Menghanyutkan Kenangan

Belum lama ini diriku berkesempatan melakukan observasi di Gunungkidul untuk riset pribadi. Pagi hari aku diajak teman untuk menemani anak-anak SD jalan-jalan keliling desa. Musim kemarau, sejauh mata memandang hanya ada batu dan pohon yang meranggas, didukung alam Gunungkidul yang memang demikian.
 
Aku melihat rombongan di depan sedang berhenti di jembatan desa. Karena penasaran aku ikut nimbrung di keramaian. Seorang anak menangis karena botolnya jatuh ke sungai karena disenggol temannya. Ibu guru mengomeli karena jengkel peringatannya tidak diindahkan
“Sudah dibilangin toh. Kalau di jembatan jangan inguk-inguk, jatuh kan botolnya,” seru bu guru. Ibu guru masih melanjutkan omelannya sambil memberi perintah pada anak yang menjatuhkan botol minuman temannya. Aku kaget.Sungai atau kali itu sungguh dalam, walaupun sedang kering.
 
“Sudahlah, Bu. ‘Kan Cuma botol, kasihan anaknya kok disuruh turun, apa tidak bahaya?” aku tidak tahan untuk tidak berkomentar.
“Ndak papa, Bu, anak sini biasa kok kalau cuma turun ke kali, wong biasanya kalau pas musim penghujan mereka biasa ciblon kok. Ah ini perkara yang rumit, Bu. Kalau botol itu cuma botol air mineral biasa, tak apalah, masalahnya ini botol merk TW, kalau nggak diambil nanti si anak bisa dibubur emaknya,” jelas bu guru dalam bahasa Jawa.
 
Kata simbah-simbah, di dekat belik Kali Lusi itu Arya Penangsang pernah beristirahat untuk minum dan mengikat kuda kesayangannya, Gagak Rimang, sebelum melanjutkan perjalannya ke Demak Bintara.
 
Aku geleng-geleng sambil menahan tawa karena teringat meme-meme tentang merk botol itu, tapi juga ngeri melihat anak yang turun ke kali. Aku jadi teringat dulu waktu kecil sempat menghanyutkan klenthing ke kali, seharian tidak berani pulang karena pasti diomeli simbah. Ah, kenangan itu tiba-tiba terdampar lagi setelah terhanyut sekian tahun.
 
Ingatan Masa Kanak dan Sungai
Dalam Konferensi Musim Sejagat, Setya dan Na’im menggambarkan sungai dengan segala masalahnya. Mau tidak mau, kenangan masa kecilku terpanggil lagi. Ketika teman-temanku anak metropolitan menanyakan tentang kampung halamanku, bayangan mereka selain sawah pasti akan ada sungai atau aku menyebutnya kali. Aku tahu pasti mereka membayangkan kali yang jernih, airnya dingin, dan banyak batu-batu besar seperti di Jenawi, Karanganyar, kampung halaman sahabatku. Ah, tentu saja mereka harus menghapus bayangan kali yang seperti itu. Kali di tempatku bukan jenis kali pegunungan macam itu. Kali yang airnya keruh dan akan mengering di musim kemarau. Ada dua jenis kali di tempatku. Kali kecil atau orang-orang di desaku menyebutnya “Kali Sin” dan kali besar yang namanya “Kali Lusi”. Di Kali Sin aku pernah mengambil air dengan jerigen lalu membawanya dengan bronjong dan mendorongnya di jalan yang menanjak. Waktu itu memang sumur bor belum berfungsi. Aku juga sering diajak ibu mencuci baju di Kali Lusi, bermain di dekat belik yang airnya jernih sambil ngobrol dengan pakdhe-pakdhe yang mengambil air di situ untuk dijadikan air minum. Kata simbah-simbah, di dekat belik Kali Lusi itu Arya Penangsang pernah beristirahat untuk minum dan mengikat kuda kesayangannya, Gagak Rimang, sebelum melanjutkan perjalannya ke Demak Bintara.
 
Teringat dulu ancaman orang tua di desaku yang menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak pergi ke kali di waktu bedhug atau candhikala. “Mengko ana gundreng,” kata mereka.
 
Kali banyak disebut di karangan anak Sekolah Dasar, setidaknya itu yang pernah aku alami dulu. Berbeda dengan teman-temanku, kenanganku tentang kali tidak begitu menyenangkan. Haha. Teman-teman bisa menceritakan pengalamannya ciblon, ngguyang sapi, mengumpulkan tanaman kembang banyu, saling ledek kalau ada benda kuning mengambang (anak di tempatku menyebutnya semuning) atau menceritakan keseuran mereka bermain sepak bola di kali yang sedang mengering. Aku? Takut dengan banjir yang tiba-tiba datang ketika masih di tengah kali di saat menyeberang, takut dengan bayangan bambu yang kukira ular, takut dengan kelabang yang tiba-tiba masuk ke bajuku ketika berada di kali, dan takut terseret ke kedung yang dalam dan dimakan kalap (hantu air). Juga cerita tentang seorang guru Taman Kanak-Kanak yang ikut hanyut ke kali Lusi ketika jembatan yang dilewatinya tiba-tiba putus ketika beliau sedang perjalanan berangkat ke tempat mengajar, di TK yang sekarang menjadi tempat mengabdi ibuku. Ibu guru itu bernama Siti Aminah, jenazahnya ditemukan di Demak beberapa hari kemudian. Namanya diabadikan menjadi nama jembatan yang pernah putus tersebut. Jika kamu lewat jembatan di daerah Bandang, Wirosari, Grobogan, itulah jembatan Siti Aminah. Ingatanku tentang kali adalah semua hal yang menakutkan. Sampai sekarang aku masih takut air dan tidak bisa berenang. Payah.
 
Na’im dan Setya menyebut Kali Pepe di ceritanya “Kota Pepe” dan “Pohon Detektif”. Na’im mengimajinasikan sebagai sebuah kota air sedang Setya menyebutnya secara harfiah. Sepertinya Kali Pepe di kota Solo memang punya keterikatan emosional dengan mereka. Aku pernah ngonangi mereka melakukan aktivitas di bantaran Kali Pepe (semoga tidak salah). Beberapa teman aktivis juga pernah mengadakan acara dengan melibatkan anak-anak yang tinggal di pinggir Kali Pepe. Aku sendiri tidak terlalu memiliki kenangan dengan Kali Pepe kecuali ketika jalan-jalan dan melewati jembatan Arifin yang menghubungkan Widuran dan Kabalen. Kali Pepe seingatku hanya pernah kusebut dalam parikan-parikanku, sebatas untuk menyamakan rima.
 
Cerita yang Mengancam
Cerita anak seharusnya adalah cerita yang menyenangkan, walau mungkin di dalamnya menceritakan kesedihan, usahakan happy ending, berakhir bahagia. Aku pernah mendengar temanku, seorang penulis cerita anak bilang begitu. Sebelum menulis ulasan ini, aku membuka-buka lagi tulisan cerita anak punyaku. Cerita-cerita yang kutulis masih khas cerita anak konvensional, pesan moral masih terlihat jelas walau tidak menggurui. Nah, cerita yang seperti ini yang tidak kutemukan di dalam Konferensi Musim Sejagat.
 
Kebetulan aku mengenal Na’im dan Setya. Dua orang ini sungguh sialan. Mereka adalah orang yang wagu jika mungkin menulis fiksi (hanya penilaian subyektifku). Kesan esais mbalung gerehalias ngeri sudah tersemat di nama mereka. Hanya ketika menulis cerita anak, sepertinya aku harus mengakui bahwa aku harus waspada dengan mereka. Haha. Sungguh terlihat dedikasi mereka pada dunia anak. Cerita yang mereka tulis mempunyai ruh yang kuat, sederhana tapi mengena.
 
Kadang kita berpikir bahwa sebaiknya kita harus menghanyutkan kenangan-kenangan itu. Na’im dan Setya menolak menulis cerita yang berakhir bahagia atau cerita yang bahagia dari awal. Membaca lima dari enam cerita di buku mereka, aku merasa hatiku suram. Iki cerita anak kok madesu ngene ya, gerundelku dalam hati. Apakah kalau cerita ini dibaca oleh anak-anak responnya akan sama denganku? Atau hanya aku yang kelewat baperan? Mungkin harus kutanya pada sampah-sampah di Kota Pepe.
 
Dalam “Hantu Sampah” karangan Setya, tokoh Mbak Ita mengancam adiknya, Adin, “Nanti aku bilangin Ibu, lho! Kan sudah dibilangin. Bahaya! Nanti kamu digondol sama ikan bermuka dua,”(hal 19). Adin dan teman-temannya malah menertawakan ancaman mbaknya itu. Mana ada yang percaya dengan keberadaan ikan bermuka dua, palingan juga sudah minggat karena takut sampah di kali. Edan, bahkan penunggu sungai pun harus takhluk dengan ganasnya sampah. Hantu pun bisa diganggu sampah. Teringat dulu ancaman orang tua di desaku yang menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak pergi ke kali di waktu bedhug atau candhikala. “Mengko ana gundreng,” kata mereka. Gundreng adalah anak-anak genderuwo yang suka muncul tepat di tengah hari, di pinggir kali. Aduh dulu aku begitu takut. Jangan-jangan gundreng sekarang tak pernah muncul lagi karena kali sudah begitu rusaknya.
 
Na’im tidak mau kalah dalam hal ancam-mengancam ini. Dalam ceritanya “Konferensi Musim Sejagat” dia menciptakan banyak dewa. Dewa-dewa ini berkonferensi. Ada Dewa Sungai, Dewa Hujan, Dewa Pohon, Dewa Badai bahkan Dewa Beton dan Dewa Pencakar Langit. Dalam menyelesaikan masalah mereka selalu mencari jalan terbaik kecuali Dewa Badai yang maunya merusak saja. Lihat saja apa katanya, “Benarkah? Aku akan pergi dari sini sekarang juga. Akan kucari anak-anak itu. Kalau kutemukan satu saja anak yang membuang sampah di sungai, aku akan mengamuk dengan badai yang paling dahsyat! Ha ha ha!” kata Dewa Badai Keras. Tanpa menunggu, Dewa Badai melesat meninggalkan konferensi. Tak ada yang sempat mencegahnya. Berhati-hatilah saat mau membuang sampah. Dewa Badai Mengintai! (hal. 27). Buang sampah sembarangan bukan denda ancamannya, tapi amukan Dewa Badai. Dhuh.
 
Menghanyutkan Kenangan
Aku merasakan romantisme masa lalu dalam cerita Setya “Vionisa dan Kedip”. Kedip si Ikan Cupang yang dipelihara Vionisa di akuarium rumahnya mengadu kalau dia merindukan rumahnya di sungai. Vio ingin mengembalikan Kedip, tapi teringat sungai sekarang kotor, banyak sampah dan ada pengerukan lumpur. Tentu saja itu  bukan tempat berpulang yang baik.
 
Kenangan masa lalu juga dirasakan oleh tokoh Idan dalam “Idan Takut Air” karangan Na’im. Bukan kenangan yang baik ketika kenangan itu adalah tentang sungai yang merenggut nyawa seorang bapak. Kenangan yang pastinya akan enggan diziarahi oleh Idan.
 
Baik Kedip atau Idan merasakan momen ingin merasa pulang dan “pulang”. Tapi kadang memang kita harus merelakan bahwa kita tidak bisa kembali ke masa kecil yang menyenangkan, ke kampung halaman yang masih asli. Kadang kita berpikir bahwa sebaiknya kita harus menghanyutkan kenangan-kenangan itu. Tapi bukannya mereka tidak benar-benar pergi? Bisa jadi malah jadi sampah yang menyumbat dan membuat banjir di tempat lain.
 
Ah tenang saja, tidak semua cerita di buku ini suram sebenarnya. Ada geng detektif cilik yang suka bermarkas di “Pohon Detektif”. Mereka akan sigap membantumu di setiap kondisi. Mereka akan melaporkan kepada Pak RT ketika hujan turun dan sungai terlihat akan meluap. Tapi banjir tidak berani mengganggu karena warga sering bekerja bakti membersihkan bantaran sungai. Ahai. Mungkin mereka juga yang sudah membersihkan kenangan-kenangan sampah yang menghanyut di sungai kehidupan kita dan mencegah banjir air mata kemudian. Aih.

Oleh Impian Nopitasari
Mendungan, 30 Oktober 2018
Menghanyutkan Kenangan
Sumber : https://langgar.co/menghanyutkan-kenangan/
 
 

Berita Terkait