Srawung Kampung Kota

Satu dekade lebih, narasi kota-kota di Indonesia mengalami banyak perubahan yang bersifat fundamental, dimana pemicu utamanya adalah bergesernya bandul kekuasaan yang bergerak dari pusat ke daerah. Nalar desentralisasi serta merta menjadi titik mula gelombang proses, dinamika maupun perubahan yang terjadi dalam beragam dimensi. Ada banyak kebimbangan untuk mencari bentuk dari perubahan yang bersifat transisi maupun tantangan untuk merespon ketimpangan yang ada. Sebab beragam kisah yang hadir sesudahnya adalah gambar tentang kota yang tumbuh dalam ragam kepentingan, dan tak lagi menempatkan negara sebagai orientasi tunggal tapi juga kepentingan-kepentingan politis, modal maupun kombinasi keduanya.

Skema kota yang lahir dalam beberapa dekade terakhir adalah perubahan dengan lapis praktek-praktek kekuasaan yang tersebar. Tersebar oleh kemungkinan untuk membangun kebijakan dan kepentingan kota tidak hanya dari nalar negara namun juga membesarnya peluang bagi keterlibatan publik secara lebih luas. Namun publik kota nan luas dan tersebar dikampung-kampung, tetap menjadi potret gelap dari kota yang tumbuh terlalu cepat, dan melaju dalam kepentingan yang semakin tak terjangkau oleh warga. Relasi kampung-kota juga mengalami pergeseran oleh sebab pergerakan kota yang liar, sekaligus kesediaan menahan beban dari skenario kota yang harus tumbuh menjulang ke atas. Setiap ruang dalam kampung-kota lalu hadir sekadar menyangga berbagai kebutuhan kota untuk mampu memenuhi indikator perubahan sekaligus penanda kemajuan. Buku ini adalah hasil Srawung Kampung (2016); dimana kerja-kerja kami selama ini dalam mendokumentasikan kampung tiba pada beberapa moment untuk berjejaring.

Skema Srawung Kampung kemudian jadi agenda untuk mengundang banyak teman diberbagai kota,  lintas disiplin pengetahuan untuk menulis dan berbagi semua bentuk pengalaman berada dikampung-kota, menjadi bagian dari kampung maupun mendampingi kampung-kota. Beberapa workshop dengan agenda dari berbagai komunitas juga dibuat menjadi agenda yang tak terpisahkan dari Srawung Kampung yang kami lakukan. Buku ini hadir, sebagai penanda atas moment Srawung Kampung yang pernah kami buat, sekaligus memberi sumbangan kecil bagi upaya untuk meletakkan kota pada skema perubahan dan menempatkan pengetahuan sebagai basis pengambilan kebijakan. Memotret, merekam, mendokumentasikan dan menghadirkan narasi keseharian kampung-kota dalam beragam dimensi, baik dalam fisik maupun non fisik adalah upaya untuk menempatkan kampung sebagai bagian nan substansial dari kota. Eksistensi kota yang tumbuh dan membentuk sejarah kota-kota modern di nusantara tak bisa dilepaskan begitu saja dari semua penggalan mentalitas budaya warga yang membentuk kota dan kini hadir menghuni kampung-kota.

Buku ini, mencoba memberi paparan bagaimana wajah kota dibentuk oleh narasi-narasi yang disusun dari kepingan perubahan yang terjadi dikampung-kampung. Ada kemungkinan kota dan kampung hadir bersamaan sebagai sebuah relasi namun tak sebanding. Namun besar kemungkinan, kota dan kampung hadir tidak bersamaan karena ketiadaan orientasi nan kolektif. Konsekuensi dari dua kondisi tersebut tetaplah sama bahwa kampung-kota hadir jadi hanya sebagai pelengkap dari narasi-narasi kota yang dibentuk oleh kepentingan kapital. Kontestasi kampung dan kota kemudian membentuk beragam narasi dengan bingkai ruang dan mentalitas organik nan khas bagi warganya. Diskusi buku ini diawali oleh Andesha Hermintomo dan Anindita Taufani yang memulai dengan membuka kembali diskursus kampung-kota dengan melihat beberapa pengalaman dibeberapa kota. Konsekuensi yang bisa ditemukan dinarasi diskursus kampung-kota yang dipersoalkan adalah arus perubahan yang dicermati Adil Abdullah Albatati ketika kampung Arab Surabaya dijadikan kawasan heritage, Nimas Kesuma Negari yang melihat kampung Pogung Kidul Yogyakarta kini penuh hunian megah nan berpagar, sampai hadirnya ancaman penggusuran kampung Kebun Sayur di Ciracas oleh Devy Dhian Cahyati sebagai sebuah kontestasi.
Bagian lainnya adalah bentuk-bentuk respon atas kompleksitas relasi kampung dan kota, dimana memahami dan mengukur fleksibilitas ruang bersama di kampung Babakan Ciamis Bandung menjadi Ginani Hening Utami, Jovita Calista Romauli Sitorus, dan Yoga Adi Santoso. Pendekatan anak atas ruang tempat mereka tinggal dengan pendekatan yang memberdayakan di kampung Pondok Pucung Tangerang Selatan ditulis Martin L Katoppo, Ruth E Opposunggu, Sugeng Triyadi dan M Jehansyah Siregar. Di Semarang folklore kemudian dijadikan ritual warga kampung Bustaman untuk membangun solidaritas tempat dimana warga tinggal, menjadi cara yang dituturkan oleh Ahmad Khairudin. Polarisasi kota akibat pertumbuhan ekonomi juga menggerakkan warga kampung-kota dalam pola-pola konsumsi, analisis generasi yang dilakukan Dwiyanti Kusumaningrum mengurai perubahan gaya hidup warga kampung di Karawaci Tangerang. Relasi konsumsi dan adaptasi etnis diurai oleh Wida Ayu Puspitosari di Kediri. Situasi yang relevan juga bisa ditemui dalam perspektif etnoeokologi Sarkawi B. Husain ketika mengurai relasi sungai Jagir dan warga kampung Ngagelrejo di Surabaya. Analisa Ilham Daeng Makkelo, Akhmad Ramdhon dan Siti Zunariyah hadir dengan perspektif sosio-historis lewat kisah perubahan kampung-kota di Makassar dan uraian transformasi di kampung Laweyan Surakarta. Untuk  kemudian  semua  narasi kampung-kota  yang  ada  diberi  prolog  oleh  Marco  Kusumawijaya yang  mengingatkan  kita  kembali  pada  jejaring   Urbanisme  Warga yang berujung pada reproduksi pengetahuan bagi pondasi kebijakan dimasa depan.

Buku ini tidak bisa hadir tanpa budi banyak pihak. Terima kasih buat semua teman-teman yang menjadi bagian dari sesi-sesi Srawung Kampung 2016; Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret, Rujak Center for Urban Studies, Marco Kusumawijaya dengan cacatatan pengantar, Dian Tri Irawaty, Anindita Taufani, Andesha  Hermintomo, Gatot Subroto, Lilik Rohmad Ahmadi, Aris Kurniawan, dan Saddam Rajief untuk sesi berbagi workshopnya. Tak lupa juga Argyo Demartoto, Suprapto Suryodharmo, Maulana Kurnia Putra, The Mudub dan semua teman-teman Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret untuk semua bentuk kebersamaannya. Alokasi waktu untuk diskusi sangatlah terbatas namun keinginan untuk Srawung dan berbagi pengalaman menjadi momen yang harus dikenang lewat buku. Terima kasih untuk sesi berbagi A Nimas Kesuma-Yogyakarta, Ahmad Khairudin-Semarang, Dadan Wirahadikusuma-Bandung, Dede Rohayati-Bandung, Devi Dhyan Cahyati-Jakarta, Dita Rahayu Margatino-Surakarta, Dwiyanti Kusumaningrum-Jakarta, Ign Susiadi Wibowo-Tangerang, Ilham Daeng Makkelo-Makassar, Arianti Ina Restiani Hunga, dkk-Salatiga, Jovita Calista Sitorus, dkk-Bandung, Martin L Katoppo-Tangerang, Pratitou Arafat-Aceh, Reza Adhiatma-Bogor, Sarkawi B Husain-Surabaya, Fiqri Sulthony–Pontianak, Wida Ayu Puspitosari-Malang dan Zsa Zsa Wulan Permatasari-Surakarta.

Terakhir, buku ini tidak berdiri sendiri. Proses belajar untuk menjadi bagian dari kota terus dilakukan bersama-sama, untuk itu beberapa publikasi terkait menjadi rangkaian upaya pengetahuan yang diproduksi bersama dalam platform kampungnesia. Adapun semua kekurangan yang masih tersisa akan menjadi tanggung jawab kami agar bisa memperbaikinya dengan agenda-agenda lebih lanjut. Untuk itu, kritik dan semua bentuk upaya perbaikan mutlak kami butuhkan.
#SrawungKampung-Kota #KampungKota #Kampungnesia #KotaSolo
 
 
Akhmad Ramdhon dan Siti Zunariyah
Sosiologi FISIP Univeritas Sebelas Maret 
 

Berita Terkait