomian etnis Tionghoa yang diungkap oleh Usman (2009) ialah mereka juga lebih cenderung merekrut pegawai yang rumah tinggalnya tidak berada jauh dengan kompleks mereka. Menurutnya hal ini juga terkait masalah kepercayaan dan ongkos produksi yang harus ditekan.

Pasar Melalui Keluarga dan Relasi Etnisitas
Perilaku bisnis (membangun jaringan) etnis Tionghoa di Kediri terkonsentrasi di jalan Pattimura dan Yos Sudarso, serta tercatat banyak bidang yang digelutinya. Etnis Tionghoa yang berkembang di Kediri sejak awalnya diidentifikasi sebagai pengrajin. Namun sekarang, etnis Tionghoa di Kediri justru banyak bergerak di bidang bisnis kuliner yang pada umumnya adalah Tahu, rumah makan masakan oriental yang mengandung lemak babi, alat-alat listrik dan lain-lain. Etnis Tionghoa yang berbisnis di kota Kediri umumnya menjalankan bisnis keluarga. Keluarga dalam bisnis etnis Tionghoa merupakan sesuatu yang mutlak dan penting. Setiap pertokoan atau bisnis etnis Tionghoa, tokoh ayah bagi mereka merupakan manajer, dan sosok ibu sebagai wakil. Figur ayahlah yang dianggap sebagai tonggak kehidupan bisnis etnis Tionghoa di Kediri. Fenomena tersebut sangat dapat diamati pada seluruh politik bisnis Tionghoa di Kediri. Realitas tersebut seperti terlihat pada perusahaan Tahu Soponyono. Sebagai salah satu perusahaan Tahu yang terkenal dan laris di Kediri, dalam mengoperasikan usahanya memang dipimpin oleh ayah sebagai bos dan sang ibu sebagai pengawas perilaku anak buah. Penulis sering mengamati perusahaan Soponyono, bahwa setelah ayah dan ibunya, anaknya melanjutkan pekerjaan mengawasi kinerja anak buah yang pada umumnya etnis Jawa agar dapat bekerja dengan baik.
 
Fenomena tersebut membuktikan bahwa keluarga adalah segala- galanya. Dengan kata lain, perilaku dalam membangun jaringan ini memang berorientasi pada budaya Tionghoa yang sangat cinta pada leluhurnya. Artinya keluarga, ayah adalah kunci dari kebijakan perusahaan, dan istrinya sebagai wakil kemudian disusul anaknya yang juga berkecimpung di dunia bisnis itu. Akan tetapi istri yang berperan sebagai wakil juga memiliki peran dalam menentukan kebijakan perusahaan. Biasanya setelah anak-anak mereka telah cukup pengalaman bekerja dengan orang tua masing-masing, suatu saat mereka akan membuka dan mengembangkan bisnis leluhur mereka yang bergulat dalam dunia kuliner, khususnya Tahu. Yang kedua, bisa diamati bahwa perusahaan LTH juga menunjukkan hal yang sama. Ayah sebagai manajer yang setiap saat ada di toko dan istrinya sebagai wakil juga sama- sama mengawasi perusahaannya. Di perusahaan Tahu LTH, 90% memperkerjakan etnis Jawa sebagai karyawan dan buruh produksi. Perilaku bisnis dalam membangun jaringan ini menunjukkan relasi bisnis terutama dengan karyawannya adalah dengan merekrut sebanyak-banyaknya etnis Jawa yang tinggal tidak jauh dari kompleks pecinan tersebut untuk melancarkan bisnis mereka sebagai teman bisnisnya maupun demi keamanan. Begitulah masyarakat etnis Tionghoa Kediri yang membentuk jaringan bisnis bedasarkan ikatan keluarga yang kuat dan relasi etnisitasnya. Iklim perbisnisan ini jugalah yang nantinya akan bertujuan untuk mempertahankan kelanggengan identitas keetnisan yang menunjang entah dalam aspek ekonomi, sosial, politik maupun jati diri. Bagi mereka, keluarga adalah segalanya. Keluarga dalam keyakinan etnis Tionghoa Kediri merupakan bentuk identitas yang wajib dilanggengkan.

Politik Identitas Keetnisan Untuk Ruang Kota
Giddens (1991) memaparkan identitas terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus- menerus tentang kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis. Individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana siri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Pendapat Giddens sesuai dengan perspektif awam kita tentang identitas, paparan bahwa identitas diri ialah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai individu. Selain itu, juga berpendapat bahwa identitas bukan merupakan kumpulan sifat-sifat yang kita miliki; identitas bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau bendayang bisa kita tunjuk. Agaknya identitas adalah cara berfikir tentang diri kita. Namun yang kita pikir tentang diri kita berubah dari situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya, itulah sebabnya Giddens (1991) menyebut identitas sebagai proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita pikir kita inginkan, lintasan harapan kita ke depan. Meski identitas-diri bisa dipahami sebagai proyek atas diri kita, kita telah memahami bahwa kita lahir di dunia yang mendahului kita. Kita belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelum kita datang dan kita menjalani hidup kita dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain. Singkatnya, kita terbentuk sebagai individu dalam proses sosial dengan menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial. Biasanya ini dipahami sebagai sosialisasi atau atkulturasi. Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi orang sebagaimana yang telah kita pahami dalam kehidupan sehari- hari.
 
Sedikit menelisik lebih dalam tentang singgungan anatara politik identitas dengan konstruksi ruang kota, bahwasannya ruang kota yang kita pahami sekarang tak serta merta merupakan suatau tatanan yang langsung ada. Politik identitas merupakan sumber daya yang bisa dialokasikan guna membangun struktur kota mikro yang kemudian berkembang bedasarkan dukungan ruang dan waktu. Ruang kota ialah representasi atas akulturasi yang melibatkan relasi sosial, politik peran, identitas serta alam. Saat itulah struktur kota yang mikro bersinergi dengan akulturasi yang melibatkan aspek-aspek relasi sosial yang universal yang selanjutnya mampu digambarkan sebagai tatanan ruang kota yang berciri khas. Di bawah ini akan peneliti sajikan beberapa paparan tentang identitas keetnisan dalam hal ini etnis Tionghoa di Kediri sebagai alokator sumber daya dalam membentuk ruang kota yang bercitrakan. Berbicara mengenai identitas sungguhlah menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Identitas menurut Giddens (1991) merupakan manifestasi daripada pelanggengan diri yang telah diartikulasikan dalam kenyataan sosial. Setiap individu pastilah memiliki identitas. Identitas cenderung berperan sebagai penggerak yang mengarahkan individu-individu membangun kesadaran kolektif budaya dan sosialnya. Identitas juga menjadi wadah di mana proyeksi atas sumber daya dan kekuasaan berkibar. 
 
Bila kita melangkahkan sejenak kaki ini untuk mengembara di kota Kediri, maka nuansa yang akan kita rasakan sebagai awam ialah suatu gambaran kota kecil yang tak terlalu ramai tapi memiliki budaya kuliner yang cukup kental, yakni Tahu. Dan dari sepanjang kita melakukan pengamatan, toko-toko yang menjual Tahu pasti didominasi oleh etnis Tionghoa. Gambaran di atas menunjukkan bahwa dalam pencitraan identitas suatu etnis ternyata terdapat kekuatan politik dan ekonomi yang dirangkum dalam sumber daya tidak menutup kemungkinanterlibat dalam pengkonstruksian citra dalam suatu tatanankota. Sentimen awam tentang kota Kediri yang dikenal sebagai kota Tahu muncul atas uraian di atas. Uraian berikut ini akan memaparkan fenomena budaya yang sekarang ini berkembang yang berkaitan dengan kuasa identitas etnis, yakni persoalan proyek politik identitas. Bila kita membicarakan masalah identitas diri sebagai proyek, tentu kita ingat tentang gagasan Giddens (1991) yang mengangkat mengenai lintasan pembentuk mengenai apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita. Tak semata-mata proyek tentang pribadi itu beijalan dengan selonggarnya, ia adalah stimulus dari ruang dan waktu. Karena ruang dan waktulah yang membentuk jati diri, peluang untuk menciptakan potensi dan legitimasi.
 
Di Kediri, etnis Tionghoa dan budaya yang mereka usung adalah rintisan dari sebuah perjalanan kota. Budaya yang dimaksud di sini mengarah pada tradisi kuliner yang telah melembaga dalam kehidupan mereka selama beribu-ribu tahun. Proses universal yang menyangkut akulturasi relasi sosial, politik peran dan alokasi sumber daya baik fisik maupun non fisik menjadikan mereka mampu bertahan di atas suatu tatanan masyarakat yang memiliki kebudayaan yang beda sama sekali. Namun inilah adanya identitas, bagi masyarakat Tionghoa Kediri mereka adalah kharisma agung yang dilanggengkan melalui usaha pengolahan makanan Tahu. Semua orang mengenai Tahu dan banyak orang di pelosok negeri ini yang menggemarinya termasuk orang Kediri. Dari saat pertama kali seorang Bah Kacung yang seorang etnis Tionghoa perantauan membuka perusahaan, memungkinkan adanya suatu perubahan struktur sosial yang memberikan praktek-praktek baik sosial maupun ekonomi yang sifatnya rekursif. Politik identitas keetnisan mula-mula muncul dan digambarkan dengan tindakan mereka setiap harinya. Politik identitas keetnisan memberikan mereka ruang-ruang untuk bergerak dalam struktur kota yang lambat laun menata citra, di mana kemudian hal tersebut ditandai sebagai aktualisasi politik jati diri yang sangat kental dengan identitas, dan dikenal publik.
 
Kota Kediri kini tengah berjaya dengan citranya sebagai kota Tahu. Pemaparan luas di atas secara rinci memberikan gambaran detail bagaimana representasi seorang agen yang aktif memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya dalam hal ini kudapan Tahu dan membentuk alur pikir masyarakat yang mencintai Tahu. Dari satu agen menjadi beberapa agen yang turut mencurahkan segenap sumber dayanya telah membuka kemungkinan pembaharuan atas ruang kota. Di Kediri, etnis Tionghoa menjadi tonggak perjuangan lika-liku pencitraan kota. Mulanya, Tahu menjadi kudapan masyarakat yang tinggal di sekitar Bah Kacung saja, namun ketika Bah Kacung telah sukses menunjang bisnis dengan alokasi sumber daya, kini banyak ditemukan etnis Tionghoa lainnya yang turut membuka perusahaan di Kediri. Masyarakat yang dibangun cita rasanya melalui panganan Tahu melampaui beberapa proses yang tidak berjalan sebentar. Animo atau keturutsertaan masyarakat Kediri adalah bagian yang tak terpisahkan atas pelanggengan identitas yang di dalamnya mengaitkan alur kehidupan perkotaan. Masyarakat yang menjadi bagian dari kota adalah suatu gejala yang tak dapat dipisahkan dari pola interaksinya. Maksud dari pernyataan di atas bahwasannya pola interaksi manusia yang hidup di dalamnya akan menghasilkan produk khas kota yang sifatnya universal. Interaksi mengikat orang-orang yang terlibat di dalamnya kian membentuk sebuah tatanan yang mapan dalam aktualisasinya. Demikan halnya di kota Kediri, interaksi yang dibangun oleh warga lokal dengan etnis Tionghoa melalui berbagai macam eara termasuk dengan pendekatan budaya dalam kuliner Tahu merupakan titik awal perjalanan kota dengan produk budaya yang khas dan dikenal oleh masyarakat luas. Inilah Kediri, inilah kota Tahu.
 
Oleh 
Wida Ayu Puspitosari
Foto : https://parekampunginggris.co/2017/10/25 
 
Diambil dari Srawung Kampung-Kota
KampungnesiaPress, 2017  
  

Berita Terkait