Berbagi Pengalaman Merawat dan Melestarikan Kampung-Kota

Kampung menjadi masa depan kota yang mampu berdaya dan memiliki potensi dalam segala lini kehidupan. Menurut Wahyudi Anggoro Hadi, lurah Panggungharjo, desanya berbatasan langsung dengan 75 desa di daerah Bantul dan merupakan kawasan strategis di Kota Yogyakarta.
 
Sedikit banyak mencirikan kondisi perkotaan kaum miskin kota, Panggungharjo dikenal sebagai salah satu desa yg memiliki Bumdes terbaik se-Indonesia. Misalnya, Kampung Matraman menjadi sumber pendapatan Bumdes. Panggungharjo mempunyai program Desa Bagi Semua Bangsa yaitu penghidupan layak bagi semua, hunian yang layak, kesehatan bagi semua, pendidikan bagi semua, ruang sosial bagi semua yang inklusif. Desa adalah masa depan dunia, yaitu udara bersih, air bersih, dan pangan sehat. Desa memiliki software, hardware, dan socialware.
 
Selain itu, Panggungharjo merupakan desa lumbung budaya karena memiliki pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, bahasa, seni, permainan rakyat, adat istiadat, ritus, tradisi lisan, dan benda atau bangunan budaya. Pergeseran budaya menjadikan diri kita semakin berjarak dengan apa yang kita makan. Contohnya umbi-umbian dan sayuran. Kolaborasi berdasarkan rantai pasok terdiri dari inbound logistic (bahan baku pangan), operations (produksi pangan aman), dan outbound logistic (pemasar produk pangan aman).
 
Ragam ekspresi kebudayaan yang tumbuh dan berkembang tersebut beberapa di antaranya mendekatkan dengan persoalan yang dihadapi oleh desa saat ini, yaitu semakin terbatasnya ruang hidup yang berkelanjutan. Salah satunya adalah permainan dan dolanan anak yang ada di salah satu sudut desa yaitu Kampoeng Dolanan di Dusun Pandes, yang sudah ada sejak pertengahan abad XVIII.
 
Permainan dan dolanan tradisi senantiasa lahir dari kesadaran atas ruh geografis, yang merekam relasi antara alam, manusia, dan sang pencipta, jejaknya kemudian tampak dalam peralatan, ungkapan, maupun tambang yang terdapat dalam permainan ataupun dolanan tradisi.
 
Sifat permainan dan dolanan tradisi terdiri dari wicara, wiraga, wiama, dan wirasa. Selain itu, upaya membangun ekosistem dan transformasi pembangunan desa dengan fokus utamanya melalui keluarga, karena delapan dari sepuluh isu desa sumber pokok masalah ada di keluarga. Pegiat kampung-kota juga turut menuangkan ide dan gagasannya seperti yang dipaparkan oleh Budi Utomo dari Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT), mengenai peran masyarakat dalam merawat Sungai Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo merupakan salah satu sungai di Indonesia yang hampir setiap tahun menimbulkan bencana banjir di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
 
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengganggu kehidupan masyarakat disebabkan oleh faktor alam, nonalam maupun faktor manusia mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Isu-isu strategis yang ingin diangkat ke permukaan adalah bencana tidak mengenal waktu sehingga setiap saat bisa terjadi, tingginya ancaman banjir, tanah longsor, dan pencemaran di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, tanggungjawab dan wewenang penyelenggaraan Penanggulangan Bencana oleh pemerintah, masyarakat, dunia usaha serta akademisi dan media, serta perubahan pemanfaatan lahan meningkat.
 
Seringnya terjadi banjir di wilayah Kampung Sewu, masyarakat hidup beradaptasi dengan living harmony with disaster. Dampak dari hal tersebut PMI mengadakan pelatihan untuk penanggulangan bencana, penyusunan peta bahaya, kerentanan dan resiko, dan meningkatkan keamanan.
 
Selain itu, karena sering terjadinya banjir, masyarakat memiliki ‘ilmu titen’, yang masyarakat paham tanda-tanda akan terjadi banjir. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Melihat fenomena pencemaran, bencana banjir, dan longsor yang semakin sering terjadi harus ada langkah konkret yang dilakukan bersama dengan pihak terkait seperti komunitas dan relawan, yaitu melakukan gerakan bersih sungai, membuat alat panen air hujan, memasang jalur evakuasi, pemantauan TMA dan EWS, penghijauan, dan penanaman akar wangi. Semua aktivitas terekam dan terlacak sehingga menjadi informasi bagi pihak terkait seperti BPBD, PMI, dan Pemerintah Kota, meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada donatur.
 
Kampung-Kota dalam Bingkai Kampus
Selain melihat kampung-kota dalam kacamata bencana, kita dapat melihat perkembangan kampung-kota dalam bingkai lingkar kampus yang dipaparkan oleh Redy Eko Prastyo dari Jaringan Kampung Nusantara. Jaringan Kampung Nusantara adalah forum komunikasi, bagaimana orang-orang yang bergabung mempunyai kepedulian tentang kampung. Redy menyatakan bahwa masyarakat melihat kampus itu omset dan mahasiswa merupakan investasi karena dilihat dari pendekatan ekonomi. Seharusnya kampus menjadi terbuka sehingga mampu menjadi wadah dan menciptakan kreativitas masyarakat.
 
KLK (Kampung Lintar Kampus) adalah kampung yang berada di sekitaran kampus, contohnya Kampung Cempluk yang berada di Malang. Keberadaan kampung di sekitar kampus bisa dijadikan sebagai laboratorium hidup, karena keikutsertaan mahasiswa ke dalam kegiatan-kegiatan yang ada menjadi sebuah nilai plus untuk membangun aspek-aspek kehidupan.
 
Kampung itu harus menjadi stasioner ide, stasioner gagasan dan outputnya dapat membangun bangsa ini. Kampung itu penting karena ketika kita berbicara Indonesia, maka kita harus mengenali kampung-kampung yang ada di dalamnya baik kampung rural maupun urban.
 
Hal ini berkaitan dengan strategi SDM dalam mengembangkan potensi kampung dengan aset kreatif, yaitu dengan membuat workflow image program, attitude aktor kampung, inklusivitas, pijakan kearifan lokal atau pondasi hulu. Sedangkan peran dan fungsi dari strategi tersebut adalah berbasis warga KLK (Kampung Lintar Kampus) dan berbasis kampus.
 
Kampung menjadi penting karena menjadi ruang terbuka yang sangat strategis untuk merumuskan ide-ide atau gagasan baru yang dapat diterapkan pada masa pandemi ini. Pernyataan di atas seharusnya didukung dengan menyamakan gerak dan laju kesadaran kolektif untuk sadar blocking, orientasi pada potensi budaya, langkah taktis dan pragmatis. Kampung harus menjadi pilar utama Indonesia.
 
Dilanjut dengan paparan dari Dharwis Khudori, Guru Besar Universite Le Havre Nirmandie, pada sesi keempat yang menjelaskan bahwa desa adalah masa depan dunia, tetapi nasib desa ditentukan oleh kota. Sedangkan kota sekarang ini sedang menghadapi tantangan global dan lokal.
 
Tantangan lokal kota terdiri dari kemiskinan perkotaan, warisan kolonial (dualisme kebudayaan, dualisme ekonomi), keberagaman (budaya, agama, adat), warisan pusaka budaya (bangunan tradisional, benteng, dan kraton), dan model teoritis yang artinya kita hari ini belum memiliki teori sendiri dalam menata kota.
 
Kearifan Lokal, Ketangguhan Budaya
Srawung Kampung-Kota lalu diperjelas oleh Melani Budianta, Guru Besar Universitas Airlangga, dengan paparan materinya mengenai ketangguhan sosial budaya (culture resilience), merupakan kunci penting yang melandasi keterkaitannya dengan pendekatan kesehatan dan pendekatan ekonomi. Ketangguhan budaya diartikan kesinambungan dan perubahan untuk keberlanjutan kehidupan yang nyatanya kearifan lokal dan kreativitas berbasis komunikasi dapat menjadi modal untuk membangun ketangguhan budaya menghadapi pandemi.
 
Ketangguhan budaya berbasis komunitas lebih efektif karena saling mengenal, bisa saling mengawasi dan menjaga, dipimpin oleh pilihan warga, adanya kedekatan, efektivitas komunikasi, misalnya di Banjar Bali, Pecalang. Jika desa memiliki ketangguhan budaya, maka masalah ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan dapat diatasi.
 
Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai strategi dan masyarakat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus-menerus untuk mencari solusi sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut.
 
Kearifan lokal dibutuhkan untuk merespon kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya masa pandemi. Misalnya pelaksanaan Budikdamber (budidaya ikan dalam ember) bertujuan untuk peningkatan ekonomi dan ketahanan pangan Komplek Orange Cimekar Cileunyi Kabupaten Bandung, yang nantinya akan ada inovasi baru karena tidak hanya ikan yang akan dibudidayakan.
 
Hal ini mampu menjawab permasalahan yang berkaitan dengan ketahanan pangan dengan meneruskan tradisi dan ritual cara baru (kearifan lokal dan kreativitas beradaptasi dengan kebutuhan sekarang). Di masa pandemi ini sudah banyak yang berubah, salah satunya adalah komunikasi digital. Komunikasi digital ini bisa menjadi salah satu media dalam memfasilitasi kreativitas dan ekspresi warga, komunitas, generasi muda untuk menyuarakan kebutuhan untuk kampungnya.
 
Inovasi budaya mau tidak mau mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman karena disebabkan oleh pandemi, kerusakan alam, mentalitas transaksional, terlupakannya kekayaan tradisi lokal, dan gerusan urbanitas. Misalnya membangun lumbung budaya desa atau kampung untuk keberlanjutan di masa paceklik yang memiliki ketahanan pangan dan budidaya yang unggul. Selain itu, kampung dapat dijadikan sebagai lumbung pengetahuan (wisata desa, pendidikan berbasis komunitas).
 
Konsep lokal ini dijadikan suatu ruang yang berfungsikan untuk, pertama, membangun sejarah atau narasi kampung, museum hidup, menghidupkan lembaga adat, menghimpun kembali ingatan kolektif petatah-petitih, mitos, dan tradisi. Kedua, keriaan gotong: festival, ritual, pasar kuliner, pertunjukan kesenian. Ketiga, sonjo kampung: saling kunjung mengunjungi untuk berbagi ide, pengalaman dan pengetahuan saling menunjang, menyelesaikan konflik antar desa.
 
Pernyataan diatas semakin mempertegas diskusi pada malam hari itu bahwa kampung-kota dapat dipandang dan dilihat dari berbagai macam studi ilmu. Pada akhirnya, menarik benang merah tentang kampung-kota yang memang harus tetap hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
 
Oleh Ika Agustina Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS   
Sumber https://surakartadaily.com/2021/09/berbagi-pengalaman-merawat-dan-melestarikan-kampung-kota/ 
 
 
 

Berita Terkait