Tanah Lapang dan Tumpeng Jogopanjaran

Tanah Lapang

Tanah kosong ini tidak lantas kosong begitu saja, namun juga memiliki cerita. Tanah ini dahulunya merupakan bangunan rumah kuno yang ditinggali oleh sebuah keluarga Tionghoa. Namun sejak tahun 2009 rumah ini dikosongkan karena bangunannya yang hampir roboh. Sehingga untuk menghindari suatu hal yang tidak diinginkan mereka memilih untuk pindah. Menurut warga sekitar, bangunan rumah tersebut terbuat dari kayu dan telah berumur hampir 150 tahun. Dan akhirnya rumah ini roboh pada awal tahun 2012 lalu akibat dari angin dan hujan yang sangat besar. Sekarang rumah tersebut telah dibongkar dan menjadi tanah kosong. Dan tanah kosong ini menjadi sangat bermanfaat bagi warga di sekitarnya. Mereka memanfaatkannya sebagai tempat beraktivitas.

Pada siang hari ibu-ibu memanfaatkannya untuk menjemur pakaian. Ada pula yang memanfaatkannya untuk kandang kambing, yaitu kambing yang akan digunakan untuk kurban. Ibu-ibu PKK pun memanfaatkannya  untuk berkumpul dan latihan paduan suara. Bapak-bapak dan anak-anak pun tak ingin kalah, mereka memanfaatkannya untuk bermain pingpong, maupun bermain bola dengan anak-anak kecil mereka.

Sebenarnya tanah itu sudah pernah ditawar oleh orang yang berminat untuk membelinya. Namun sang pemilik enggan menjual tanah tersebut dengan alasan yang tidak jelas, bahkan untuk disewa pun tidak diperbolehkan sehingga kini tanah kosong ini masih tetap kosong. Warga juga tidak mengetahui akan digunakan sebagai apa tanah tersebut oleh si empunya. Karena yang punya telah pindah ke daerah Lojiwetan, Sangkrah.

Namun hal tersebut menjadi sangat menguntungkan bagi warga di sini. Mereka menjadikan tanah tersebut sebagai tempat mereka berkumpul dengan segala aktivitas mereka sehari-hari. Mereka merasa bersyukur, karena di balik kepadatan rumah yang ada mereka masih memiliki ruang yang menjadikan mereka dapat melakukan banyak hal di sana. Jika tanah tersebut tidak ada, maka suasana kebersamaan yang terjalin saat ini pastilah akan hilang dan tidak akan terjadi. Banyak sekali aktivitas dar warga yang ada di tanah kosong ini. Mereka bermain, berkumpul, belajar, maupun bercakap-cakap di sana. Keberadaan dari tanah ini sangat menguntungkan sekali warga di sini. Di balik rumah-rumah mereka yang sempit dan cenderung memiliki sedikit ruang untuk berkumpul ini, mereka masih dapat berkumpul di tanah kosong ini.

Kambing yang terikat tersebut adalah kambing yang akan digunakan untuk kurban pada Idul Adha kemarin. Meskipun mayoritas warga di sini adalah Nasrani, namun ini tidak menghalangi jiwa sosial mereka untuk ikut berbagi, meskipun hanya seekor kambing saja. Kambing ini adalah pemberian dari Bapak Ari, yang merupakan seorang yang memiliki usaha garmen. Beliau memberikan seekor kambing untuk warga di sini. Sehingga ketika Idul Adha datang warga juga dapat menikmati daging kambing, meskipun tidak seberapa banyaknya. Kambing ini disembelih juga di tanah yang kosong ini pada 26 Oktober 2012 kemarin.

Tak banyak warga yang ikut serta membantu penyembelihan kambing ini, hanya warga yang berada di sekitar tanah kosong tersebut. Sedangkan yang bertugas untuk memotong kambing ini adalah tukang potong. Berhubung Jogopanjaran ini dekat dengan Jagalan, sehingga tukang sembelihnya berasal dari Jagalan. Para penduduk mayoritas tak ada yang keluar dalam acara ini, karena hal yang tidak mungkin sekali para warga etnis ikut keluar dalam acara yang seperti ini. Setelah kambing selesai disembelih kemudian dibagikan kepada warga sekitar.

 

PKK, Ajang Berkumpul Ibu-Ibu: PKK yang ada di RW I ini beranggotakan 20 orang saja, yaitu Ibu Sularni sebagai ketua PKK, Ibu Nunik sebagai wakil, Ibu Marti sebagai bendahara, dan yang lainnya sebagai anggota, yaitu Ibu Ririn, Ibu Sumarni, Ibu Danurwati, Ibu Susianti, Ibu Sumiyati, Ibu Erna, Ibu Hadi Setiyawan, Ibu  Endang, Ibu Yuli, Ibu Sartini, Ibu Sri Kayati, Ibu Sri Lestari, Ibu Eka, Ibu Yohana, Ibu Marsih, Ibu Novita, dan Ibu Sunarti. Kegiatan PKK di Jogopanjaran sendiri dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu pada tanggal 9. Kegiatan dari PKK ini berupa arisan, dengan tempat yang bergilir dari masing-masing anggotanya. PKK RW I kini sedang mempersiapkan lomba yang diadakan oleh kelurahan. Perlombaan tersebut berupa lomba menyanyikan lagu wajib, yaitu mars PKK, Puri Gedeh, maupun penghafalan Pancasila. Ibu Marti adalah dirigen dalam lomba paduan suara ini, sekaligus melatih para anggota PKK RW I untuk menyanyi.

Lomba ini tidak maksimal karena tidak semua ikut berpartisipasi, karena kesibukan ibu-ibu itu masing-masing, contohnya Ib Nunik, beliau tidak bisa mengikuti lomba ini karena kesibukannya sebagai penyiar di radio RRI Surakarta yang mengharuskan beliau tidak dapat berpartisipasi,”
tutur Ibu Marti.

Warga yang aktif mengikuti PKK ini hanya beberapa saja, tidak semuanya. Inilah yang menyebabkan lomba paduan suara ini hanya diikuti oleh 8 ibu-ibu saja. Padahal di RW lain bisa sampai 20-30 orang dalam paduan suaranya. Namun hal ini tidak menggurangi semangat yang dimiliki ibu-ibu PKK. Menurut penuturan Ibu Marti, menang dan kalah itu bukan suatu masalah, namun yang terpenting adalah partisipasi dan kemeriahannya. Hadiahnya juga tidak seberapa, hanya uang pembinaan sebesar  Rp. 500.000 dan piala saja.

Ibu Marti menuturkan bahwa sebagian besar warga yang tidak mengikuti PKK. Beliau juga tidak mengetahui alasan yang jelas mengapa mereka tidak ikut serta. Namun dari penuturan Ibu Marti sempat menyinggung tentang pekerjaan ibu-ibu tersebut yang sebagai pengusaha sudah menguras waktu maupun tenaga mereka sehingga mereka tidak bisa menyempatkan diri untuk sekedar mengikuti arisan.

Dari anggota PKK RW 1 ini ada juga yang anggota PKK di tingkat kelurahan Purwodiningratan, yaitu Ibu Sularni, Ibu Marti dan Ibu Sumarni. PKK kelurahan ini juga dilaksanakan setiap bulan sekali, tepatnya pada tanggal 15 di setiap bulannya. Kegiatan PKK kelurahan ini menurut Ibu Sumarni lebih kompleks dibandingkan dengan PKK RW. Kegiatannya pun lebih banyak, tak hanya arisan saja namun juga diadakan bakti sosial, ziarah, dan sosialisasi kepada PKK ke setiap RW-nya. PKK di tingkat Kelurahan Purwodiningratan ini dipimpin langsung oleh ibu lurah langsung.

Hal yang paling unik di PKK ini adalah tempat latihan dalam mempersiapkan suatu kegiatan. Seperti halnya lomba paduan suara ini. Kita sempat kaget, kenapa ibu-ibu ini memilih latihan di tempat ini, yaitu tanah kosong. Padahal siangnya tadi tanah tersebut dipakai untuk kandang kambing. Ternyata alasannya adalah untuk menghemat tempat maupun sebagai ajang latihan biar mereka tidak merasa kaget kalau dilihat banyak orang.

Pingpong: Pingpong adalah kegiatan bapak-bapak maupun pemuda di sini untuk memupuk rasa kebersamaan mereka. Pingpong ini dilakukan ketika hari cerah, kadang sore, kadang malam sesuai dengan waktu luang yang ada. Kalau malam tidak hujan mereka tiap malam bermain pingpong di tanah yang kosong ini. Dalam kegiatan inilah banyak bapak-bapak, pemuda, maupun anak-anak yang tidak hanya menonton permainan pingpong ini, namun mereka juga ada yang ikut serta bermain. Kadang setiap orang lewat pun berhenti sejenak untuk melihat permainan pingpong yang dilakukan oleh warga di sini. Dalam keadaan dan suasana yang santai mereka bermain di sini. Permainan pingpong di sini masih belum lama, hanya baru mulai beberapa bulan ini. Meraka bermain di sini ketika mereka memiliki waktu yang senggang. Sebenarnya permainan pingpong ini santai, namun mereka terbawa suasana keseriusan. Bahkan para penonton pun kadang kala ikut teriak sambil melihat jalannya permainan ini.

 Tanah kosong ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai tempat bermain pingpong saja, namun banyak anak-anak kecil yang memanfaatkan tempat ini sebagai tempat mereka bermain. Mereka merasa senang dan bebas bermain di sini, karena ketika anak-anak bermain di dalam rumah mereka merasa dibatasi oleh sekat-sekat yang ada di rumah. Mereka di sini dapat bermain yang mereka suka, ada anak yang bermain pasir, main bola ditemani saudara, bermain kejar-kejaran, bermain sepeda dan lain sebagainya.

Selain banyak hal yang dapat dilakukan warga di tanah tersebut, terdapat pula pemanfaatan yang lain seperti untuk menjemur pakaian seperti yang nampak pula di gambar sebelumnya. Selain hal tersebut, dapat juga digunakan oleh ibu-ibu yang ingin menyuapi anaknya atau yang lebih mereka kenal dengan sebutan “ndulang”. Para ibu yang memiliki anak kecil lebih senang menyuapi anaknya di sini, karena selain memberi makan anaknya, si anak dapat pula bermain-main di sana.

Ibu Sri adalah salah satu keluarga yang sangat bersyukur masih memiliki ruang kosong di kampungnya, meskipun tak seberapa besarnya. Namun tempat ini sangat berarti sekali bagi mereka. Di tempat ini mereka dapat berkumpul bersama, seakan-akan mereka melepas rasa rindu mereka terhadap suasana kampung waktu dulu. Mereka masih bisa menunjukkan kebersamaan mereka di tempat ini, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Semuanya memanfaatkan tempat ini tanpa sungkan untuk semua kegiatan mereka itu. Sehingga rasa kebersamaan mereka masih tetap tertanam dan ada dalam diri mereka masing-masing. Seandainya saja tempat ini tak ada, di mana lagi mereka akan berkumpul bersama menghabiskan waktu luang mereka.

Kirab Kampung: Kirab Tumpeng ini merupakan sebuah tradisi yang tertanam dalam masyarakat Kampung Purwodiningrata. Kirab tumpeng ini rutin diadakan setahun sekali. Kirab tumpeng ini biasanya diadakan pada 25 September setiap tahunnya. Para peserta kirab ini adalah seluruh warga Purwodiningratan. Para ibu warga kampung mempersiapkan tumpeng sebagai kirabnya, di mana setiap RW memberikan satu buah tumpeng untuk kirab tersebut.

Biasanya dalam pembuatan tumpeng tersebut diambil dari iuran para warga. Di RW 01 yang warganya sebagian besar adalah orang-orang Tionghoa, mereka hanya memberikan iuran uang saja, namun mereka tidak mengikuti proses pembuatan tumpeng tersebut bersama warga lain. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang mempersiapkan sarana untuk kirab tumpeng tersebut. Di RW 02 ini hanya Ibu Sri Sumarti dan keluarganya saja yang menjalankan untuk membuat tumpeng tersebut. Ini menunjukkan kesenjangan sosial yang nampak dengan jelasnya. Warga yang dapat dikatakan berperekonomian tinggi tidak ikut membaur dengan warga sekitarnya, meskipun mereka juga ikut serta dalam pembiayaan.

Tumpeng yang digunakan dalam kirab ini ada bermacam-macam jenis. Dalam 27 tumpeng ini ada bermacam-macam tumpeng, Tumpeng Janganan, Tumpeng Robyong, Tumpeng Puput dan Tumpeng Gunung Sari. Selain mengarak tumpeng, kirab tahunan ini juga menyajikan berbagai atraksi kesenian seperti Barongsai, Liong, Musik Lesung dan Tokoh Punokawan. Peserta kirab yang terdiri dari warga Purwodiningratan bahkan juga mengusung fashion kostum dan make-up.

Dalam kirab tumpeng ini juga ada arak-arakan berbagai jenis hewan dengan ditunggangi para warga. Selain itu juga terdapat barongsai yang mengikuti arak-arakan kirab. Para warga juga mengikutinya dengan jalan bersama di belakangnya. Dengan arak-arakan ini juga dapat mengumpulkan semua warga yang ada di Purwodiningratan. Kirab ini di awali dari kelurahan.

Sejarah dari kirab tumpeng itu sendiri pertama kali diadakan oleh KRMA Purwodiningrat. Beliau adalah seorang pengageng di kantor pemerintahan Keraton Surakarta Hadiningrat pada zaman pemerintahan Paku Buwono X. KRMA Purwodiningrat ini mempunyai pengaruh yang cukup besar, digdaya, dan anuraga. Meskipun beliau memiliki tugas yang berat di dalam keraton, namun beliau juga senantiasa memperhatikan orang-orang kecil di sekitarnya. Salah satunya dengan mengadakan kirab tumpeng ini yang rutin diadakan setiap tahunnya.

Tujuan diadakannya kirab tumpeng Purwodiningratan ini adalah agar orang-orang kecil senantiasa selalu mengingat kepada Tuhannya. Atau sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan, sehingga mereka akan mendapatkan pertolongan dan akan terhindar dari bahaya. Dari zaman awal diadakannya kirab tumpeng Purwodiningratan ini, kirab ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang rahayu, tentram, wibawa, mukti, gemah ripah loh jinawi. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, tujuan dari kirab tumpeng ini mulai bergeser. Kirab tumpeng ini digunakan warga sebagai peringatan berdirinya Purwodiningratan dan sebagai tanggal masuknya para warga sebagai warga Purwodiningratan, meskipun tepatnya tanggal tersebut juga belum pasti.

 

Bagian III:
Lintang Praharying S., Sayyidah Azizah R., Muh. Juliarahman,                  
Priscillia Widyastuti, Indah Noor Kumalasari, Suada Budi Setyawan,                                        
Aji Pribadi Gumilar, Nico Pratama

 

Berita Terkait