Wadas, Pelajaran Tentang Relasi Ruang dan Manusia

Peristiwa penyerbuan dan pengepungan aparat ke Desa Wadas, Purworejo  tgl 7 Februari 2022 kemaren kembali menambah daftar panjang peristiwa resistensi warga terhadap proyek pembangunan pemerintah. Kisah yang serupa sudah terjadi di banyak lokasi lain, sekedar menyebut sedikit contoh, misalnya di Urut Sewu, Kendeng, Kulon Progo, Kertadjati, Sangihe, dan lain sebagainya. Di semua peristiwa tersebut terjadi pola yang sama, warga menolak untuk digusur walaupun sudah ditawari uang ganti rugi. Sebagian kita mungkin heran dengan alasan-alasan yang mereka kemukakan. Mulai dari kehilangan ruang hidup, tercerabut dari akar, dan lain-lain. Bagi kita yang terbiasa memandang tanah hanya sekadar aset, maka akan mengalami kesulitan dalam memahami bahwa tanah mempunyai nilai lebih dari sekedar komoditas bagi warga yang digusur dari desanya. Bahwa ada relasi antara manusia dan ruang, lebih dari sekedar hak kepemilikan di atas sertifikat. Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan tentang bagaimana relasi antara manusia dan ruang telah membangun pemaknaan atas tanah dan manusia yang tinggal diatasnya. Pemahaman ini diharapkan akan memberi perspektif baru dalam cara kita memandang sebuah peristiwa penggusuran seperti yang terjadi di Wadas.
 
Manusia lebih merasakan kehadiran sejarahnya melalui ingatannya atas ruang, bukan atas waktu (peristiwa). Ingatan atas ruang, terutama rumah masa kecil, sering kali membentuk kesadaran, atau setengah kesadaran (lamunan) kita. Ia sering kali muncul, sekilas, tiba-tiba, berkelindan dengan kesadaran masa kini kita. Bau masakan di dapur, tekstur keramik kamar mandi, retakan di dinding pagar rumah, dan semua detail-detail tersebut sering kali tetap bertahan dalam kesadaran dan ketidaksadaran kita. Rumah dan ruang tempat kita tumbuh merupakan kontinum yang mampu menyatukan kenangan masa lampau, perjuangan hari ini, dan harapan di masa depan. Paling tidak itu yang ingin disampaikan oleh Gaston Bachelard dalam bukunya "The Poetics of Space".
 
Oleh karena itu ruang bisa menjadi sedemikian kuat mempengaruhi hidup manusia. Harapan, impian bahkan enerji untuk menjalani hidup bagi seseorang bisa jadi sangat tergantung dengan memori atas ruang masa kecilnya. Itu pula yang menjelaskan mengapa terdapat orang-orang yang bersikeras menolak rumahnya digusur dan berpindah ke tempat lain. Mereka terikat dengan ingatan ruang masa lalunya. Bagi mereka rumah, tanah dan lingkungan tempat mereka tumbuh bukan sekedar ruang fisik material. Di situ terdapat sejarah tentang proses bagaimana eksistensinya sebagai individu dan kelompok hadir. 
 
Dalam banyak kasus penggusuran warga, seperti misalnya di Wadas, masyarakat memahami tanah mereka bukan sekedar properti sebagaimana pandangan materialistik para penentu kebijakan pembangunan. Masyarakat Wadas yang mayoritas petani, tumbuh dan berproses seumur hidup dalam lingkungan agraris. Dalam lingkungan tersebut, tanah bukan sekedar properti atau aset. Tanah bagi mereka adalah ruang eksistensi. Mereka tumbuh dengan kenangan dan pembelajaran tentang keterampilan bercocok tanam yang diturunkan dari generasi ke genarasi. Mereka sangat paham dengan kearifan lokal tentang alam yang mempengaruhi aktivitas agraris. Tentang kapan harus mulai menanam palawija, kapan saat paling tepat untuk memotong bambu agar mendapat kualitas bambu terbaik, dan lain sebagainya. 
 
Ruang di desa tersebut ibarat kamus di kepala warga, tempat mereka mendapatkan data sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Orientasi ruang dengan baik dikuasai berdasarkan ingatan tiap jengkal tanah desa.  Misalnya saja, dimana mereka harus mencari bambu jenis petung untuk membuat kandang ayam, dimana mereka mendapatkan buah Asam yang baik untuk bumbu masakan, atau dimana area untuk mendapatkan daun Kelor untuk obat. Setiap pohon, batu besar, jembatan, rumah, dan obyek lanskap lainnya adalah penanda orientasi ruang yang terinternalisasi di benak tiap penduduk desa.  Bahkan mungkin mereka juga masih sangat akrab dengan  mitologi-mitologi lokal, semisal adanya hantu penunggu pohon di samping rumah Mbah A, atau keberadaan danyang di sendang pojok timur kampung, dan lain sebagainya. Rekaman akan ruang tersebutlah yang menyertai proses mereka menjadi individu dan komunitas.
 
Kemampuan memahami ruang di sekitarnya tersebut juga andil terhadap kemampuan warga desa untuk hidup mandiri dan berdikari. Mereka sanggup menopang kehidupan yang layak dari hasil mengolah potensi ruang di sekitarnya. Ruang dengan segala macam isinya secara holistik menyediakan sumber kesejahteraan bagi mereka. Kemampuan tersebut,  tidak  didapatkan secara cepat, tetapi berproses seiring sejarah kehidupan desa tersebut.
 
Mengikuti konsep Triadik Produksi Ruang dari Henri Lefebvre, tanah dan rumah-rumah di Desa Wadas bukan sekedar ruang fisik, tetapi merupakan sebuah Ruang Representatif. Ruang representasi menyangkut dimensi simbolik ruang. Ruang representasi tidak mengacu pada ruang itu sendiri tetapi pada sesuatu yang melampauinya, misalnya : kekuatan adi kodrati, pikiran, spiritualistas, konsep-konsep kehidupan dan sebagainya. Dimensi produksi ruang ini mengacu pada proses pemaknaan yang menghubungkan dirinya dengan simbol. Simbol ruang bisa diambil dari alam, seperti pohon atau formasi topografi yang menonjol; atau bisa pula artefak, bangunan, dan monumen. Misalnya sebuah sendang, bagi penduduk desa tidak hanya dimaknai sekadar sumber mata air, tetapi merupakan representasi konsep hidup, jantung desa, tempat dimana nyawa kehidupan bermula. Pemaknaan itu, sekali lagi, tidak ditetapkan begitu saja, tapi berlangsung lama melalui proses kesepakatan penduduk antar generasi. Ruang dibentuk sebagai proses kolektif secara bersama-sama. Ruang adalah sebuah produk sosial. 
 
Maka jika sebagian warga Wadas menolak untuk berpindah, itu semata-mata bukan masalah angka rupiah ganti rugi. Itu tentang seluruh kehidupan mereka yang akan tercerabut. Memindahkan warga dari ruang asal mereka sama saja menghapus seluruh memori, perjuangan dan harapan mereka. Hidup warga desa telah menyatu dengan ruang desa mereka. Mereka sadar dengan ganti rugi uang, walaupun mungkin bisa mendapatkan tanah yang baru, akan tetapi  tidak akan pernah bisa menggantikan relasi yang  telah dibangun bertahun-tahun dengan ruang di desa asal. Saat mereka kehilangan relasi tersebut, mereka tidak yakin mampu bertahan hidup. Hal ini terbukti, misalnya dari kisah warga Kecamatan Jenu, Tuban yang menyesal telah menjual tanahnya untuk proyek pembangunan kilang Pertamina. Kini warga Jenu kebingungan bagaimana bertahan hidup.  Maka tanah bagi warga desa agraris adalah nyawa mereka. Bayangkan seandainya kita tiba-tiba dipaksa untuk kehilangan nyawa kita. Tidak seorangpun akan mau.
 
Akan tetapi, seluruh pandangan dan pemahaman ruang penduduk desa tadi tentu saja sangat kontras dengan pemikiran para perencana proyek pembangunan. Pandangan para perencana tidak lebih sebatas pada pemaknaan ruang sebagai ruang abstrak. Dalam pandangan tersebut, ruang telah teralienasi dari hakikatnya sebagai ruang sosial. Ruang akhirnya dimaknai sekedar sebagai komoditas, yang dengan mudah bisa dipertukarkan. Maka ketika para pembuat kebijakan telah  menawarkan ganti rugi (saat ini sering disebut ganti untung) maka seolah mereka telah memberikan solusi yang terbaik bagi proses peralihan kepemilikan lahan tersebut. Imajinasi para pembuat kebijakan tidak mampu melampaui kenyataan bahwa ruang mempunyai makna lebih besar dari sekedar kepemilikan. Bahwa ada makna dan relasi antara warga dan tanahnya yang tidak bisa diganti oleh sejumlah uang. 


Jika pembangunan yang direncanakan tersebut memang benar-benar bertujuan untuk menyejahterakan rakyat,  maka para teknokrat perencana pembangunan harus mau memahami konsep dan relasi antara ruang dan manusia tadi. Kesediaan untuk memahami tersebut juga sekaligus bentuk pemanusiaan terhadap warga desa. Menempatkan mereka sebagai subyek yang mempunyai agensi. Bahwa warga juga memiliki harapan, cita-cita, keresahan dan keinginan atas masa depan lingkungan mereka. Hal-hal tersebut harus diberikan ruang untuk dikemukakan dalam perencanaan pembangunan. Memberikan hak bersuara kepada kelompok yang terdampak pembangunan merupakan sikap yang beradab dalam perencanaan pembangunan. 
 
Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya. Warga yang menolak digusur justru diperlakukan sebagai musuh negara. Maka peristiwa pengepungan dan penyerbuan tersebut selalu terulang di banyak tempat. Perspektif pemerintah dalam memandang warga yang menolak rencana pembangunan masih saja sama. Cara pandang yang berhadap-hadapan. Maka upaya untuk menjelaskan makna dan relasi ruang - manusia semacam ini menjadi penting. Masyarakat umum yang mulai mendapat kefahaman bisa menjadi komponen penting dalam mendorong  pemerintah untuk menjalankan pola pembangunan yang lebih demokratis. Bahwa konsep perancangan pembangunan seharusnya berangkat dari manusianya, kontekstual, kasus per kasus, daerah per daerah. Bukan generik. Bukan repetisi.
 
Oleh Andi Setiawan FSRD UNS
Sumber Opini Solopos (12/2/2022)
Gambar ilustrasi karya Andi Setiawan

Berita Terkait