Yang Perlu Diingat Dari Mei: Refleksi 25 Tahun

Seperempat abad sudah reformasi bergulir. Memori kolektif kita kerap membicarakan Mei 25 tahun lalu bagai diorama heroik di museum-museum perjuangan. Mahasiswa, buruh, petani, kaum miskin kota, akademisi, politisi, pemuka agama, dan seterusnya yang turun ke jalan memperjuangkan demokrasi, tanpa pamrih hingga berkorban nyawa untuk menumbangkan otoritarianisme Orde Baru. 

Perbincangan mengenai heroisme tentu tidak salah sama sekali, akan tetapi nada pembicaraan yang demikian tampaknya menutup mata kita dari hal lain yang juga terjadi di masa yang sama. Di samping itu kita juga kerap lupa membicarakan apa yang berubah di Indonesia pasca reformasi bergulir hingga hari ini?

Jika berangkat dari keadaan hari ini, persepsi kita atas 32 tahun kekuasaan Orde Baru secara umum bukan sebuah persepsi yang positif. Kestabilan politik dan ekonomi meski kerap dirayakan namun juga mulai dipahami sebagai semacam kelir yang menyelubungi kerja-kerja otoriter di balik layar. Pengungkapan fakta selama 25 tahun terakhir membuat kita memandang periode itu dengan bergidik ngeri. Mulai dari pembantaian ratusan ribu jiwa di seluruh Indonesia, pengasingan politik, penembakan misterius, korupsi, dinasti politik, pengekangan, pengerdilan atau bahkan pelanggaran dengan tangan besi atas hak-hak sipil, demokrasi, kewarganegaraan, kemanusiaan, dan seterusnya.

Maka tampaknya tidak berlebihan apabila mengatakan bahwa peristiwa Mei adalah sebuah konsekuensi akumulatif logis dari keadaan selama 32 tahun periode Orde Baru. Melalui krisis ekonomi, reformasi menemukan momentum menumbangkan otoritarianisme, kita gembira, terbebas sudah, tetapi dari apa dan menuju ke mana?

Jika memakai ukuran-ukuran demokrasi sebagai acuan, reforma struktur, hukum dan ekonomi pada akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an tampaknya cukup menjanjikan. Tetapi dalam dua dekade terakhir kita juga mulai melihat kebangkitan elite-elite politik dan ekonomi baru, termasuk mereka yang merupakan bagian dari elite lama yang masih terus bercokol menguasai sektor-sektor esensial di negeri ini. Oligarki masih menjadi momok menyakitkan di tengah masyarakat Indonesia yang belum kunjung memperoleh hak atas politik, ekonomi, hukum dan sosial. Korupsi semakin menjamur, feodalisme masih terus menemukan tempat, mafia hukum masih merajarela, politik identitas dan bahkan SARA masih terus direproduksi dan digunakan.

Menjelang pemilihan umum 2024 kita mulai melihat banyak tanda-tanda kekhawatiran akan kembalinya otoritarianisme secara perlahan. Dominasi partai politik atas demokrasi kita dalam tahapan yang begitu mengkhawatirkan. Kita tak lagi punya kekuasaan untuk menentukan siapa calon yang benar-benar dapat mewakili suara dan aspirasi. Mandulnya gagasan dalam diskursus politik dan fokus pada calon-calon tertentu juga membuat suara-suara kritis terbenam di balik riuhnya elite-elite yang saling berteriak tanpa peduli pada suara di bawahnya. Kita terjebak di ruang antara, terhimpit oleh kepentingan-kepentingan besar yang eksploitatif.

Semua ini tentu membuat kita berpikir ulang, sampai di mana agenda reformasi? Ke mana perginya nilai-nilai yang diperjuangkan kala Mei 25 tahun silam?

Tentu, di sisi lain kita juga memperoleh kemajuan penting. Reformasi membuka kemungkinan pada banyak hal yang sifatnya emansipatif. Keterbukaan informasi, kebebasan akademis, ruang-ruang baru dalam beropini tanpa diganggu sensor berlebihan. Dengan semangat kebebasan ini masyarakat Indonesia dibanjiri dengan lautan informasi serta literatur yang sebelumnya dilarang untuk sekadar diperbincangkan. Dunia sastra kita berkembang dengan pesat, begitu juga penulisan atas sejarah, sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

Kebebasan ini memungkinkan kita berbicara mengenai soal-soal pelik dalam sejarah Indonesia. Kasus 65, Tanjung Priok, Talangsari, penghilangan paksa aktivis 98, dan tentu kerusuhan Mei 98 yang semakin menemukan keberterimaan di tengah masyarakat, aktivis, dan penulis-peneliti. Keterbukaan ini juga membuat kita lebih awas pada potensi-potensi pelanggaran hak asasi manusia dan sipil yang terjadi pasca reformasi. 

Dengan berkaca pada 32 tahun pengalaman di bawah Orde Baru, hal ini tentu patut disyukuri, tetapi kelewat cepat apabila kita terlanjur bergembira. Kebebasan ini di sisi lain belum berefek besar pada perubahan sosial secara menyeluruh. Akses pada pendidikan dan literasi misalnya, masih sulit dan tidak merata. Keterbukaan ini lantas belum berefek pada meningkatnya pemahaman kritis masyarakat Indonesia atas kehidupan berbangsan dan bernegara. Di samping itu keterbukaan belum dapat menyelesaikan kasus di masa lalu dan dengan begitu juga selalu ada trauma yang tersisa.

Peristiwa Mei 98 sendiri bukan terjadi tanpa tragedi. Ratusan kalau bukan ribuan orang (terutama etnis Tionghoa) mengalami persekusi, penjarahan, dan bahkan pembunuhan. Kerusuhan yang pecah di berbagai kota di Indonesia juga menyebabkan kerugian mental dan material yang tidak kecil. Peristiwa ini sendiri tentu saja problematis jika dikaitkan dengan gagasan yang diusung saat reformasi. Pemikiran “tercerahkan” demokrasi yang diusung dalam reformasi justru melahirkan kekerasan etnis yang luas. Jika kasus-kasus ini tak kunjung diselesaikan tentu akan menjadi problem besar dalam demokrasi kita ke depannya.

Akhirnya, Mei dalam sejarah kita merupakan periode yang wajib diingat. Gagasan reformasi harusnya terus diperbincangkan agar tidak menjadi basi. Agenda reformasi yang tampaknya sedang mandeg perlu dihidupkan lagi. Kita tak perlu menunggu, dan tak mau tragedi terulang kembali, dan itulah gunanya mengingat Mei, mengingat gagasan kebebasan dan tragedi kemanusiaan.

Oleh Fatih Abdulbari


Berita Terkait