Sungai dan Kota

Oleh Qibtiyatul Maisaroh

Di kota sungai menjadi tempat menyenangkan sekaligus menyedihkan. Menyenangkan karena di tengah hiruk pikuk pembangunan, masih ada sungai-sungai yang bertahan mewakili imajinasi kesejarahan.Menyedihkan karena keberadaan sungai terbatas sebagai area di bawah jembatan penyeberangan dan tempat pembuangan sampah. Tak mengherankan beberapa hari lalu Harian Solopos dan Koran Tempo memberitakan Pemerintah Kota Solo mulai menerapkan sanksi berat bagi pembuang sampah di sungai.

Sanksinya berupa hukuman kurungan selama tiga bulan atau denda maksimal Rp50 juta.  Kita bisa memaklumi dalam denda ada harapan kejeraan dan kesadaran. Kita juga boleh ragu, apakah aturan tersebut bertujuan menghidupkan kembali fungsi sungai atau sekadar menjaga sungai agar tak mencederai keindahan kota.

Di pinggir kota ada sungai yang bernasib yang lebih nahas daripada sekadar jadi tempat pembuangan sampah. Dulu kehidupan masyarakat Solo bergantung pada sungai. Sungai menjadi sarana transportasi air yang paling digemari. Di sungai perjalanan perekonomian, kebudayaan, politik, bahkan asmara bergerak, dirumuskan, dan diperbincangan. Sungai merangkum obrolan para penjual sayur, kuli, guru, dan para petinggi negara. Dari sungai nasib ditentukan, terberkahi, atau malah ternodai.

Hal ini terekam dalam bait lagu Bengawan Solo garapan Gesang. Bengawan Solo riwayatmu ini / Sedari dulu jadi perhatian insani / Musim kemarau / Tak seberapa airmu / Di musim hujan air meluap sampai jauh / Mata airmu dari Solo / Terkurung gunung seribu / Air meluap sampai jauh / Dan akhirnya ke laut / Itu perahu / Riwayatmu dulu / Kaum pedagang selalu / Naik itu perahu.

Gesang mengisahkan solo dari sebuah sungai. Aliran air sungai mengisahkan kehidupan, kebahagiaan, ketakutan, dan kecemasan. Bagi Gesang sungai adalah kenangan. Sungai pernah menjadi jalan publik tanpa kemacetan. Alam telah mencipta aturannya sendiri.

Sungai juga menjadi imajinasi kemegahan. Terdapat dalam kisah Batavia dua abad yang lalu. Para pejabat kolonial Belanda gemar mandi di sungai. Pada masa itu telah ada sumur, tapi mereka lebih menyukai sungai atau mandi di sungai. Tanu Trh dalam Wajib Mandi untuk Kompeni, sebuah kumpulan tulisan dalam Majalah Intisari berjudul Ketoprak Betawi  menuliskan:  Di Batavia. Tanggal 1 Juni 1861, seorang pengusaha bernama Victor Thornerieux membuka sebuah hotel di Molenvliet yang diberi nama Hotel de I’Univers, mungkin sebagai saingan Hotel des Indes di seberangnya. Menurut iklan yang dipasang Thornerieux di koran-koran zaman itu, hotelnya dilengkapi dengan kolam besar berisi air kali.
 
Kini sungai menjadi nostalgia. Sosiolog Solo Akhmad Ramdhon dalam buku hasil penelitian berjudul Merayakan Negara Mematrikan Tradisi: Narasi Perubahan Kampung-Kota di Surakarta (2016) mengisahkan perubahan Solo dari tiga kampung, Baluwarti, Laweyan dan Kauman. Keintiman masyarakat Solo dengan sungai tergambar jelas pada pembahasan tentang Kampung Laweyan. Laweyan dinarasikan sebagai pusat perekonomian. Batik adalah barang khas produksi masyarakat Laweyan. Batik dibuat di rumah-rumah kemudian diperjualbelikan secara tradisional. Lambat laun aktivitas ekonomi di Lawean mulai terlembaga dalam pasar. Keberadaan Kali Jenes dan kedekatan secara geografis dengan Bandar Kabanaran menjadi penentu berkembangnya Pasar Kabangan di Laweyan. Sungai sebagai penentu laju perekonomian Laweyan kemudian tergantikan sarana transortasi yang lebih modern.
 
Pada saat bersamaan, infrastruktur perdagangan perlahan-lahan disiapkan. Jalur transportasi darat yang dikelola Nederlansch Indisch Spoorweg (NIS), Jawatan Kereta Api Hindia Belanda, mulai menggantikan jalur perdagangan yang mengandalkan transportasi sungai. Kehidupan Laweyan pernah ditentukan oleh sungai. Sungai mulai terasing. Segala hal telah beralih dari air ke daratan. Sungai mengalirkan kayu-kayu untuk pembangungan gedung-gedung tinggi yang semakin menyingkirkan sungai itu sendiri. Solo menjadi kota penuh gedung, perumahan, tempat perbelanjaan, juga hotel. Sungai menyempit, ditimbun batu, pasir, dan aspal. Konon, sungai menjelma menjadi transportasi darat bernama Jl. Slamet Riyadi. Solo hidup megah di atas timbunan sungai. Tergantinya sungai menjadi daratan mengubah sikap dan perilaku manusia. Di kota jalan-jalan jadi lahan yang diperebutkan. Jalan menjadi tempat untuk memopulerkan diri dalam perpolitikan, identitas, bahkan keagamaan. Kota-kota dicipta untuk mengusung kepentingan manusia. Kemacetan menjadi bukti tentang ambisi, keinginan, dan keserakahan.

Sapardi Djoko Damono menjadikan sungai sebagai perlawanan terhadap manusia kota. Sungai mengendalikan gerak desa. Dalam novel Suti (2015) dikisahkan Suti gadis kampung dengan temannya bernama Tomblok. Di sungai para perempuan mencuci pakaian dan biasa menggosipkan tetangga. Di sungai dia membicarakan priayi baru yang datang ke desanya, Ibu Sastro yang tak mau mencuci pakaian di sungai, tentang suami yang suka melacur, tentang anak yang sekolah ke kota. Gosip menjadi ganjaran untuk kesalahan yang tentu lebih menjerakan daripada hukuman. Ini berbeda saat sungai menjadi tempat pariwisata yang dikunjungi dengan mengeluarkan ongkos. Sungai dirasuki hasrat kapitalisistik. Sungai dipaksa menjadi bagian daratan yang menghasilkan uang. Sungai tak lagi menjadi dirinya yang mengalirkan kebudayaan.
 
Kita bisa merayakan kerinduan pada sungai dengan puisi Dodong Djiwapradja, Mancing di Kali Cilimanuk (1972), yang dimuat Budaya Jaya No. 51, Th.V, Agustus 1972 dalam Tongggak Antologi Puisi Indonesia Modern (1987). Kita simak: Anak-anak masih juga suka bermain / Di sini, telanjang bulat, berkelahi / menggali pasir, nyemplung di air / Hanya bukan yang dulu lagi! / Mereka telah lama pergi / dari kampungnya, mengembara / entah ke mana.
 

Gagasan Solopos, Kamis (7/4/2016),
Qibtiyatul Maisaroh Santri di Bilik Literasi Solo 
http://m.solopos.com/2016/04/10/gagasan-sungai-dan-kota-708392


Berita Terkait