Tirtonadi ..

Bandung Mawardi

Pada suatu hari aku tak sedang mendongeng lho. Pada suatu hari, aku dolan ke Semarang. Berangkat dari Terminal Tirtonadi (Solo) menuju Terminal Terboyo (Semarang). Di bis mirip kulkas rusak, aku menikmati perjalanan dengan membaca koran dan buku. Ongkos 20 ribu sanggup memindahkanku, dari Solo sampai Semarang. Di Terminal Tirtonadi, aku masih merasa tenang. Terminal itu bersih, rapi, apik. Sampai di Semarang, terminal tampil berwajah kotor, bau tak sedap, panas, ramai. Aku selalu tak kerasan saat tiba di terminal tak keruan.

Ah, terminal. Dulu, aku sering membolos ke Terminal Kartasura, Sukoharjo. Aku merasa menjadi lelaki saat di terminal, bercampur para pedagang, calo, penumpang, penjudi, pencopet, preman. Ingatan itu sulit dihapus. Terminal ada di tubuhku. Sekarang, terminal itu telah berpindah tempat.

Ingat Terminal Tirtonadi, aku pun ingat novel berjudul Tirtonadi (Gapura, 1951), dikisahkan oleh Dramo Ario. Semula, Tirtonadi adalah film, dikeluarkan oleh TAN & WONG FILM COY, Jakarta. Para pemain film: Noviar, Moh, Mohtar, Sofia, Maria, Suwaldi… Film berlatar di Tirtonadi, Solo. Tirtonadi sebagai taman, bukan terminal. Oh!

Dulu, Tirtonadi memang taman indah, ikon Solo. Ada kali sebagai jalur tranportasi dan tontonan untuk mata pelancong. Tirtonadi perlahan dikenal sebagai terminal. Taman itu telantar dan terlupakan. Joko Widodo saat memimpin Solo menggarap lagi Taman Tirtonadi, bersebelahan dengan terminal dan kali.

Memori Tirtonadi juga awet dalam lagu keroncong. Kemunculan film dan novel Tirtonadi pantas jadi dokumentasi mengisahkan Solo di masa lalu. Aku sudah membaca novel tapi belum melihat film. Siapa memiliki koleksi film? Siapa pernah menonton film Tirtonadi?

Deskripsi Taman Tirtonadi dalam novel: “… Selalu menarik hati para pelantjong, mendjadi pula tudjuan pesiar kaum tua dan muda, baik penduduk Solo maupun tamu-tamu dari luarnja. Memang sepantasnja Tirtonadi mempunjai daja penarik sebesar-besarnja bagi kaum pelantjong dan kaum pesiar. Sebab, Tirtonadi memang indah permai, letaknja ditepi sungai, dengan air terdjun mengalir amat damai… Terutama kaum muda, lebih-lebih jang masih dimabok asmara, mendjadi bola permainan jang terlepaskan oleh Sang Dewi Amor. Mereka itu jang selalu datang mengalir ke taman Tirtonadi.”

Novel itu memang berkisah asmara. Semula, menggairahkan tapi berakhir kesedihan. Asmara cuma kata, berbeda dengan nasib. Aku membaca novel itu dengan mengimajinasikan adegan-adegan pertemuan antara perempuan dan lelaki di Tirtonadi. Mereka bercumbu, berpegangan tangan, mengucap janji setia. Mereka saling mencinta tapi tak bisa meramalkan nasib. Di ujung, mereka berair mata dan mengenang memori dalam tragisme. Aduh! Perempuan itu Sulastri. Lelaki itu R.M. Sudjono. Jalinan asmara dari dua kota: Solo dan Jember. Asmara bersemi di Taman Tirtonadi, berlanjut melapuk. Oh!

Tokoh-tokoh di novel representasi kaum modern, mengenakan pakaian modern dan merasa menjadi juru bicara kemodernan dalam asmara. Mereka terlibat dalam jalinan asmara berlatar perkembangan Solo sebagai kota modern. Asmara tak selalu berbuah jeruk, apel, durian, semangka… Asmara bisa menjadi dendam, tangisan selama sepuluh tahun, tubuh rusak.

Adegan tak dramatis: “Entah apa jang menarik menggerakkan hati Sulastri, pada hari itu – tidak setahunja bahwa kebetulan djuga dihari Minggu – dia mengadjak anaknja pergi ketaman Tirtonadi. Karena hari Minggu, maka Tirtonadi djuga ramai sekali dikundjungi kaum pesiar, teruna dan dewi jang tengah diajun gelombang asmara…” Di Taman Tirtonadi Sulastri memiliki memori dan pengharapan asmara. Pergi ke Taman Tirtonadi menjadi sejenis pelipur lara. Oh, Sulastri… Oh, tiada nama seindah namamu. Wah, mirip judul lagu Endang S. Taurina.

Novel atau roman ini bagian dari serial terbitan roman bermula dari film. Aku masih berikhtiar mengumpulkan “roman lajar putih” terbitan Gapura, Jakarta. Ada sekian roman: Kembang Katjang, Nusa Kambangan, Ditepi Bengawan Solo, Meratap Hati

Tirtonadi. Dulu, publik mengenal sebagai taman. Sekarang, aku menganggap Tirtonadi adalah terminal. Ingat terminal aku juga ingat novel berjudul Terminal Cinta Terakhir garapan Ashadi Siregar. Dua novel itu berpindah tangan ke esais perempuan di Solo dan penerjemah esaiku di Bali. Mereka bersedia jadi pembaca novel Terminal Cinta Terakhir. Di masa 1970-an, terminal telah menjadi metafora asmara. Terminal tak cuma urusan bis, tiket, debu….

Terminal? 14 November 2013, esaiku berjudul Terminal… tampil di Koran Tempo. Esai kecil dan wagu. Aku menganggap tema terminal penting ditilik dari sejarah dan politik. Terminal-terminal di Indonesia memerlukan narasi sejarah berkaitan perkembangan kota dan mentalitas orang-orang kota. Terminal…

Aku sengaja tak menggunakan “roman lajar putih” berjudul Terminal sebagai referensi. Aku khawatir jika menjadi esai romantis dan tragis. Aku membaca novel Terminal berdalih mengimajinasikan Solo masa lalu. Solo terus berubah. Aku memerlukan ingatan-ingatan dan tanda-tanda agar tak kehilangan Solo. Esaiku Terminal… justru mendeskripsikan terminal di Jakarta. Lho!

Novel Terminal adalah bukti publik di masa 1950-an suka melihat film dan membaca buku. Bioskop-bioskop jadi tempat penghiburan. Penerbitan cerita film sebagai novel menjelaskan gairah literasi publik. Situasi itu berulang di masa sekarang: novel ditulis berdasarkan film. Aku pun berharap bisa menggarap esai tentang novel dan film, menggunakan novel Terminal dan membaca situasi perfilam di masa 1950-an. Begitu.

http://bandungmawardi.wordpress.com

Berita Terkait