Nada Terketik di Beranda Kota

Teman-teman yang penuh nada, Jika posisi geografis sebuah kota diibaratkan sebuah rumah, maka saya tinggal, duduk, dan bermenung di beranda saja. Dari sana saya hanya bisa melihat sedikit hal-hal yang ada di dalam rumah melalui jendela-jendela kaca. Kalau sesekali terdengar si empunya rumah menyetel musik, saya boleh turut menggerak-gerakkan kaki atau mengangguk-anggukan kepala. Demikianlah kiranya posisi saya dalam menyajikan tulisan ihwal belantika  musik di Solo sepanjang tahun 2019. Tulisan ini hanya rangkuman dari orang “luar” yang coba menengok isi rumah dari jendela di beranda. Jadi sudah barang tentu misalkan terdapat banyak bolong-bolong dalam memberi gambaran. Tulisan ini hanya sebuah percobaan, bagi saya—dan mungkin teman-teman juga—untuk sedikit saja mengerti musik dan kota.
 
Dalam perkembangan teknologi informasi yang seakan tiada henti dimutakhirkan ini, rupanya musik masih mau bertarung dengan “kerasnya” jalanan kota. Para pengguna jalan selalu saja digoda untuk menjadi saksi pelbagai iklan pergelaran musik yang berlangsung di Solo dan sekitarnya. Padahal gambar-gambar iklan itu sudah pula berlalu-lalang di media sosial melalui akun facebook, instagram, hingga twitter penyelenggara maupun panitia. Kemudahan penyebaran informasi melalui teknologi itu rupanya belum cukup untuk memberi tahu orang-orang. Buktinya, kita bisa melihat tempelan-tempelan poster yang cenderung “sporadis” di tiang-tiang listrik, pintu toko-toko, hingga tembok-tembok bernasib malang.
 
Kita mencoba melintas di sepanjang jalan Slamet Riyadi, Solo. Jalan protokol di pusat kota ini sudah barang tentu didominasi para penunggang motor dan mobil. Orang-orang yang lalu-lalang di sana hampir selalu memacu kendaraan dengan kecepatan di atas 40 km/jam. Namun lihatlah tiang-tiang listrik di sebelah kiri jalan—saat melaju ke arah timur: sebagian besar tiang listrik tak alpa dari tempelan poster berukuran A5 hingga A3. Poster-poster yang sulit terbaca dari atas kendaraan itu ada yang berbahan HVS dan ada pula yang berbahan art paper. Kita pun mesti berhenti jika berkehendak ingin membaca. Dari penelusuran yang saya lakukan pada awal Desember, tempelan di sepanjang Slamet Riyadi didominasi oleh gelaran “Sound of Law 3” yang bersaing dengan pensi SMAN 3 Solo, “Aksen 26”.
 
Di beberapa titik, kita menyaksikan persaingan antarposter berlangsung cukup sengit. Dua poster sama-sama menampilkan tiga penampil utama dan akan berlangsung di Pamedan Pura Mangkunegaran Solo. Gelaran “Sound of Law 3” yang diselenggarakan BEM FH UMS itu berlangsung pada 30 November 2019 dengan menampilkan Danilla, Fiersa Besari, dan Once Mekel, sedangkan “Aksen 26” yang digagas OSIS SMAN 3 Solo digelar pada 21 Desember 2019 dengan bintang tamu Fajar Merah, Sisitipsi, dan Yovie & Nuno. Dalam jarak pergelaran yang cukup dekat membuat para penempel poster tak segan saling menindih. Di sini tak ada rasa saling menghargai dan menghormati. Tak ada “budaya” antre. Poster yang datang belakangan, akan tampil terdepan.
 
Entah sejak kapan, tiang-tiang listrik di Slamet Riyadi menanggung beban kesuksesan sebuah gelaran musik. Namun yang jelas, tiang-tiang tersebut sudah menjadi tempat favorit menempel poster sejak 2010 silam. Saya ingat, waktu itu saya dan seorang teman mengendarai motor Shogun di sepanjang Slamet Riyadi sambil menenteng serim poster G# of Smaracatur dan sekaleng lem pati. Di tengah malam yang sepi, kami berhenti di setiap tiang listrik untuk menempel poster. Dengan sebuah kuas cat tembok yang besar, saya menguaskan lem ke permukaan tiang. Tugas menempel menjadi bagian teman saya. masing-masing tiang cukup satu poster. Pilihan menempel poster lebih banyak berada di sekitar lampu merah, mengingat keterlihatan—kalau bukan keterbacaan—poster acara itu lebih besar saat para pengendara berhenti menunggu lampu hijau. Pola menempel poster semacam ini, rupanya, masih berlaku hingga sekarang.
 
Persaingan sedikit melunak saat media promosi acara itu beralih ke spanduk dan baliho. Khusus untuk baliho, jelas, ruang iklan yang berdiri sendiri-sendiri tidak akan diusik oleh penyelenggara acara yang lain hingga kontraknya selesai. Kita lihat, misalnya baliho gelaran “Mechafest 2019” yang berada di Jalan Dr. Radjiman, Solo. Baliho yang menampilkan foto grup musik FSTVLST itu baru turun digantikan iklan rokok pada 15 Desember malam, setelah acara “Mechafest 2019” berlangsung di Pelataran Hotel Adhiwangsa Solo. Kasus hampir serupa juga kita saksikan di tiang spanduk depan Masjid Sholihin, Punggawan, Solo. Meski di sana terdapat tiga sampai empat spanduk yang dipasang, spanduk-spanduk itu tidak saling menutupi. Mereka dengan tenang dan ikhlas berbagi tempat agar segala informasi yang berusaha disebarkan lewat spanduk itu tersampaikan kepada pengguna jalan.

Acara-acara musik yang disebarkan melalui poster, spanduk, dan baliho, ternyata masih didominasi oleh pergelaran-pergelaran yang melibatkan sponsor besar dan grup musik atau musisi terkenal yang berpentas di Solo. Musik Solo atau musik yang dimainkan oleh musisi-musisi asal Solo untuk sementara belum menjadi tokoh utama. Mereka turut tersebutkan di dalam poster, spanduk, atau baliho hanya sebagai “bintang” kedua, ketiga, dan seterusnya.

Teman-teman yang punya suara, Selain dari media poster, spanduk, dan baliho, kita bisa mendapat informasi penyelenggaraan suatu perhelatan musik, profil musisi, bahkan isu-isu teraktual dunia musik dari media cetak, seperti koran misalnya. Di Solo, kita tentu mengetahui keberadaan koran Solopos, Koran Solo, Radar Solo, dan dua koran tingkat provinsi yang memberi rubrik khusus kota Solo, Tribun Jateng dan Suara Merdeka. Meski begitu, di antara koran-koran tersebut, hanya Solopos  yang memiliki halaman khusus bagi berita-berita seni, budaya, dan dunia artis. Tak ada rubik khusus tentang musik. Rubrik yang mengusung nama “Pergelaran” tersebut kadang kala saja memuat berita musik di Solo . Dari ruang sempit itu, kita mendapat citra musik Solo yang “dibentuk” media cetak.
 
Kita pun memulai berita musik di Solo dengan duka. Pada 19 Januari 2019, rekan-rekan, sahabat, maupun karib almarhum seniman Guntur Triono alias Cunong menggelar peringatan 40 hari kematiannya di Gedung F Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Walau terberitakan pada 2019, Cunong telah “pulang” pada 2018. Selain berita ini, sepanjang 2019, kita mendapat berita duka lagi pada Agustus 2019. Bulan ini, barangkali, menjadi bulan duka bagi grup musik kawakan asal Solo, Kaisar. Hal itu terjadi lantaran Kaisar kehilangan Didik Ermas (bas) dan Yudi Kosasih (mantan pemain kibor) hanya dalam jangka waktu dua minggu. Padahal mereka telah membuat rencana “reuni” pada akhir tahun 2019. Namun Tuhan belum mengizinkan.
 
Tahun 2019 juga menjadi tahun perdana gelaran-gelaran yang memberi ruang baru bagi para musisi lokal di Solo. Pada 29 Januari 2019, Inisiasi 66 menggelar acara bertajuk “Manuver” di Studio Kopi nDaleme Eyang (SKDE), Solo. Manuver sengaja dibuat untuk memberi ruang ekspresi bagi kelompok musik indie asal Solo. Setiap bulan, bakal tampil satu kelompok musik untuk memperkenalkan karya-karya mereka dan mendiskusikan karya maupun proses kreatifnya. Acara Manuver ini menjadi komplit saat para penonton yang hadir membawa pulang buletin khusus yang berisi profil penampil dan chord lagu karya mereka. Konsep yang hampir serupa juga disuguhkan Bentara Budaya Solo (Balai Soedjatmoko) dengan menghadirkan program All (in)die Muziek. Sepanjang 2019, program ini telah berlangsung dua kali sebab All (in)die Muziek hanya rutin 4 bulan sekali. Gelaran perdananya berlangsung pada 20 Juni 2019, dengan menghadirkan grup musik The Working Class Shimpony dan The Glow. Sedangkan pada gelaran kedua, 26 November 2019, All (in)die Muziek menampilkan grup musik Imajinarium.
 
Dari pengumpulan berita musik sepanjang 2019, kita mendapati bahwa Solo masih tercitrakan sebagai kota yang didatangi musisi. Pemberitaan-pemberitaan lebih didominasi para musisi nasional ketimbang musisi lokal. Simaklah koran Solopos edisi 4 Mei 2019: di halaman depan, pembaca telah disodori foto Piyu dan Fadli dari grup musik Padi Reborn. Mereka tengah tampil di acara “Brands Concert SBBI-JBBI 2019 Padi Reborn” di De Tjolomadoe, Karanganyar. Foto ini menjadi satu-satunya konser musik yang tampil di sampul depan koran Solopos sepanjang 2019. Pemberitaan tentang penyelenggaraan konser ini pun telah berlangsung jauh-jauh hari, bahkan bulan. Kita mungkin mafhum sebab konser Padi Reborn itu masih berkaitan dengan perusahaan media Solopos.
 
Namun dari kronik musik yang terkumpul, kita bisa menandai bahwa media seakan menjadi perpanjangan tangan industri. Dari sedikit ruang yang dapat digunakan untuk memuat berita musik, berita-berita yang disajikan melulu berasal dari hotel, mal, pusat perbelanjaan, kantor pemerintah, atau beberapa lokasi yang sering dijadikan tempat konser, seperti Benteng Vastenburg, Pura Mangkunegaran, hingga De Tjolomadoe. Dampaknya terasa, acara-acara musik berbasis komunitas yang berlangsung di panggung-panggung kecil dan sederhana lolos dari perhatian kita. Kita pun merasa kesulitan untuk dapat mengikuti perkembangan musik di Solo jika hanya mengandalkan media.

Teman-teman yang punya selera, aekian menit kita bicara, rasanya belum sampai pula pada nama-nama musisi maupun grup musik asal Solo seperti Fun As Thirty, Gendar Pecel, Nothing Spesial, Inarifox, Sweet Killer, Stabillo, The Mobsters, Jungkat-Jungkit, Robetiyem, Cantigi, Kidungan, DD Crow & The Circus, Merah Bercerita, The Mudub, dan banyak lainnya. Di manakah keberadaan mereka? Mereka masih di Solo. Saya persilakan teman-teman untuk mengikuti akun media sosial mereka. Akhirnya, Solo sebagai ruang bermusik maupun ruang pentas musik, sepertinya, belum terlalu menggairahkan. Musisi-musisi asal kota Solo belum menjadi “raja” di rumah sendiri. Musisi-musisi lokal masih menjadi bintang pendukung. Vokalis grup musik Imajinarium, Gandhi Asta, di tengah-tengah acara All in(die) Muziek mengatakan bahwa Solo sebagai industri musik masih belum menggairahkan. Bahkan, vokalis Down For Life, Stephanus Adjie, menilai infrastruktur yang dimiliki Solo untuk membuat suatu konser musik besar masih belum memadai (Solopos, 15 Februari 2019). Solo kurang bergema. 
 
Oleh Hanputro Widyono/Esais Bilik Literasi
Disampaikan pada sesi Pidato Akhir Tahun 2019
 

Berita Terkait