Jejalin Kampung Kota
Kota dan kampung-kota meruang sengit dalam sanggama. Puisi-puisi Wiji Thukul memberi gambaran apik terkait kelindan persetubuhan kota dan kampung-kota. Dalam Sajak Kota, Wiji Thukul menulis: kota macam apa yang kita bangun/ mimpi siapa yang ditanam/ di benak rakyat/ siapa yang merencanakan/ lampu-lampu menyibak/ jalan raya dilicinkan/ di aspal oleh uang rakyat/ motor-motor mulus meluncur/ merek-merek iklan/ di atap gedung/ menyala/ berjejer-jejer/ toko roti/ toko sepatu/ berjejer-jejer/ salon-salon kecantikan/ siapa merencanakan nasib rakyat?
Konon, kota dibangun dengan pengetahuan, berbekal ilmu perencanaan wilayah. Perencanaan mewujud dalam pembangunan besar-besaran, melahirkan jalan beraspal, gedung, toko, dan papan iklan. Kota mengabaikan nasib warga yang tak lekas entas dari kemiskinan. Wiji Thukul, dalam puisi Nonton Harga, bahkan menyebut warga sekadar penonton dalam deras laju perubahan kota: ayo keluar keliling kota/ tak perlu ongkos, tak perlu biaya/ masuk toko perbelanjaan tingkat lima/ tak beli tak apa/ lihat-lihat saja/ kalau pengin durian/ apel-pisang-rambutan-anggur/ ayo.../ kita bisa mencium baunya/ mengumbar hidung cuma-cuma.
Wiji Thukul lantas memberi gambaran ruang kota yang jauh dari ingar-bingar dan kemewahan. Ruang itu bernama kampung-kota. Wiji Thukul menulis: bila pagi pecah/ mulailah sumpah serapah/ kiri-kanan ribut/ anak-anak menangis/ suami-istri bertengkar/ silih berganti dengan radio/ orang-orang bergegas/ rebutan sumur umum// lalu gadis-gadis umur belasan/ keluar kampung menuju pabrik/ pulang petang/ bermata kusut keletihan/ menjalani hidup tanpa pilihan. Puisi Kampung Wiji Thukul menjadi pukulan telak bagi kota. Kampung-kota jauh dari perhatian dan sekadar dijadikan kantong tenaga kerja berupah murah.
Gagasan urbanisme melingkupi pengetahuan, paham, pemikiran, gagasan, dan visi tentang kota dan kekotaan. Urbanisme tentunya haram mengabaikan pengetahuan ihwal kampung-kota. Itulah pendorong RUJAK Center for Urban Studies dan Kampungnesia mengadakan Srawung Kampung-Kota, sebentuk agenda mempertemukan pengetahuan kampung-kota. Srawung Kampung-Kota melibatkan sekian akademisi, komunitas, juga perseorangan yang percaya bahwa kota bukan semata dibangun dengan logika untung rugi, sebagaimana tuduhan Wiji Thukul. Kota mesti berpihak pada warga dan dibangun berlandaskan pengetahuan kampung-kota. Maka, RUJAK menyebut proses itu sebagai Urbanisme Warga.
Pengetahuan kampung-kota dipertemukan, dibicarakan, didokumentasikan, lantas terbit sebagai buku berjudul Srawung Kampung-Kota: Kontestasi Kampung Diriuhnya Perubahan Kota (2017). Penyunting menulis keterangan singkat, “buku ini, mencoba memberi paparan bagaimana wajah kota dibentuk oleh narasi-narasi yang disusun dari kepingan perubahan yang terjadi di kampung-kampung. Ada kemungkinan kota dan kampung hadir bersamaan sebagai sebuah relasi namun tak sebanding. Namun besar kemungkinan, kota dan kampung hadir tidak bersamaan karena ketiadaan orientasi nan kolektif” (hlm. viii).
Persoalan terpenting bagi kampung-kota adalah ruang. Kampung-kota senantiasa terdesak pembangunan dan perluasan ruang kota yang komodifikatif. Salah satu konflik ruang terjadi di kampung Kebun Sayur, Ciracas, sebagaimana ditulis oleh Devy Dhian Cahyati. Kampung di Jakarta Timur itu adalah salah satu potret penggusuran atas nama pembangunan ibukota (hlm. 27). Warga yang tinggal di wilayah itu dianggap pemukim liar sehingga layak untuk digusur. Kasus lainnya adalah alih fungsi lahan di kampung Pogung Kidul, Yogyakarta, yang dicatat A. Nimas Kesuma Negari. Kampung Pogung Kidul adalah wilayah agraris yang kini menjelma lahan subur bagi pembangunan hunian elit dan komunitas berpagar di Yogyakarta (hlm. 44).
Di tengah krisis ruang, warga kampung-kota senantiasa memiliki siasatnya sendiri dalam memanipulasi ruang bersama. Pengamatan dilakukan oleh Ginani Hening Utami, Jovita Calista Romauli Sitorus, dan Yoga Adi Santoso di kampung Babakan Ciamis, Bandung. Warga setempat menyiasati gang dan Gedung Serba Guna untuk dijelmakan ruang bersama. Pengamatan mereka bertiga berkesimpulan, “Gedung Serba Guna lebih versatil dikarenakan variasi kegiatan yang ditampung di ruang ini lebih banyak dengan kebutuhan ruang yang berbeda-beda... Sedangkan kegiatan yang berlangsung di gang merupakan kegiatan-kegiatan dengan fungsi sosial massal dan fungsi hiburan” (hlm. 69-70).
Di kampung Pondok Pucung, Tangerang Selatan, berlangsung upaya membangun ruang kreatif bagi anak-anak. Warga setempat diberdayakan mendesain kampung-kota secara partisipatif dengan prinsip Design as Generator (DAG). Upaya partisipatif itu dijelmakan program bertajuk Kampung Kita Kumpul Kreatif Kompak (KaKiKuKeKo). Program termaksud dilaksanakan dalam tiga fase: memetakan aktivitas bermain anak-anak, merespon aktivitas bermain anak dengan intervensi desain, membangun simulasi ruang kreatif dan baca untuk anak. Kemudian, inisiasi kreatif dan mandiri warga penting sebagai refleksi atas program.
Selain mempersoalkan ruang, Srawung Kampung-Kota pun memperhatikan tradisi di kampung-kota yang membentuk identitas kultural kota. Akhmad Ramdhon dan Siti Zunariyah misalnya, mengkaji tentang kampung Laweyan yang punya andil pada label Solo Kota Batik. Ahmad Khairudin menulis tentang gebyuran, tradisi menyambut bulan Ramadan yang menguatkan solidaritas warga kampung Bustaman. Persoalan identitas yang terbentuk lewat kuliner tidak luput dari perhatian. Wida Ayu Puspitosari mengulas industri tahu di Kediri yang rupanya berkelindan dengan perjumpaan etnisitas.
Kajian etnoekologi Sarkawi B. Husain ihwal sungai dan air Kali Jagir Ngagelrejo, Surabaya, menjadi pembeda dalam buku ini. Kajian Sarkawi seakan hendak mengatakan bahwa pengetahuan kampung-kota tak melulu berorientasi daratan. Sungai pun menjadi bagian penting dalam laku warga berkampung-kota. Untuk itu, berbareng dengan buku Srawung Kampung-Kota, diterbitkan pula hasil produksi pengetahuan kampung-kota berbasis sungai yang menjelma sekian buku: Memetri Kali Pepe: Rekam-Proses Belajar Bersama Warga (2017), Sungai, Kampung, dan Kota (2017), dan Merekam Kali Pepe: Menggali (kembali) Pengetahuan Bersama Warga (2017). Pada akhirnya, pengetahuan kampung-kota mesti terus diproduksi, dipertemukan, dan dirayakan. #Kampungnesia #KampungKota #SrawungKampung
Oleh Udji Kayang Aditya Supriyanto
via https://koran.tempo.co/konten/2017/06/17/418203/Jalinan-Kampung-Kota
via https://koran.tempo.co/konten/2017/06/17/418203/Jalinan-Kampung-Kota