Kapitalisasi Ruang Publik

Akhir Oktober lalu tepatnya pada tanggal 28-29 Oktober 2017 diadakan sebuah even bertajuk ‘Solo is Solo’, program pembuatan gambar-gambar mural di dinding ruang publik kota Solo, tepatnya di daerah Singosaren. Merujuk pada informasi yang disampaikan oleh Kasi Promosi Wisata kota Solo kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan destinasi wisata baru di Kota Solo dengan membangun brand galeri mural street art. Selain itu acara tersebut dikatakan akan mampu mengintegrasikan kesenian kedalam kehidupan masyarakat, sehingga mempunyai dampak positif terhadap kehidupan social, budaya dan ekonomi. Acara yang melibatkan 100 an lebih seniman mural tersebut, menurut koordinator acaranya dikatakan merupakan bentuk edukasi terhadap anak muda akan perilaku vandalisme sekaligus membangun partisipasi public dalam pembangunan kota.
Namun jika ditarik dari perspektif lain, apakah segala klaim yang diutarakan oleh pemerintah kota dan penggagas acara tersebut bisa dibenarkan? Tulisan ini mencoba melihat kegiatan tersebut dari perspektif kajian pengembangan kota, untuk menunjukkan ironi dan bahaya yang mungkin bisa muncul, serta memberikan alternatif model kegiatan berkesenian di ruang public yang lebih berkelanjutan.
Ironi Solo is Solo
Dalam sejarah street art, Roger Gastman dan Caleb Neelon dalam bukunya, The History of American Graffiti, mengatakan bahwa graffiti dan bentuk street art lainnya seperti cetak stensil, dan mural memasuki momentum barunya pada decade 70-80an. Itu merupakan masa ketika anak muda perkotaan mulai merespon situasi sosial dan politik disekitarnya, dan menyerukan sebuah ‘perlawanan yang lebih bermakna’ melalui aktivitas street art.
Dari titik itulah kemunculan street art tidak bisa dipisahkan dari agenda sosial maupun politisnya. Lanskap dunia saat itu dimana cengkeraman kapitalisme semakin menguat, terlebih di perkotaan, membuat ruang-ruang publik kota menjadi komoditas. Siapa yang bermodal kuat akan mampu menguasai ruang. Ruang publik akhirnya diisi dengan aneka ragam iklan komersial yang menyuburkan konsumerisme. Street art sejatinya muncul untuk merebut ruang-ruang tersebut. Sebagai media untuk menyampaikan protes dan koreksi melalui ekspresi tulisan dan gambar, sekaligus mendekatkan kesenian kepada rakyat miskin kota yang tidak punya kuasa untuk mengisi ruang-ruang tadi. Spirit ini terus berlanjut hingga perkembangan kontemporer saat ini melalui karya-karya seniman street art semacam Bansky atau Ron English.
Maka apa yang terjadi di Singosaren sebetulnya adalah sebuah ironi. Street art yang lahir dengan semangat perlawanan terhadap kapitalisme, disini justru dijadikan sekedar sebagai komoditas dan dijual untuk menarik wisatawan. Sebuah praktik komodifikasi kesenian. Kesenian yang semakin melayani pasar.
Kondisi ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari kerangka konsep pembangunan kota Solo sebagai destinasi wisata budaya. Konsep yang merupakan turunan konsep kota kreatif ala Richad Florida (urbanist dari Amerika) yang terbukti gagal dan banyak menuai kecaman di dunia internasional.
Budaya dalam hal ini kesenian hanya dijadikan dagangan untuk dikapitalisasi. Arah pembangunan kota yang demikian jelas mengarah pada neo-liberalisme ekonomi. Kebijakan kota cenderung lebih untuk melayani kelas pemodal, dalam kasus ini para pengusaha yang menguasai insfrastruktur wisata urban, seperti hotel, kafe, restauran dan pusat perbelanjaan. Agar investasi meraka di sektor pariwisata bisa tetap menguntungkan maka suplai wisatawan harus terjaga. Maka proyek pembuatan galeri street art ini sesungguhnya semata merupakan alat untuk menjaga suplai wisatawan.
Lantas apa yang dinikmati warga kota yang lain. Secara teori, Florida mengatakan akan terjadi surplus ekonomi dari pembangunan zona kreatif tersebut, yang nantinya akan dinikmati seluruh warga kota. Tapi benarkah? Ternyata tidak, pengalaman kota London mencatat bahwa berbagai fasilitas di zona kreatif akhirnya hanya dinikmati oleh konsumen, yaitu wisatawan dan kelas kreatif, meninggalkan warga miskin tetap di pinggiran. Jadi boleh dikatakan dampak ekonomi yang dihasilkan, porsi terbesarnya hanya dinikmati oleh pemilik modal yang menguasai insfrastuktur wisata tadi. Semakin ironis ketika program tersebut dibiayai oleh pemerintah kota melalui APBD yang jelas merupakan dana public yang dihimpun dari seluruh warga kota.
Dampak lain proyek semacam ini adalah mendorong terjadinya gentrifikasi (alih kepemilikan ruang). Area kota dengan gambar mural tentunya akan menarik wisatawan, hal ini mendorong naiknya nilai ekonomi ruang di daerah tersebut. Sebuah kapitalisasi ruang. Maka yang terjadi selanjutnya toko dan usaha kecil di kawasan tersebut akan tergusur dan berubah menjadi pusat atraksi atau pertokoan baru milik para investor bermodal besar. Proses alih kepemilikan ruang semacam ini merupakan ancaman serius bagi kota di seluruh dunia. Gentrifikasi semacam ini mengakibatkan ruang publik akhirnya terprivatisasi, dan menciptakan lingkugan sosial yang tidak lagi inklusif.
Street Art Inklusif
Kemudian apakah potensi mural yang secara faktual memang ada di kota Solo harus diabaikan? Tentu saja tidak justru harus dikembangkan. Akan tetapi sebaiknya pemda bersama para penggiatnya menggunakan pendekatan bottom up. Salah satu kekuatan street art adalah kemampuannya dalam memperkuat relasi sosial sebuah kawasan. Syaratnya kegiatan tersebut dilakukan sendiri oleh penghuni dan bukan oleh seniman luar yang hanya diberi penugasan untuk mempercantik kawasan itu. Selain itu tujuan pembuatan mural bukanlah untuk komoditas wisata, tetapi lebih sebagai ekspresi dan artikulasi warga atas persoalan kota. Bisa pula merupakan usaha pelestarian nilai dan identitas budaya warga. Jika toh akhirnya dinikamati wisatawan itu hanya dampak turunan.
Pendekatan bottom up juga mewajibkan adanya partisipasi yang sebenarnya. Bukan partisipasi semu elitis seniman saja, akan tetapi partisipasi warga penghuni kawasan, pemilik usaha, atau komponen warga lainnya (anak sekolah, PKL, tukang becak). Proses partisipasi bisa dimulai dengan diskusi tema apa yang ingin diangkat, gambar apa yang dipilih, hingga teknik visualisasi apa yang akan digunakan. Termasuk mungkinkah secara teknis warga terlibat pengerjaannya. Tema yang diangkat bisa saja representasi lokalitas, misalnya tentang peran tokoh lokal bisa sesepuh warga, ketua RT, atau bahkan pedagang bakso yang berkeliling di kawasan tersebut.
Pengembangan street art juga tidak perlu dilokalisir, tetapi biarlah tumbuh di kawasan yang memang punya agenda, potensi dan keinginan untuk mengembangkannya. Itu lebih genuine, dan lebih berkelanjutan. Karena warga jelas akan merasa ikut memiliki, sehingga akan menjaga bahkan mengembangkan secara swadaya di lingkungannya.
Sejatinya street art adalah bentuk perayaan keseharian warga kota, sehingga pengembangannya tidak boleh mengabaikan peran warga karena itu representasi suara mereka. Mural yang baik bukan dibuat atas pesanan pemda tetapi oleh warga. Secara lebih luas, kesenian seharusnya berada di sisi kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Seni jalanan seharusnya nyaman dengan aksi gangguan dan harus selalu mengganggu kenyamanan. Bukan justru berakrab ria dengan kekuasaan serta tunduk pada modal. Bukan pula menjadi bahan bakar gentrifikasi serta proses eksklusi sosial perkotaan. #KotaSolo
Oleh Andi Setiawan FSRD UNS
Solopos, Senin 9 November 2017
Sumber Foto : Solo Tribun News